Sepenjang perjalanan pulang, Rania terus membisu. Dia mencoba memberikan Alva kesempatan untuk menjelaskan segalanya padanya.
Namun, hingga mereka hampir sampai, lelaki itu tidak kunjung bersuara juga. Entah apa yang ada di pikiran Alva hingga sepertinya lelaki itu tak berminat menjelaskan apa-apa.
Rania memilih bodo amat! Alva memang selalu sesukanya sendiri. Laki-laki itu tak pernah mau memulai pembicaraan Meskipun dia sendiri yang membuat ulah.
Entahlah, ini memang nasib Rania saja yang sial hingga harus terjebak dengan lelaki menyebalkan seperti Alva. Niatnya Rania ingin hidup tenang dengan bekerja di perusahaan lelaki impoten itu. Tapi justru malah semakin ribet saja.
"Turun!" titah Alva menyentak lamunan Rania.
Gadis itu langsung clingukan melihat pemandangan di depannya. Terlihat jika di depan sana bukanlah apartemennya, melainkan apartemen Alva.
"Tuan, kenapa Anda malah kembali membawa saya ke apartemen anda? Saya kan tadi sudah bilang kalau ingin pulang ke apartemen saya," protes Rania benar-benar kesal pada Alva.
"Ikut aku, kita bicara di atas!" ajak Alva sembari keluar dari mobil tanpa memperdulikan mimik wajah Rania yang tampak tidak bersahabat.
Tentu saja itu membuat Rania mendengus kesal. Ingin sekali dia menggeplak bosnya itu. Bagaimana bisa Alva begitu menyebalkan. Bukan hanya dengan urusan yang berhubungan dengan kantor tapi juga urusan yang berhubungan dengan ranah pribadi kehidupan Rania pun tetap saja digrecoki Alva.
Namun, mau tak mau Rania tetap menurut. Laki-laki itu pasti akan semakin bertingkah semaunya kalau Rania biarkan. Kesal sudah pasti. Hanya saja Rania tak memiliki pilihan lain.
Gadis itu segera turun dari mobil lalu mengekor Alva dari belakang. Alva tampak acuh dan hanya fokus pada jalanan di depannya saja. Seolah Alva sudah tahu kalau Rania pasti akan mengikutinya. Benar-benar kelewat percaya diri!
"Tuan, tidak seharusnya Anda bertingkah seperti tadi di hadapan ibu Anda. Tidak seharusnya Anda mengakui saya sebagai kekasih Anda pada beliau. Kalau ibu Anda tahu yang sebenarnya, beliau pasti kecewa," ucap Rania ketika mereka sudah berada di dalam lift.
"Aku belum mengijinkan kamu untuk berbicara, Rania! Jadi, tidak seharusnya kamu berbicara apa pun di sini. Aku sudah bilang kalau kita akan berbicara di atas, ketika kita sudah sampai di apartemenku, bukan di dalam lift," ketus Alva tanpa menoleh pada Rania.
"Huft, maaf. Saya hanya tidak sabar untuk mendengarkan alasan Anda, Tuan. Saya benar-benar heran dengan apa yang Anda lakukan soalnya," sahut Rania garuk-garuk kepala merasa malu pada Alva.
Alva hanya diam enggan menanggapi perkataan Rania. Tentu saja itu membuat Rania benar-benar kesal. Namun sekesal apa pun Rania, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengerucutkan bibirnya.
"Tuan, saya enggak bertanggung jawab ya, kalau nanti ibu Tuan tahu saya ini hanya pacar bohongan Tuan! Silahkan saja Tuan pertanggungjawabkan sendiri! Saya tidak akan ikut-ikutan," celoteh Rania benar-benar takut kalau nanti harus kena batunya gara-gara perbuatan lucknut Alva.
Alva menoleh pada Rania dengan tatapan yang begitu tajam. Entah apa arti tatapan itu tapi cukup membuat Rania meremang sendiri.
"Kenapa, Tuan? Saya enggak salah ngomong, kan? Kan emang Tuan yang mercikin api, jadi Tuan harus tanggung sendiri kalau kebakar," ujar Rania sembari nyengir memamerkan gigi putihnya.
"Terserah!" sahut Alva benar-benar malas mrnanggapi Rania.
"Kok terserah sih, Tuan. Saya kan memang …."
Ting!
"Kamu mau keluar atau terus ngoceh di sini?" tanya Alva dengan tatapan yang begitu sinis.
Laki-laki itu langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Rania. Gadis itu pun segera mengekor Alva dari belakang. Bisa bahaya kalau Alva kembali marah. Laki-laki itu bisa kembali kesurupan singa datang bulan.
Sampai di dalam apartemennya, Alva langsung mendudukan diri di sofa. Lelaki itu pun memberi isyarat agar Rania duduk di depannya.
Rania yang sedari tadi sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Alva, langsung mendudukan diri di hadapan laki-laki itu.
"Jadi, kenapa Tuan mengakui saya sebagai pacar Anda di hadapan nyonya Marissa tadi?" tanya Rania penuh selidik.
"Hish, apa kamu tidak bisa basa-basi dulu, Rania? Apa harus langsung to the point seperti itu saat berbicara denganku, hah?" kesal Alva mendelik sebal pada Rania.
"Ya, maafkan saya, Tuan. Tapi saya benar-benar tidak mengerti kenapa Anda tiba-tiba mengakui saya sebagai kekasih Anda. Setidaknya Anda bisik-bisik lah, bicarain masalah harga jasa pacar sementara gitu. Biar jelas semuanya," ucap Rania santai.
"Cih! Apa di otak kecilmu itu hanya ada uang dan uang saja, Rania? Apa kamu tidak bisa memikirkan hal lain selain uang, hah?" sakras Alva dengan tatapan yang begitu sinis pada Rania.
"Astaga, Tuan. Memang kalau bukan uang apalagi yang harus saya pikirkan? Hidup itu butuh uang, Tuan. Bahkan saat kita sudah mati pun orang yang mengurus kita itu tetap harus dibayar pake uang.
Apalagi ini transaksi bisnis! Jadi semuanya harus jelas. Enggak mungkin saya mau menggratiskan jasa saya secara cuma-cuma, Tuan. Apalagi tadi Anda menodong saya tiba-tiba," ujar Rania berusaha mengambil keuntungan dari kelakuan gila Alva.
"Hem, baiklah kalau seperti itu yang kamu mau, maka mari kita bicarakan semuanya. Kamu menentukan harga berapa untuk menjadi kekasih bayaranku, Hem? Kamu juga kan tahu kalau kita hanya akan pura-pura menjadi sepasang kekasih di hadapan keluargaku saja. Lebih dari itu kamu hanya sekretaris," ucap Alva dengan tangan yang dilipat di dada.
"Emm, sepuluh juta untuk setiap kali saya berpura-pura menjadi kekasih Anda," sahut Rania penuh semangat.
"Apa tidak ada harga yang lebih mahal, Rania? Benarkah kamu hanya ingin dibayar segitu?" tanya Alva dengan mata yang memicing.
"Ya, memang Anda sendiri ingin mmebayar saya berapa?" tanya Rania kebingungan.
Alva tampak tersenyum tipis dengan tatapan yang semakin sinis saja pada Rania.
"Untuk apa kamu ingin tahu? Bukankah kamu sudah menentukan harga yang kamu inginkan, bukan? Jadi aku rasa harga yang aku tawarkan tidak akan berpengaruh lagi," sahut Alva dengan enggan menjawab pertanyaan Rania.
"Hish, Tuan. Saya kan penasaran. Katakan saja apa berapa harga yang Anda tawarkan! Nanti kan saya bisa memilih akan setuju dengan harga yang Anda berikan atau memilih harga yang saya tetapkan," ucap Rania terlihat begitu penasaran.
"Hem, baiklah. Karena kamu memaksa aku akan mengatakan harga yang aku tetapkan untukmu. Aku akan membayarmu seratus juta untuk setiap kamu memerankan akting sebagai kekasihku," sahut Alva membuat Rania langsung membulatkan mata.
"Seratus juta? Anda tidak salah, Tuan?" tanya Rania tak percaya dengan pendengarannya.
"Hem, tentu saja tidak. Tapi kamu harus mau untuk menjadi pacar plus-plus, bukan pacar biasa."
"Hah?!"