Lexa yang sedang rebahan di kamarnya cukup bingung saat suara bel kamar apartemennya berbunyi. Dia tahu Bocca sedang pergi ke luar kota dan akan kembali dalam dua hari. Lexa juga tidak punya teman atau saudara. Lalu siapa yang mengetuk pintunya? Dengan malas dia berjalan menuju pintu kamarnya dan membuka sedikit untuk mengintip.
"Halo…"
"Kau?" tentu saja itu Valdo dengan sebuket bunga yang cukup besar di tangan kiri dan satu kantong plastik yang mungkin berisi makanan di tangan kanan.
"Apa yang membuatmu datang kemari? Dan bagaimana kau tahu rumahku?" tentu saja dia bingung.
"Ah, aku tahu apartemen ini dari Vano. Aku bertanya dimana kamarmu pada seseorang ibu di bawah tadi. Aku datang karena aku tahu kau sedang di rumah. AKu membawa banyak makanan dan bunga untukmu. Apa kau bisa membuka pintumu sedikit lebar?" tanya Valdo dengan senyum manisnya.
"Ah, maaf. Aku sepertinya hanya terlalu terkejut karena kau tiba-tiba ada di sini," ucap Lexa yang sudah membuka pintu dengan lebar.
"Aku hanya ingin mengunjungimu. Aku tahu perusahaan sedang libur, jadi aku yakin kau ada di sini. Hm, lalu apa kau tidak mau menerima ini?" tanya Valdo dengan lirikan matanya menatap seluruh bawaannya.
"Ah, maafkan aku. Ayo masuk, hm, tapi jangan berharap banyak dengan apartemen kecil ini," Lexa cepat mengambil seluruh bawaan Valdo.
"Tidak masalah. Apartemen ini menyenangkan," senyum Valdo melangkah.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Lexa ingin tahu.
"Hm, bagaimana kalau saling mengenal satu sama lain dengan cemilan yang aku bawa sebelumnya?" pertanyaan itu cepat.
"Saling mengenal? Hehehe," tentu saja pernyataan itu mengundang tawa.
"Apa aku harus mengingatkanmu, aku menyukaimu. Apa salahnya kalau aku ingin mengenal lebih jauh sosok gadis yang aku sayangi?" Valdo sama sekali tak ragu.
"Hm, justru itu. Kau bahkan belum mengenalku terlalu jauh. Bagaimana kau bisa mengatakan kalau kau menyukaiku?" tanya Lexa aneh.
"Hm, bagaimana kalau kau mulai dengan menulis nomormu di ponselku? Agar aku mudah menghubungimu kapan-kapan," senyum Valdo sudah menyodorkan ponsel mahalnya.
Lexa menulis dengan mudah nomor ponselnya dan Valdo mengatakan dia akan menelponnya agar gadis itu juga bisa menyimpan nomornya. Sebenarnya ini juga salah satu triknya agar Lexa mengeluarkan ponselnya, tapi sayang Lexa mengatakan ponselnya sedang diisi ulang di kamar dan dia berjanji pasti akan menyimpan nomor Valdo nanti. Toh tidak mungkin juga ada nomor baru yang menghubunginya kecuali operator katanya.
"Jadi, bagaimana kalau kau mulai bercerita tentang dirimu?" ucap Valdo membuka satu cemilan.
"Hm, tiba-tiba? Ini sangat aneh," ucap Lexa tentu saja kikuk.
"Ya, aku tahu akan sulit bicara dengan santai padaku apalagi setelah kau tahu aku adalah atasanmu juga. Hm, begini, aku masih ingat dengan benar bagaimana kita berbincang untuk pertama kali. Terlepas dari fakta itu, aku masih seorang pelajar yang berusia satu tahun lebih muda darimu. Setidaknya untuk saat ini, perlakukan aku seperti seorang teman," ucap Valdo.
"Tapi… aku punya syarat."
"Syarat? Apa itu?"
"Hm, aku tahu kau pernah mengatakan menyukaiku, tapi terus terang itu membuatku sedikit tak nyaman. Aku hanya tidak mau ada orang salah sangka terhadap hubungan kita saat ini. Lagipula, lembali lagi walau kau ini seorang pelajar, sulit menutupi fakta kalau kau adalah adik dari Vano dan pemilik perusahaan Gold Lycaon juga," ucap Lexa serius.
"Hmh, baiklah. Aku tidak akan terlalu sering mengatakannya, tapi aku berharap kau akan merasakannya. Aku juga tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman dan ya aku tulus saat mengatakan setidaknya biarkan kita berteman untuk saat ini," senyum Valdo menjulurkan kelingkingnya.
"Apa ini perlu?" Lexa menatap skeptic.
"Hahaha. Ya ini janjiku untuk memenuhi syarat darimu," ucap Valdo yang akhirnya disambut dengan baik oleh Lexa.
"Terima kasih. Hm, aku akan mulai membiasakan diri denganmu dan ya aku akan bercerita sedikit tentangku. Kau bisa menanyakan apapun yang kau mau setelahnya. Sebenarnya… aku tidak punya siapa-siapa saat ini. Entah aku sebenarnya juga letih terus mengungkapkannya pada setiap orang yang aku temui. Aku hanya tidak ingin terdengar terlalu menyedihkan. Apartemen tua ini juga sebenarnya adalah peninggalan nenekku. Aku sebenarnya bisa saja pindah dan mencari tempat yang lebih baik atau setidaknya lebih dekat dengan perusahaan saat ini, tapi terlalu banyak kenangan yang ingin kujaga."
"Hm, bagaimana dengan orangtuamu? Hm, aku tahu orangtuamu sudah meninggal. Hanya saja maksudku apa sama sekali tidak ada memori yang kau ingat tentang mereka? Nama ayah dan ibumu atau di mana dulu kalian tinggal atau apapun?" Valdo cukup menggebu.
"Ya orangtuaku memang meninggal dalam kecelakaan. Nenekku mengatakan, ayah dan ibu memang datang untuk menitipkanku padanya karena mereka akan pergi ke suatu tempat. Usiaku masih satu tahun saat itu dan aku tentu saja tidak mengingat apapun. Nenek pernah menunjukkan sekali foto ayah dan ibuku, tapi itu juga menjadi yang terakhir kali. Entahlah, ada perasaan aneh saat aku melihat foto keduanya. Aku tidak bisa mengatakan itu rindu karena aku sama sekali tidak ingat dengan mereka. Bukan juga sayang karena hanya nenekku satu-satunya yang kukenal. Sejak saat itu, nenek menyimpan semua foto dan kenangan tentang mereka untuk dirinya sendiri. Hanya saja sebelum beliau meninggal, dia menitipkan aku satu barang milik ibuku. Beliau mengatakan, itu warisan untukku dan benda itu akan melindungiku suatu saat nanti."
"Benda itu?" Valdo tentu saja penasaran.
"Ya, sebuah liontin berbentuk matahari. Jujur aku sama sekali tidak pernah merasakan efeknya, tapi karena nenek mengatakan aku harus selalu bersamanya, maka aku melakukannya. Aku menjadikan liontin itu gantungan ponselku sekarang dan setidaknya dengan itu, aku bisa merasakan kehadiran nenekku karena beliau yang menyerahkannya padaku."
"Ah begitu. Aku sangat ingin melihat liontinnya kapan-kapan. Hm, dan ya kehidupanmu sangat berat dan kau bisa melaluinya. Bagaimanapun menurutku, itu yang membuatmu hebat," Valdo tersenyum.
"Terima kasih," Lexa tersenyum.
"Hm, sebenarnya aku juga kehilangan ayahku dengan tragis. Walau aku masih memiliki ibu, aku juga mengerti sedikit perasaanmu. Hm, jangan ragu untuk mengatakan apapun padaku. Aku pasti akan selalu di sini untuk mendukung dan menjagamu," Valdo menenangkan.
"Hehehe. Tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula di apartemen ini aku juga tidak sendiri. Aku punya seorang sahabat sekaligus tetangga yang baik," senyum Lexa meminum jus kemasan yang Valdo bawa.
"Sahabat baik? Siapa namanya? Dia laki-laki atau perempuan?" tatapan mata itu mengintimidasi.
"Laki-laki. Namanya Bocca. Dia sahabat terbaikku," ucap Lexa yang tak sadar membuat Valdo sedikit cemburu.