[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]
Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.
[Hallo, Ly.]
Mendengar panggilan Wijas dari sebrang teleponnya, Lilyana justru semakin tidak fokus.
[Hallo, Lilyana. Kamu denger aku.]
[Iya, aku denger,] jawab Lilyana.
[Gimana jawabannya?] tanya Wijas yang sudah dari tadi menunggu jawaban Lilyana.
[Jawaban apa?] Lilya malah balik bertanya.
[Lilyana, aku cinta sama kamu, aku udah suka sama kamu sejak lama, aku tertarik sama kamu. Maukah kamu jadi pacarku?] papar Wijas.
Pipi Lilyana memerah, ia tersenyum malu dan jantungnya berdegub kencang dua kali lebih cepat dari biasanya.
[Iya, Wijas,] jawab Lilyana singkat.
[Iya, kamu nerima aku jadi pacarmu?] Wijas bertanya memastikan dengan ucapan Lilyana.
[Iya … iya.] Lilyana gelagapan menjawab pertanyaan Wijas.
[Iya bener nerima?] Wijas semakin penasaran dengan jawaban Lilyana.
[Iya, Wijas. Aku terima.] Lilyana begitu malu, tak sadar teleponnya ia matikan lalu melemparnya ke atas kasur. Untung saja telepon genggamnya tidak jatuh jadi masih aman.
Malam itu Lilyana masih tidak percaya bahwa kini dia berpacaran, karena Lilyana belum pernah berpacaran, baru kali ini. Lilyana merasakan perasaan yang sungguh aneh, Lilyana membayangkan Wijas setiap saat. Lilyana duduk di depan kaca jendela, melihat langit cerah bertabur bintang, bulan merona berwarna kuning keemasan. Sungguh manis, Wijas berkacamata ketika membuka kacamatanya terlihat begitu sipit, berhidung mancung, berkulit sawo matang, tingginya tidak jauh dari Lilyana. Lilyana berjalan menuju ranjang kasurnya, membaringkan diri lalu menyelimutinya, mencoba menutup mata agar ia bisa tidur, tetapi malam itu Lilyana sungguh tidak sekalipun sanggup memejamkan matanya. 'Aduh, Wijas. Kenapa kamu menghantuiku? bagaimana dengan esok di sekolah. Mati aku!' Lilyana meringkuk lalu mematikan lampu diganti dengan lampu tidur, lalu Lilyana tertidur dengan perasaan gusar.
***
Seperti biasa Wijas menunggu di warung Ceu Mala untuk menjemput Lilyana, bukan tidak berani datang ke rumah, tetapi Lilyana tidak mengizinkan Wijas tahu rumahnya. Wijas tidak menanyakan kenapa dia tidak boleh mengetahui rumah Lilyana, karena belum saatnya Wijas mengetahui lebih jauh soal Lilyana dan keluarga. Lilyana datang dengan gugup kali ini, karena yang menjemputnya bukan lagi teman melainkan pacar.
"Ayo, berangkat." Wijas tersenyum dan bersiap motornya, kemudian Lilyana mengangguk menyetujuinya.
Selama perjalanan Wijas melirik di kaca spion melihat gadis yang kini sudah menjadi pacarnya, wajah Lilyana memerah mengetahui Wijas memperhatikannya. Wijas menarik tangan Lilyana agar berpegangan pada pinggangnya, Lilyana kaget tetapi ia merelakan tangannya agar menempel pada perut Wijas. Dielus tangannya Lilyana, Wijas tersenyum sambil melihat Lilyana di kaca spion. Sampailah mereka di sekolah, Adawiyah melihat Lilyana yang turun dari motor, Lilyana menarik tangan Adawiyah sebelum dia berkomentar soalnya dengan Wijas.
"Aku masuk duluan yah sama Adawiyah." Lilyana berlalu. Sementara Wijas tersenyum dan mengangguk.
Adawiyah sudah sangat ingin berbicara. Namun, Lilyana menutup mulutnya, "Eh, Ly. Kita mau ke mana?"
"Sutt …!"
Lilyana menarik lengan Adawiyah menuju toilet sekolah, setelah sampai baru Lilyana melepaskan tangannya.
"Kamu harus jujur sama aku, Ly. Kamu pasti …." Belum Adawiyah melanjutkan ucapannya Lilyana sudah menyela.
"Aku udah jadian sama Wijas," tegas Lilyana.
"Serius!" Adawiyah berteriak dan menutup mulutnya.
"Jangan kenceng-kenceng!"
"Ma .. af. Dari kapan?" Suara Adawiyah pelan.
"Kemarin sore, dia telpon aku. Aku bingung apa ini keputusan yang benar?" Lilyana lemas ia berbalik ke cermin toilet.
"Nggak papa, Ly. Kamu bisa mencoba dahulu. Aku yakin Wijas orangnya baik kok. Aku dukung kamu menjadi Wily." Adawiyah penuh semangat.
"Wily?" Lilyana membulatkan matanya dan memperhatikan wajah temannya itu dengan lekat, Lilyana bersiap jawaban apa yang akan Adawiyah ucapkan.
"Wijas dan Lily, bagus kan." Adawiyah terkekeh.
"Kirain apaan si." Lilyana kembali cemas.
"Dah nggak usah khawatir gitu. Yu, kota ke kelas. Nanti pacar kamu khawatir kok ceweknya nggak balik-balik." Adawiyah mengusap pundak Lilyana dan merangkulnya keluar toilet dan berjalan ke arah kelasnya. Mereka duduk bersamaan dan menyimpan tas di atas meja, Lilyana tertunduk. Selesai kelas Lilyana tak ingin jauh-jauh dari Adawiyah entah kenapa saat melihat Wijas jantungnya selalu berdebar.
"Ly, kamu pulang sama Wijas kan?" tanya Adawiyah.
"Nggak," jawab Lilyana singkat.
"Wijas, kamu gimana sih ini ceweknya anterin pulang dong!" terika Adawiyah mengagetkan Wijas yang mendekati mereka.
"Lah, ini kan mau aku anterin," celoteh Wijas.
"Tuh sana pulang. Hati-hati yah, Jas. Jangan ngebut," perintah Adawiyah.
"Huum …."
Wijas menyalakan motornya, disusul Lilyana menaiki motor.
"Pegangan dong, takut jatuh," pinta Wijas.
Lilyana menuruti permintaan laki-laki yang kini menjadi pacarnya itu.
"Ly, besok hari minggu."
"Iya … libur sekolah-kan." Lilyana menjawab polos.
"Kita jalan yu."
Lilyana tidak yakin apakah ayahnya akan mengizinkan dia keluar rumah.
"Aku nggak janji ya bisa."
"Kalo kamu bisa kirim pesan aja ya."
"Iya."
Sampai di warung Ceu Mala Lilyana menyuruh Wijas berhenti.
"Nggak sampai rumah?" tanya Wijas.
"Sampai sini aja ya." Lilyana turun, "Nggak papa kan."
"Iya nggak papa, mungkin kamu belum siap."
"Makasih ya, dah …." Lilyana berlalu dan melambaikan tangannya. Wijas berlalu meninggalkan Lilyana.
Sesampainya di rumah, Lilyana mengganti baju seragam dengan baju kaos pendek dan celana panjang. Lilyana turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, dilihat ayahnya yang sedang makan.
"Ly, makan yu."
"Iya, Yah." Lilyana duduk berhadapan dengan ayahnya.
Sambil melirik ayahnya yang begitu lahap makan, Lily mencoba berbicara. "Ayah …."
"Hmm … apa, Ly?" Ayahnya menjawab tetapi pandangannya masih fokus dengan makanan yang ia santap.
"Kalo … Lily … besok main boleh?" tanya Lily dengan terbata-bata.
"Boleh, sama siapa? temen?"
"I … ya."
"Asal jangan lama, dzuhur sudah sampai di rumah," tegas ayahnya.
"Makasih yah, Ayah." Lily tersenyum, ternyata ayahnya mengizinkan ia pergi.
Selesai makan, Lily membereskan piring bekas makan yang sudah menumpuk di wastafel. Lalu, Lily pergi ke kamar untuk memberitahu Wijas. Lily mencari telepon genggamnya, ia lupa menyimpannya, di bawah bantal ia menemukan telepon genggam.
[Wijas, aku bisa pergi besok.]
[Aku jemput di rumah?]
[Jangan, jemput di tempat biasa aja.]
Lily tidak berani menyuruh Wijas menjemput di rumahnya, apa jadinya jika Hertawan—ayahnya mengetahui jika dia berkencan dengan laki-laki atau tahu bahwa dia telah memiliki kekasih, saat ini Lily sangat berhati-hati dengan gerak-geriknya agar tidak dicurigai.
Malam yang begitu cerah, bintang bertabur, bulan bersinar, tetapi gusar dalam hati Lily semakin tidak terjabarkan, Lily senang bisa berkencan dengan Wijas. Namun, ia takut dengan Hertawan—ayahnya, ia merasa apa yang ia lakukan berpacaran seperti ini adalah salah.
Bersambung
***