Chereads / Terjebak Skandal Cinta Dosen / Chapter 10 - Berdebat

Chapter 10 - Berdebat

Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 

'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.

'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.

Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu.

"Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan.

"Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar.

"Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila.

"Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.

Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga.

"Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan agar ia duduk, kemudian ia memberikan teh kepadanya.

"Diminum." 

Hertawan meneguk teh hangat tersebut, Sarinila ke kamar mencari Nery yang sedang bermain.

"Nery, kak Lily sudah datang tuh. Katanya mau ngasih kue ke kak Lily," ucap Sarinila dan mengelus kepalanya.

"Kak Lily sudah pulang?" tanya Nery.

Sarinila menganggukan kepalanya, Nery bangkit dari duduknya ia membiarkan boneka-bonekanya di lantai. Nery menuju dapur lalu ia membuka kulkas dibawanya ke kamar Lily, di depan pintu kamar Nery mengetuk pintu.

"Kak Lily …." Tok tok tok.

Lilyana kaget mendengar pintu kamarnya diketuk, 'Siapa sih yang ketok pintu?' tanyanya.

"Kak Lily, boleh Nery masuk?" tanya Nery.

Lilyana bangkit dari duduk kemudian ia menyeka air matanya, ia membuka pintunya dan ia kaget melihat Nery membawa kue. Nery masuk ke dalam kamar dan ia duduk di atas kasur, "Kak Lily selamat ulang tahun ya. Maaf Nery nggak bisa ngasih kado karena Nery nggak punya uang, ini Nery beli pakai uang Ibu," celoteh Nery membuat Lilyana tersenyum haru mendengarnya, ia kembali menangis bukan karena ia sedih tetapi bahagia Nery adiknya ini begitu perhatian. Lilyana tanpa mengucapkan kata ia langsung memeluk Nery.

"Terima kasih Nery sayang. Kok nggak ada lilinnya?" tanya Lilyana.

"Oh iya, Nery lupa beli lilinnya, Kak," jawab Nery.

"Yaudah nggak papa, kita makan sama-sama kuenya ya." Lilyana memotong kue tersebut dengan pisau plastik yang sudah ada di dalam kotak.

Sementara di depan kamar Sarinila sedang mengintip mereka berdua dengan tatapan tersenyum, meskipun kini Sarinila masih canggung untuk mendekatkan diri kepada Lilyana, karena baginya sudah terlambat jika ia harus masuk ke dalam kehidupan remajanya itu. Sarinila turun dari kamar Lilyana, dan ia kembali ke ruang televisi melihat Hertawan yang sudah bisa mengatur emosinya.

***

Enam bulan sudah perjalanan kisah cinta Lilyana, mereka sebentar lagi akan mengikuti ujian psikotes penentuan masuk ke kelas XI apakah ia masuk di jurusan IPA atau IPS.

"Ly, kamu kira-kira kalau milih mau masuk ke IPA atau IPS?" tanya Wijas yang sedang membonceng Lilyana.

"Pengennya IPA si, tapi gimana hasil psikotes aja," jawab Lilyana.

Wijas terdiam mendengar ucapan Lilyana. Mereka sampai di gerbang dan Wijas memarkirkan motornya, "Yu, masuk," kata Wijas.

Wijas dan Lilyana duduk di bangku masing-masing, semua siswa sudah siap mengikuti ujian psikotes. Pak Doni masuk kelas dan membagikan kertas jawaban di atas meja masing-masing, lalu Pak Doni juga membagikan soal.

"Silakan diperiksa dulu soal dan kertas jawabannya takut ada yang sobek atau salah soal, bapak kasih waktu lima menit," titah Pak Doni.

Lima menit berlalu.

"Oke, ucapkan bismillah terlebih dahulu, silakan dikerjakan sesuai yang kalian bisa, isi semua ya agar memudahkan nasib kalian masuk ke kelas XI di jurusan apa!" Pak Doni duduk di kursi menghadap ke arah siswa yang sudah mulai mengerjakan soal.

Satu jam telah berlalu, dimulai dari soal pengetahuan. Para siswa sangat serius mengerjakan soal, suasana tenang hanya suara balikan kertas bersahutan. Lanjut dengan soal kemampuan verbal, aritmatika, dan gambar dengan waktu dua jam.

Bel sudah berbunyi tanda selesai mengerjakan soal, Pak Doni membawa soalnya dari tangan siswa, meskipun masih ada yang mengerjakan Pak Doni tidak bisa memberikan waktu lagi.

"Silakan dicek kertas jawabannya, jangan sampai ada yang belum diisi. Kalau masih kosong isi saja sembarang pilih." Pak Doni terkekeh, ia begitu menikmati atas penderitaan siswa dengan soal-soal.

"Gimana sudah dicek?" tanya Pak Doni.

"Sudah, Pak," jawab semua siswa.

"Oke, kumpulkan kertas jawabannya di atas meja saya!" perintah Pak Doni. "Kalian bisa pulang, hasilnya besok diumumkan ya." 

Siswa mengumpulkan kertas jawaban, Wijas dan Reza sudah terlebih dahulu keluar kelas disusul oleh Lilyana dan Adawiyah. Mereka kumpul di kantin, "Buset tadi tuh soal ya? Aku baru nemuin soal rumit kaya tadi," keluh Adawiyah.

"Udah jangan dibahas, nanti malah kepikiran terus. Prinsip mengerjakan soal, kerjakan lalu lupakan!" ucap Reza.

Mereka akhirnya makan mie bakso bersama sambil berbincang-bincang, mereka semakin akrab di penghujung kelas X. Besok mungkin mereka akan mulai dengan suasana kelas baru, mungkin keakraban akan akan berubah.

***

Keesokan harinya semua siswa sudah berkumpul di papan pengumuman, mereka saling berdesakan melihat hasil psikotes mereka.

"Misi misi!" Serobot Adawiyah. 

"Wah Ly, kamu masuk IPA. Namaku mana ya, Siti Adawiyah!" Adawiyah membawa nama-nama.

"Alhamdulillah," ucap Lilyana.

"Ketemu, yah aku di IPS deh." 

"Nggak papa, kita masih sahabatan meski kita dipisah oleh jurusan." Lilyana memeluk sahabatnya itu.

"Ya pasti dong!" Adawiyah berkata.

Wijas melihat papan pengumuman raut wajahnya sedikit kecewa, bukan karena ia kecewa dengan hasilnya. Namun, karena ia harus berpisah jurusan dengan kekasihnya.

"Kamu jurusan apa?" tanya Lilyana.

"IPS," singkat Wijas. Kemudian Wijas berjalan terlebih dahulu ke kelas, Lilyana mengikuti Wijas dan mereka duduk. Lilyana bingung dengan Wijas, tetapi ia tidak berani berkata apapun. Pak Doni merupakan wali kelas mereka datang membawa map yang berisi hasil psikotes para siswa.

"Selamat pagi anak-anak. Bapak sudah membawa hasil psikotes kalian, bapak akan memberikan sesuai absen," jas Pak Doni.

Siswa diabsen semuanya, dan sudah mendapatkan hasil mereka, semuanya membuka map hasil tersebut. Ada yang saling melihat map satu sama lain. Wijas mendekati Lilyana kemudian ia melihat map hasil psikotes milik Lilyana.

"Di sini tertulis IPA atau IPS. Jadi kamu tuh sebenernya bisa milih mau ke IPA atau IPS," papar Wijas.

"Iya terus gimana?" tanya Lilyana.

"Kamu harus masuk IPS, Ly. Bareng aku sama Adawiyah," jawab Wijas.

"Nggak bisa gitu Wijas. Di sana aku udah tertulis IPA," timpal Lilyana.

"Kamu bisa minta ubah ke TU. Nanti biar aku yang ngomong ke Pak Doni," tandas Wijas.

"Eh ada apa ini?" tanya Pak Doni. Sementara Adawiyah dan Wijas hanya melongo melihat Wijas dan Lilyana saling beradu argumen, menurut mereka baru kali ini mereka melihat Wijas dan Lilyana ribut.

"Ini pak-." Wijas berkata, namun mulutnya ditahan oleh Lilyana.

"Nggak apa-apa, Pak," ucap Lilyana.

"Beneran?" tanya Pak Doni.

"Iya, pak. Biarkan urusan rumah tangga mereka diselesaikan dulu," sela Reza.

Pak Doni meninggalkan kelas, dan mereka kembali berdebat.

"Mereka bisa ribut juga ya!" Adawiyah bergumam.

"Ya bisalah, kehidupan itu nggak selamanya berjalan lancar, harus ada belok kanan dan belok kiri juga." Reza ikut berbicara.

"Udah udah beda jurusan nggak jadi masalah. Nggak ada yang tanya aku ini jurusannya apa?" timbrung Reza.

"Kamu jurusannya apa emang?" tanya Wijas.

"IPA."

"Tuh kan pas, Wijas biarkan Reza yang jagain Lilyana nanti di IPA," ucap Adawiyah.

"Nggak, nggak bisa. Kamu harus pindah Ly!" titah Wijah.

Lilyana menghela napas, ia hanya berdiam, jika ia terus berdebat dengan Wijas tidak akan selesai.

"Aku mau pulang, kamu mau aku antar nggak?" tanya Wijas. Lilyana menganggukan kepalanya, lalu memegang tangan Wijas, Lilyana memberikan isyarat kepada Adawiyah kalau dia duluan, Adawiyah tersenyum dan mengelus dadanya, "Sabar" bisiknya.

Selama perjalanan pulang Wijas dan Lilyana hanya diam, baru kali ini Wijas begitu marah hanya karena beda jurusan. Sampai di rumah Ceu Mala, Wijas berhenti lalu Lilyana turun.

"Kamu nggak mampir dulu?" tanya Lilyana.

"Bukannya kamu selama ini nggak pernah nyuruh aku mampir ya atau sekadar kenalin aku ke keluarga kamu kan?" cecar Wijas.

Lilyana kaget mendengar ucapan Wijas, memang benar apa yang dikatakan Wijas, Lilyana hanya belum siap saja mengenalkannya kepada orang tuanya terutama ayahnya. 

"Kau kamu nggak bisa jawab berarti kamu hanya basa-basi saja!" Wijas meninggalkan Lilyana tanpa pamit. 

***

Bersambung