***
"Apa kamu mau ikut acara reuni, Ale...?"
"Tidak," jawab Aletta dengan cepat tanpa berpikir dua kali. Tangannya memegang erat stir mobil dan pandangannya tak berpaling dari jalan raya yang dilaluinya.
Gea menanggapi dengan wajah kecewa. "Yah, kenapa tidak ikut?"
"Kamu lupa?" Aletta menoleh sekilas pada Gea dengan senyum pilu. "Aku baru pulang dari New York setelah menghilang selama delapan tahun. Ditambah lagi, aku memutus semua kontak dengan orang-orang yang ada di Indonesia, kecuali kamu dan keluargaku. Bukankah akan terasa canggung saat kami bertemu lagi?" jelas Aletta yang mencari-cari alasan.
Gea mengangkat salah satu kakinya. "Kenapa begitu, Ale? Justru karena kamu baru pulang setelah sekian lama, kupikir ada baiknya kamu tampakkan wajahmu. Kamu tahu? Reuni terakhir adalah empat tahun lalu dan banyak orang yang menanyakan kehadiranmu padaku. Sekarang kamu ada di sini, kenapa tidak datang saja?"
Aletta bergeming. Hanya terdengar suara pemandu Maps yang instruksinya diikuti oleh sang gadis yang rambutnya digulung asal dengan jedai.
"Ale?" panggil Gea yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya yang bergeming cukup lama. "Kamu baik-baik saja?"
Aletta tersenyum singkat. Dia mengangguk kecil. "Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa, hanya berpikir satu dan dua hal saja."
Gea menatap Aletta, memperhatikan gerak-geriknya yang sedikit gusar. Dia menelan saliva secara tak sadar. "Kamu mau ikut acara reuni, Ale?"
"Akan kupikirkan lagi," jawab Aletta diiringi terkekeh masam. "Ada baiknya juga kalau kamu tidak terlalu berharap, Gea. Ini sudah lama sejak aku pergi dan aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri di hadapan banyak orang yang dahulu kukenal."
"Yah, aku mengerti, tapi sayang sekali...."
"Kuharap kamu mengerti keadaanku," sela Aletta yang menoleh pada Gea dan tersenyum simpul. Menutup pembicaraan yang terkesan mutlak hingga mobil mewah berwarna kuning itu berhenti di pinggir jalan, di depan Kafe Guatemala.
"Hubungi aku kalau rapatnya sudah selesai. Aku tidak akan pergi jauh dengan mobilmu," ujar Aletta saat Gea hendak keluar dari mobil dengan raut yang masam. Gadis itu hanya menyahutinya dengan dehaman kecil dan meninggalkan Aletta sendirian di sana.
Aletta tahu Gea merasa kecewa dan tersinggung karena dia menolak permintaannya dengan tegas untuk pertama kali. Namun, di balik itu, kesiapannya untuk datang ke reuni yang jangkauannya luas pun harus dipertimbangkan karena dirinya telah menghilang tanpa kabar dalam waktu yang cukup lama.
***
"Gea! Di sini!" seru Joan melambaikan tangan dari sudut kafe. Beberapa teman yang dikenalnya saat SMA dahulu juga ikut melambaikan tangan. Setidaknya ada empat orang yang ikut rapat di Kafe Guatemala.
Gea melangkah dan mengganti raut masamnya yang disebabkan penolakan Aletta untuk pertama kali menjadi senyuman lebar.
"Hai, Fahmi, Joan, Desca, Karmila!" sapa Gea yang langsung duduk di kursi yang tersisa. "Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar kalian semua?"
"Kabar baik," ujar Fahmi dan Desca bersamaan.
"Kita cukup sering bertemu, Gea. Fakultas kita hanya berseberangan," ujar Joan yang memegangi laptop sambil tersenyum simpul.
"Seperti biasa, harus kuat dan sehat untuk menjalani hidup yang berat. Kamu sendiri bagaimana?" timpal Karmila yang banyak berbasa-basi.
Gea dan teman-teman lain terkekeh mendengar jawaban Karmila, cukup menghibur walaupun terkesan suram dan dipaksakan.
"Yah, masih bisa bernapas dengan baik," jawab Gea yang diiringi dengan tawa.
"Aku lihat kamu diantar dengan mobil mewah keluaran terbaru. Siapa yang ada di dalam sana?" tanya Desca penasaran. "Pacarmu?" Dirinya pun disenggol oleh Joan karena terlalu frontal bertanya untuk orang yang baru bertemu setelah empat tahun berlalu.
"Tidak perlu dijawab. Anak ini memang punya rasa penasaran yang besar," ujar Joan melirik sinis pada Desca.
Gea terkekeh kecil. "Tidak apa, Joan. Desca masih bertanya dalam batasan wajar." Gea menoleh pada Desca dan tersenyum tipis. "Dia sahabatku."
"Sahabatmu?" timpal Desca keheranan. "Memangnya kamu punya sahabat selain Aletta? Aku cukup sering melihat Instagram kamu, Ge."
"Yah, kamu dan Aletta sedekat itu sejak dulu. Aku juga tidak mengira kamu punya sahabat lain," timpal Karmila.
"Kalian ini...! Mengurusi hidup orang saja!" bela Joan yang meletakkan laptop di atas meja sambil memberikan tatapan penghakiman pada Desca dan Karmila. Dia menoleh pada Gea yang hanya tersenyum canggung. "Sudah kukatakan... jangan menjawab pertanyaan Desca. Dia akan merembet ke mana-mana," sambungnya.
Gea tertawa canggung. "Yah, itu tidak bisa dihindari." Dia mendekat pada Fahmi yang sibuk dengan I-pad, mencari-cari hotel yang memiliki aula bagus untuk reuni. "Jadi, kita yang akan mengurusnya?"
"Karena kita angkatan terbawah yang ikut reuni tiga angkatan... yah... seperti yang kamu lihat. Kita yang akan mengurusnya," jawab Fahmi men-scroll layar sambil multitasking. "Kami sangat bersyukur saat kamu menawarkan diri untuk menjadi panitia tambahan. Itu cukup membantu walaupun masih kekurangan orang."
"Kebetulan aku sedang tidak sibuk dengan perkuliahan dan syukurlah kalau kehadiranku cukup membantu." Segelas smoothies Stroberi diletakkan di samping Gea oleh waiters. "Huh?"
"Untukmu," ujar Joan menjawab pertanyaan yang tercetak di wajah Gea. "Saat kamu mengabari akan datang, aku memesannya. Semoga selera kamu masih sama dengan dulu."
"Oh? Terima kasih, Joan." Gea mengambil segelas smoothies Stroberi, lalu mencobanya. Dia tersenyum tipis. "Smoothies Stroberi masih menjadi seleraku."
"Jadi, Gea... kamu tidak keberatan kalau jadi humas dalam acara ini?" tanya Karmila yang telah memperhatikan mereka.
"Yah, aku tidak keberatan. Hanya saja... aku tidak punya semua kontak alumni dua angkatan di atas."
"Bukan masalah besar. Kamu hanya perlu memberitahukan ketua angkatan dan mendata kehadiran mereka," jelas Desca seraya membuka Line. "Aku sudah mengirimkan ID Line dua ketua angkatan padamu."
"Oh, baiklah." Gea membuka ponsel dan aplikasi Line, kemudian menambahkan ID Line tersebut untuk pertemanan. "Aku akan menghubungi mereka kalau hotel dan HTM sudah ada."
"Fahmi sedang mencarinya. Aku sudah memberikan beberapa rekomendasi, tapi kamu tahu sendiri... dia sedikit perfeksionis dengan hal ini." Joan mengarahkan layar laptop pada Gea dan bertanya, "Menurutmu lebih baik yang mana di antara ke tiga ini? Kurasa kamu cukup perfeksionis. Mungkin bisa membantu meyakinkan Fahmi."
"Yah, kulihat dulu."
"Mahardika sudah ku eliminasi. Di antara Weber dan Queenza Hotel, lebih baik yang mana menurutmu?" tanya Fahmi mendekati Gea.
"Kami Queenza," ujar Karmila mewakili dirinya dan Desca. "Itu hotel Dengan pemandangan yang bagus."
"Hmm... outdoor?" Gea menoleh bergantian pada Karmila dan Desca. "Aku suka itu, tapi sekarang musim hujan."
"Jadi, menurutmu Weber?" tanya Fahmi dan Joan bersamaan.
"Queenza punya tawaran yang menarik, tapi karena akhir-akhir ini hujan sering datang tiba-tiba, kupikir Weber adalah hotel terbaik untuk acara ini. Bukan begitu, Fahmi?" Gea menoleh padanya.
Fahmi tersenyum puas. Dia langsung mengklik kontak admin Hotel Weber yang tertera di sana.
"Aku akan menghubungi pihak hotel. Kamu meyakinkanku, terima kasih."
"Tentu. Aku senang kalau kamu bicara seperti itu," jawab Gea meminum smoothies-nya lagi.
Desca dan Karmila menghela napas pasrah karena ide mereka yang mementingkan pemandangan kalah telak dengan musim hujan.
"Omong-omong, aku penasaran... apa masih tidak ada kabar tentang Aletta?" tanya Desca sambil mengaduk kopi susu. "Dia menghilang begitu saja dan kamu...." Dia menatap Gea. "Kamu seperti menyembunyikannya."
"Pedas juga mulutmu, Desca." Gea menyeringai tipis. "Untuk apa aku menyembunyikan bunga angkatan kita? Aku saja sangat berharap dia muncul di hadapanku."
'Yah, dia sudah muncul. Tinggal memikirkan bagaimana caranya untuk mengajak gadis keras kepala itu,' batin Gea melanjutkan.
"Sangat disayangkan kita kehilangan kontak dengan Aletta. Padahal, dia adalah maskot angkatan kita. Aku penasaran... apa dia masih melajang sampai saat ini?"
"Aku juga penasaran, Joan. Rasanya maskot angkatan kita sangat misterius, bukan? Di saat maskot angkatan lain berseliweran ke sana ke mari, Aletta malah menghilang tanpa kabar."
"Hush... itulah sebabnya Aletta menjadi maskot angkatan kita. Dewi yang misterius sekaligus menawan."
Gea hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Joan, Desca, dan Karmila. Sementara Fahmi yang cenderung pendiam dan peka, diam-diam menyadari ada sesuatu yang Gea sembunyikan.
Dan sesuatu itu... pasti berhubungan dengan Aletta.
***
Bagi sebagian besar orang, hari Senin adalah hari yang paling menjengkelkan. Setelah melewati weekend yang tenang, hari Senin sungguh menjadi cobaan bagi orang-orang yang beraktivitas. Namun, tidak bagi Aletta yang tengah berdiri di depan cermin dengan setelan sweater berwarna cokelat muda dipadukan dengan midi skirt bewarna cokelat tua bermotif kotak-kotak dan rambut yang digerai setengah serta dijepit rapih.
Ini hari pertama Aletta bekerja di perusahaan percetakan yang terkenal sebagai penerjemah bahasa asing.
"Ini tidak mencolok, kan?" Aletta bermonolog sambil berputar-putar di depan cermin. Kesan pertama harus bagus, itulah yang selalu ditekankan dalam dirinya.
Dirinya terperanjat saat melihat jam di meja cermin yang memampangkan pukul 07.20 WIB.
"Astaga! Sudah jam segini saja!" ujar Aletta kaget. Dia segera memasukkan ponsel ke dalam totebag, kemudian berjalan cepat keluar kamar.
"Telat di hari pertama, Ale?" tanya Gea yang baru saja keluar dari kamar dengan wajah khas orang bangun tidur. "Uh, kamu sangat cantik, Ale." Gea mengacungkan dua ibu jari dengan tulus.
"Terima kasih pujiannya, Gea. Masih ada empat puluh menit lagi. Aku berangkat!" seru Aletta berjalan cepat menuruni anak tangga.
Gea memperhatikan kepergian Aletta, lalu berseru, "Jangan lupa sarapan!"
"Aku akan membelinya nanti!"
"Minta supir untuk mengantarmu agar tidak telat!"
"Aku akan naik MRT!"
"Baiklah, hati-hati! Semangat, Aletta Coline! Kamu pasti berhasil!" Gea melambaikan tangan dari atas yang dibalas oleh Aletta sebelum akhirnya gadis yang memakai pakaian tema vintage itu menutup pintu dengan rapat.
Aletta tersenyum riang begitu keluar dari rumah besar tersebut. Seninnya terasa lebih segar karena sudah berbaikan dengan Gea perihal acara reuni waktu itu.
"Pagi, Nona Ale! Mau ke mana? Saya antar, ya?" tawar supir yang langsung berhenti mengelap mobil begitu melihatnya.
"Pagi juga, Pak! Wah, terima kasih tawarannya, tapi tidak perlu. Saya mau berkerja dan ingin naik MRT saja. Itu lebih cepat daripada naik mobil," balas Aletta seraya tersenyum ramah.
"Loh, Nona Ale mau jalan ke stasiunnya? Memang tidak telat?"
"Tidak, Pak. Masih ada cukup waktu sebelum masuk kerja."
"Oh, hari pertama bekerja, ya?" Supir itu meletakkan kanebo. "Benar tidak mau diantar?"
Aletta mengangguk dan masih mempertahankan senyumnya. "Benar, Pak, tidak perlu. Saya berangkat dulu, ya!"
"Hati-hati, Nona Ale!" seru sang supir yang dibalas Aletta dengan acungan jempol.
Kakinya yang jenjang dengan cepat berjalan keluar dari kawasan rumah mewah milik Auguste, papa Gea yang tak pernah pulang itu. Untungnya rumah mewah itu terletak di lokasi yang sangat strategis sehingga hanya butuh waktu tujuh menit untuk sampai di stasiun bawah tanah MRT.
Banyak orang yang berlalu-lalang, memakai pakaian rapih sambil membawa tas kerja. Bagi Aletta yang telah tinggal di New York selama delapan tahun, lalu lalang ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Times Square yang selalu sibuk dan padat.
Aletta menempelkan kartu MRT, kemudian masuk lebih dalam dan menunggu di peron. Dua menit menunggu, MRT yang akan membawanya ke Stasiun Bundaran HI pun tiba.
Dirinya cukup terkejut saat memasuki MRT yang terlihat nyaman dan tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak bisa dibilang sepi.
"Jakarta benar-benar sudah berubah," gumamnya yang langsung duduk di kursi kosong. Gerbong pun tertutup satu menit kemudian dan MRT melesat, membawa penumpangnya dengan cepat.
———