Malam itu Lukas hendak ke kamar Kasih. Namun Cinta langsung mendekap tubuh Lukas dari belakang.
"Jangan pergi," kata Cinta dengan suara mengiba.
"Kamu sudah terlalu sering ke kamar Kasih. Apa kamu tidak sadar jika sudah terlalu sering mengabaikanku?" lanjutnya lagi.
Tubuh Lukas kaku di tempat. Mendengar jika yang dikatakan oleh Cinta benar, membuatnya merasa bersalah pada istri keduanya tersebut.
Sejak Kasih hamil. dia memang selalu berada di kamar Kasih malamnya. Mengusap perut Kasih dan kadang berbicara dengan bayi yang masih ada di dalam perut istrinya tersebut.
"Baiklah, aku akan tidur di sini malam ini," kata Lukas.
Cinta tersenyum penuh dengan kemenangan.
Sementara itu di tempat lain, Kasih sedang menunggu Lukas sambil mengusap perutnyaa.
Ia terus menatap ke arah jarum jam yang terus bergerak tak mau menunggu.
Hingga jarum jam menunjukkan pukul jam tiga pagi. Dan Lukas tak kunjung datang. Akhirnya Kasih malam itu tidur sendirian tanpa suaminya.
Kepalanya kembali mengenang beberapa jam yang lalu. Ketika dia melihat Cinta dan Lukas sedang bermesraan di depannya.
Meski Lukas saat ini baik kepadanya. Namun tetap saja dia masih berpikir jika lelaki itu juga menginginkan Cinta. Apalagi wanita itu masih terlihat cantik dan seksi tidak seperti dirinya.
Kasih mencoba memejamkan matanya rapat rapat. Namun bayangan itu terus berkelebat menganggunya.
**
Pagi harinya, Kasih merasakan perutnya mulas begitu hebat.
Dia menggigit bibir bawahnya sambil mengerang karena tidak dapat menahan rasa sakit itu.
Ia menurunkan kedua tungkai kakinya perlahan. Dengan hati hati dia melangkah ke arah pintu. Dan tepat pada saat itu, Lukas muncul membawakan sarapan untuknya.
"Kasih!" seru Lukas. Dia langsung meletakkan makanan yang dia bawa ke meja yang ada di dekatnya. Kemudian memapah Kasih menuju kasur.
"Kamu—mau melahirkan? Kita ke rumah sakit sekarang ya?"
Kasih mengangguk.
"Tunggu sebentar, aku akan meminta supir untuk menyiapkan mobil untuk ke rumah sakit."
Lukas pergi ke luar kemudian dia meminta pembantu membawakan pakaian untuk Kasih selama dirawat ke rumah sakit nanti.
"Ada apa? Kenapa kamu berisik sekali pagi ini." Ibunya keluar dari kamar setelah mendengar kehebohan yang dibuat oleh Lukas.
"Kasih mau melahirkan," jawab Lukas acuh tak acuh. Ia lalu naik ke atas lagi dan membopong Kasih.
Di kamar, Cinta terbangun karena mendengar keributan. Samar samar dia mendengar jika Kasih akan melahirkan.
Jantungnya berdebar dengan rasa sesak di dada. Ia merasakan ketakutan itu lagi. Jika Lukas akan melupakannya begitu saja.
Cinta mengambil napasnya dalam dalam. Rencana yang sudah dia pikirkan tak boleh sembarangan gagal. Ia harus fokus.
Karena dia kali ini berperan sebagai wanita baik. Maka dari itu dia gegas turun dan langsung mengambil tas yang sudah disiapkan oleh pembantu.
"Biar aku saja yang membawanya," kata Cinta.
"Anda—serius?" Pembantu itu bingung terhadap sikap Cinta yang tiba tiba seperti itu. Namun dia tak bisa membantahnya, kemudian memberikan tas pada Cinta.
"Ini untuk bayi, yang ini untuk nyonya Kasih."
"Baiklah, aku mengerti." Cinta langsung gegas berjalan ke mobil di mana Lukas dan Cinta berada.
Cinta meletakkan tas di dalam bagasi kemudian duduk di samping supir.
"Aku akan ikut," kata Cinta menutup pintu mobil.
"Kamu yakin?" tanya Lukas.
Cinta hanya mengangguk. "Ayo berangkat," suruh Cinta pada supir.
**
Sudah tiga jam lamanya, Lukas dan Cinta menunggu di depan ruang bersalin.
Lukas gugup bukan main karena ini adalah pengalaman pertamanya menunggu istrinya melahirkan.
Cinta mengenggam tangan Lukas dan mengusap bahu suaminya.
"Dia tidak apa apa, kan?" tanya Lukas cemas.
Bahkan Cinta heran mengapa Lukas bertanya dia, yang artinya Kasih. Bukan mereka yaitu anak kembarnya.
"Tentu saja, dia kan wanita kuat," jawab Cinta. "Kamu sudah memikirkan nama untuk anak anakmu?"
Lukas mengangguk. "Aku dan Kasih sudah pernah membahasnya."
Cinta tersenyum kecut. Bahkan mereka membahas tanpa dirinya tahu.
"Siapa namanya?" Cinta bertanya dengan ekspresi dia buat senormal mungkin. Dia tak mau rencananya gagal hanya karena kesalahan kecil.
"Gibran dan Giana."
"Bagus," sahut Cinta.
Lukas menoleh ke arah Cinta, ia memeluk pundak istrinya lalu menyandarkan kepalanya di pundak.
"Terima kasih, karena kamu sudah menemaniku di sini."
"Tentu saja aku harus menemanimu. Kasih melahirkan anakmu. Mana mungkin aku tak peduli."
Ponsel Cinta menyala. Mertuanya sedang menghubunginya.
"Apa Kasih sudah melahirkan?" tanya mertuanya.
"Belum, Bu."
"Padahal sudah tiga jam."
"Benar sudah tiga jam berlalu."
"Kalau Lukas disuruh memilih, katakan padanya untuk memilih anak anaknya."
Cinta menatap Lukas bingung. Lukas yang mendengar ibunya berkata seperti itu langsung merebut ponselnya.
"Dua duanya akan selamat Bu. Lukas akan melakukan apa saja agar Kasih dan anak anak Lukas selamat. Jadi jangan berkata sembarangan."
"Aku kan cuma memberikan saran."
"Ibu tidak akan datang ke sini?"
"Tidak. Ibu benci dengan rumah sakit," jawab ibunya dengan enteng. "Kasih tahu ibu jika bayinya sudah lahir."
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang bersaling.
Lukas dan Cinta sontak berdiri dan menghampiri dokter itu.
"Bagaimana dokter? Keadaan istri saya—dan anak anak saya. Bagaimana?"
Dokter itu tersenyum membuat Lukas menjadi sedikit lega.
"Selamat anak anak Anda lahir dengan selamat juga istri Anda. Anda bisa melihat istri Anda nanti ya."
Lukas memeluk Cinta. Membuat dokter itu bingung.