Malam itu hujan begitu deras mengguyur kota. Sementara di tengah sepinya jalan terlihat gadis menyegerakan langkahnya—tertunduk sambil menangis menyaingi rintiknya suara hujan. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, 'Masih belum ada ternyata'. Ucapan dalam batinnya terus terulang, ia mengharapkan kedatangan seseorang, menyusulnya dan mengatakan maaf. Namun, ternyata ia tidak kunjung datang.
Jarak menuju tempat yang ia tuju sangat jauh, tetapi rasa sakit membuatnya ia tidak berpikir bahwa mustahil untuk melewatinya. Tidak ada kata lelah, ia hanya berpikir perasaan saat ini yang membuat lelah itu hanya biasa saja.
Beberapa tanjakan sudah ia lewati, jalanan sepi ia anggap ah biasa aja, sampai ia melewati pemakaman pun ia berani, padahal jika ia keadaan sadar mana berani berjalan sendirian dalam gelapnya malam beserta rintiknya hujan.
Hati yang sudah ia titipkan untuk bisa dijaga dengan setia malah dihancurkan, diremuk begitu saja, padahal ia sudah melewati cobaan yang suram, bentangan sabar sudah sangat sering ia telan, memadamkan api cemburu sudah biasa ia lakukan, tetapi makin ke sini ia hanyalah dijadikan boneka.
Sampai di sekretariat, gadis itu membuka pintu, terlihat laki-laki yang sangat ia kenal bersama dengan temannya sedang berduaan menonton film. Melihat begitu sakit berkecamuk murka di dadanya. Mereka melihat gadis itu sekujur tubuhnya basah, tetapi mereka tidak peduli.
Plak pintu kamar ia banting, tubuhnya ia lempar ke atas kasur. Menangis tersedu-sedu adalah cara yang ia bisa untuk saat ini.
Sepertinya amarahnya sudah tak tertahan lagi, kesabarannya sudah tak terbatas lagi. Ia membuka pintu, lalu ia berbicara lantang.
"Akak, ade mau ngomong." Gadis itu mendekati laki-laki yang sedang berbaring menatap ponselnya.
Wajah laki-laki itu menunjukkan ketidak sukaannya, dan melirik ke sebelah kiri ke arah gadis yang sedang menonton televisi.
"Lagian dia sudah tahu kan hubungan kita." Gadiis itu kembali berbicara sambil menahan air matanya.
Sedangkan gadis yang sedang menonton televisi, pura-pura tidak melihat.
"Kamu mau apa?" Laki-laki itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Kabiasaan kalo ada orang lain, jangan ngomongin masalah kita. Hargai orang lain, nggak enak dilihatnya." Lelaki tersebut menarik lengannya menuju sebuah kamar
"Dia juga masalah buat kita, udah tahu ade istri akak kenapa dia masih menggoda akak." Gadis itu menunjuk gadis yang sedang menonton.
"Ih … apa aku nggak tahu apa-apa?" Gadis itu melengos pergi ke ruangan lain, membiarkan pertengkaran hebat yang akan dimulai.
"Kamu mau apa?" tanya laki-laki tersebut.
"Dia kan udah tahu hubungan kita, ngapain masih ngumpet-ngumpet." Tangis gadis itu semakin kencang.
"Kita cuman nikah siri, di luar rumah kita sebatas mahasiswa dan dosen. Kamu harus profesional, kamu harus bisa melihat konteks." Bentak lelaki tersebut.
"Akak, suruh ade buat tutup mulut? Ade nggak boleh memperlihatkan kalo ade sayang sama akak? Padahal dia udah tahu hubungan kita. Terus kenapa setiap dia merayu akak, akak biasa aja? Akak punya hubungan sama dia juga? Kenapa dia boleh sedangkan ade enggak? jawab?" Amarah gadis itu sudah tak terbendung lagi.
"Aku udah capek sama sikap kamu, aku udah berapa kali bilang jangan memperlihatkan kecemburuan kamu sama siapapun."
"Oh, akak capek? Ade juga capek harus sembunyi terus. Ade capek harus menjaga perasaan akak, padahal akak nggak pernah menjaga perasaan ade. Ade harus inget, ade udah ikhlas jadi istri kedua akak, menikah hanya dengan pernikahan siri, tanpa ada bukti dari negara. Apa itu masih belum cukup buat akak bahagiain aku, jaga perasaan aku."
"Aku udah bilang pernikahan ini hanya sementara, kamu bisa cari laki-laki lain. Aku nggak akan pernah bisa jadi seutuhnya buat kamu." Laki-laki tersebut yang sedang duduk di atas kasur. Gadis itu belutut dan memegang tangannya.
"Akak tega! Aku udah pertaruhkan semuanya, sekarang bilang kaya gitu. Dulu akak janji mau jagain aku dari si brengsek Keiza, menyembuhkan lukaku untuk terus berjuang untuk hidup, memberikan harapan bahwa aku harus percaya diri kembali bahwa aku berhak bahagia meski masa lalu terus mengancam aku. Emang aku juga mencoba mencari pengganti akak, aku nggak pernah menolak dekat dengan laki-laki yang mendekatiku, tetapi butuh proses buat aku bisa melupakan akak. Aku nggak mau mereka cuman bahan pelarianku saja. Janji akak yang dulu pernah bilang ke ade semuanya omong kosong."
Laki-laki tersebut melepas genggaman tangan gadis itu kembali ke ruangan televisi, "Iya emang omong kosong, aku nyesel udah nikahin kamu. Aku udah capek, apa kamu nggak sadar, aku udah berubah, aku udah melepasmu, aku udah nggak pernah menafkahimu, itu semua agar kamu bisa bebas. Detik ini kamu udah bukan istriku lagi, aku talak kamu!"
Air mata gadis itu semakin deras, diiringi dengan derasnya hujan. Apa mungkin langit tahu, akan ada kesedihan yang berkepanjangan dimulai? Laki-laki itu meninggalkan gadis yang sedang menangis di ruang televisi sedangkan dia memasuki kamar, dibantingnya pintu kamar. Gadis tersebut memasuki kamar sebelahnya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia melihat cermin, menatap nanar wajah penuh pilu. Meratapi nasibnya, tidak pernah usai ujian silih berganti.
Padahal baru saja dia patah hati oleh laki-laki yang baru ia kenal beberapa hari, kali ini ia benar-benar patah lagi, hubungannya sudah retak. Dua tahun hanya menjadi istri simpanan, diiming-iming kebahagiaan, menjadi gadis yang paling bahagia hidup bersama laki-laki yang sangat penyayang. Namun, itu semua sudah berubah, tidak bertahan lama, ada penyesalan dalam dirinya, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Gadis itu pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, mencuci muka sekadar membasuh air mata di pipinya, meski air mata di hatinya tidak akan pernah hilang.
Kemudian, dia kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya yang penuh luka. Gadis itu menatap langit-langit, kembali mengulas pertemuannya dengan laki-laki yang dulu menjadi dosen pembimbingnya.
'Kenapa? Semua terjadi padaku? Akak pernah menyelamatkanku dari kematian, pernah membasuh lukaku dalam keputusasaan, mengulurkan tangan membantuku bangkit dari penderitaan. Apa sekarang sudah berbalik? Akak kini memberikan luka yang dulu pernah ia sembuhkan,' batin gadis itu meratap.
Sesekali mencoba menutup matanya untuk tidur, tetapi kesedihan telah merenggut raganya, 'Apa jadinya esok? Aku sudah tak sanggup,' batinnya kembali.
'Tetapi, aku tidak pernah menyesal telah mengenalnya. Setidaknya akak pernah membuatku bahagia, memberikan warna dihidupku, membantuku berdiri tegak dengan percaya diri, pernah menyelamatkan hidupku dari pacarku yang brengsek itu. Aku dulu pernah terjerumus dalam bebasnya berpacaran, sampai aku hamil di luar nikah. Akaklah yang membebaskanku darinya, dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Dulu ia pernah berkata kepadaku jika ingin menyembuhkan hati tentunya harus menemukan hati yang lain. Sekarang hati ini sudah patah olehmu, akak. Lalu, siapakah yang akan menyembuhkan hatiku? Bahkan butuh berbulan-bulan aku untuk bisa bangkit dari masa lalu, akak juga harus berkali-kali meyakinkan aku, merayuku untuk bisa bersama, kenapa sekarang menjadi terbalik?'
Hati dan pikiran seakan bersahut-sahutan, mereka seolah sedang berperang memutar memori kebersamaanku bersama akak, masa-masa aku terpuruk kembali terbayang. 'Kini bagaimanakah?'
Bersambung...
***