Sepanjang perjalanan pikiran Rania terus tertuju pada foto yang dia lihat di dinding penthouse milik Alva itu. Jelas itu adalah foto masa sekolah Alva dengan teman-temannya yang lain.
Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Rania, melainkan di antara anak-anak itu ada foto yang Rania kira adalah dirinya.
Hanya saja, Rania benar-benar tidak ingat kapan dan dimana foto itu diambil kalau memang kecurigaannya benar.
"Apa Alva itu salah satu temanku di taman kanak-kanak? Tapi kenapa aku tidak ingat jika pernah memiliki teman bernama Alva?" gumam Rania berusaha mengingat kejadian dua puluh tahun lalu. Namun, tak sedikitpun Rania mengingatnya.
"Huft, sudahlah. Mungkin itu hanya orang yang mirip denganku saja. Lagipula, apa bedanya kalau memang Alva temanku di bangku taman kanak-kanak. Semuanya tidak akan berubah! Alva tetap Bos dan aku hanya sekretarisnya saja," gumam Rania memilih berhenti untuk memikirkan hal yang tidak perlu.
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, akhirnya Rania tiba juga di gedung tinggi yang akan menjadi tempatnya mengais rejeki.
"Huft, mudah-mudah saja meeting nya belum dimulai," gumam Rania penuh pengharapan.
Wanita itu segera membayar taksi lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam perusahaan.
Tampilannya yang lumayan seksi dengan rok span selutut dengan kemeja putih yang membentuk keindahan tubuhnya meskipun tidak benar-benar menjiplak, membuat Rania jadi pusat perhatian.
Tentu itu membuat Rania risih karena memang tidak ada yang aneh atau berlebihan dari gaya berpakaiannya. Akan tetapi entah kenapa Rania merasa semua orang tengah menghakimi gaya berpakaiannya itu.
Namun, Rania mencoba memilih masa bodoh. Wanita itu segera masuk ke dalam lift berbarengan dengan seorang pegawai yang sudah lebih dulu ada di dalam lift itu.
"Kamu sekretaris baru Tuan Alva, kan?" tanya wanita di samping Rania.
"Iya," jawab rania sedikit tidak nyaman dengan tatapan wanita itu yang seakan tengah mengintimidasinya.
"Semoga kamu selamat dari hukuman Tuan Alva," ucap orang itu ambigu.
"Maksudnya, bagaimana?" tanya Rania bingung.
"Nanti kamu juga akan tahu. Segera saja temui Tuan Alva dan jangan membantah apa pun yang beliau katakan jika kamu ingin tetap bekerja di sini. Tuan Alva paling tidak suka pada orang yang sudah berbuat salah tapi masih saja membandel," lanjut wanita itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan Rania karena dia memang sudah sampai di lantai yang dituju nya.
Sementara Rania semakin kalut saja. Sungguh dia bingung harus bagaimana bersikap menghadapi bos aneh seperti Alva.
"Huft, aku pasti bisa," gumam Rania menyemangati dirinya sendiri.
Semua Bos pasti tidak ingin memperkerjakan orang yang asal-asalan. Untuk itulah pasti akan ada aturan yang harus dipenuhi. Rania memegang teguh hal itu dan dia pun tidak akan menyerah jika nanti Alva mengkritik kesalahannya.
Menjadi lebih baik lagi kenapa tidak? Bukankah dari kritikan itu semua orang bisa belajar untuk memperbaiki kesalahannya?
Ting.
Suara pintu lift yang terbuka membuat Rania segera melangkahkan kakinya. Kalau mengingat waktu sekarang, sudah pasti dia lebih dari sekedar kata terlambat.
Namun, perintah Kriss tadi bisa menjadi tameng untuk membela diri. Rania akan membela dirinya dengan itu di hadapan Alva nanti.
"Akhirnya kamu tiba juga, Rania. Tuan Alva sudah menunggumu sejak tadi!" ucap Kriss terlihat sangat panik.
"Benarkah? Apa aku sudah terlambat?" tanya balik Rania pura-pura tidak menyadari waktu.
"Astaga, Rania! Aku mohon jangan bertingkah bodoh! Tuan Alva akan benar-benar menghukumku jika kamu bertingkah seperti ini," keluh Kriss dengan wajah yang sudah memelas.
Ingin sekali Rania tertawa melihat kelakuan Kriss itu. Tapi dia masih punya hati dan merasa tidak enak kalau harus tertawa di atas penderitaan orang.
"Tuan tenang saja aku sudah membawa yang Tuan Alva inginkan. Aku yakin beliau tidak akan marah," ucap Rania berusaha menenangkan Kriss.
"Semoga saja yang kamu katakan itu memang benar. Cepat masuk!" titah Kriss lagi.
Rania mengangguk dan segera melangkahkan kakinya menuju pintu. Tak lupa wanita itu juga mengetuk pintu. Setelah dipersilahkan masuk oleh Alva, barulah wanita itu membuka pintu.
Dengan dengan perasaan yang tidak karuan, Rania berjalan mendekati Alva. Laki-laki itu terlihat masih fokus dengan berkas yang ada di hadapannya.
"Permisi, Tuan. Saya sekretaris baru Anda. Ini saya sudah membawa berkas yang Tuan inginkan. Maaf saya sedikit terlambat," ucap Rania.
"Aku tahu." Alva menoleh dengan mata yang memicing. Tatapannya seakan memindai penampilan Rania.
"Apa kamu ingin bekerja di sini?" tanya Alva ambigu. Rania tentu mengernyit mendengar pertanyaan Alva.
"Tentu saja, Tuan. Memang ada yang salah dengan saya?" tanya Rania bingung.
"Lihatlah penampilanmu! Kamu sudah seperti gundik yang ingin persembahkan tubuhmu kepada pelanggannya," jawab Alva tanpa perasaan.
Mendengar perkataan Alva, Rania langsung membulatkan matanya.
"Apa Tuan tidak salah bicara?" ketus Rania penuh kekesalan.
"Lihat lah sendiri penampilanmu! Apa memang pekerja kantoran harus seperti itu? Atau apa kau kesini berniat menggoda bosmu?" tuding Alva semakin membuta Rania geram.
"Tuan bicara apa? Saya rasa penampilan saya masih sopan," kesal Rania ingin sekali mencakar Alva kalau tidak ingat jika laki-laki itu adalah box-nya.
"Sopan katamu? Bagian mana dari penanpilan dirimu yang sopan? Aku aaja benar-benar jijik lihatnya," sakras Alva benar-benar menyebalkan.
Lagi, Rania membulatkan matanya mendengar perkataan Alva. Sungguh apa yang Alva katakan itu benar-benar membuatnya kesal. Bagian mana dari penampilannya yang tidak cocok dengan Alva. Padahal penampilannya biasa-biasa saja dan masih sopan. Dasar memang Bos impotent! Udah gitu tidak tahu gaya juga sepertinya.
"Maaf Tuan, saya salah. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Ini berkas yang Anda minta. Tadi saya datang ke apartemen Anda dulu untuk mengambilnya," ucap Rania memilih mengalah sambil menyerahkan berkas di tangannya. Sungguh ia ingin segera pergi dari sana dan tidak tahan lagi jina harus berhadapan dengan bos yang aneh seperti Alva.
"Baiklah, simpan saja di sana dan pergi lah keluar! Penampilan mu benar-benar membuat mataku sakit! Aku harap, besok kau tidak lagi berpakaian aneh jika masih ingin bekerja di sini!" usir Alva tanpa menoleh ke arah Rania sama sekali.
"Baik Tuan, saya janji tidak akan mengulangi kesalahn lagi. Kalau begitu saya permisi," pamit Rania dengan tidak sabaran langsung melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Alva.
Tentu saja kesal perkataan Alva benar-benar menyakiti harga dirinya. Penampilannya sudah sopan tapi masih saja dikatakan jalang. Dasar laki-laki menyebalkan! Pantas saja tidak ada sekretaris yang tahan dengannya. Siapa juga yang mau bekerja dengan laki-laki yang seperti itu.
"Kenapa kamu cemberut?" tanya Kriss melihat Rania yang keluar dari ruangan Alva dengan mimik wajah yang terlihat sangat kesal.
"Tuan Kriss sebenarnya apa yang salah dengan penampilanku? Mengapa Tuan alva mengatakan kalau aku ingin menggoda para Bos?" tanya Rania dengan bibir yang mengerucut.
"Rania, Alva tidak menyukai penampilanmu. Lihatlah rokmu hanya sebatas lutut! Harusnya kau memakai celana panjang saja. Terus itu bajumu, lihatlah bajumu mencetak lekuk tubuhmu! Itu yang tidak disukai Tuan Alva darimu. Mulai besok, kau jangan lagi berpenampilan seperti itu, karena bisa-bisa aku harus pusing lagi mencari sekretaris baru untuk Tuan Alva. Aku mohon bekerjasama lah," pinta Kriss memelas.
Tentu saja dia tidak ingin repot-repot lagi harus mencarikan sekretaris untuk ke Alva. Apalagi, pekerjaannya juga di perusahaan Rifki sangatlah menumpuk. Dia benar-benar kerepotan Kalau harus menghadapi ayah dan anak itu dalam waktu bersamaan. Setidaknya kalau hanya satu Kris masih bisa menanganinya.
"Baiklah mulai besok aku akan berdandan seperti badut saat datang ke kantor ini," ucap Rania langsung kedudukan diri dengan kasar di kursinya.
Melihat itu, Kriss hanya geleng-geleng kepala. Hatinya berharap semoga Rania benar-benar bisa menjadi sekretaris yang diinginkan oleh Alva. Dengan begitu dia tidak akan kerepotan lagi mencari sekertaris lain. Semoga saja memang keinginannya bisa terwujud.