Angin semakin kencang ditambah hujan yang berjatuhan lebat, jalanan yang licin dan kuda yang sudah tak bisa lagi melihat jalan. Dua kali kaki kuda tergelincir dan hampir kereta jatuh, pekusir itu menepikan keretanya ditengah tengah jalan yang kanan kiri hutan lebat.
"Ada apa ini? Ada sesuatu?" Tanya Chayeong dari kereta.
Pekusir tak menjawab dan menudungi kudanya yang kehujanan, penali kereta kuda dilepaskan dan diikat dibatang pohon. Ia ikut kedalam kereta, dengan pakaian basah.
"Maaf mas, sepertinya saya tidak bisa mengantarkan mas saat ini ke tempat tujuan. Hujannya besar sekali, kuda saya tidak akan mampu melawan petir yang bergemuruh terus terusan. Saya hanya mampu mengantar sampai sini saja, kecuali mas dan dan nonna ini mau menunggu hujan reda." Jelas si kusir.
Zeanly menghembuskan nafas berat, tak terkecuali Chayeong yang tengah sibuk berpikir sekarang. "Kalau menunggu hujan berarti sampai malam, ini sudah sangat sore." Ucap Chayeong.
"Benar mas, tapi kalau mas mau kekeh lanjut perjalanan sekarang, mas bisa jalan kaki kedepan lurus saja sampai ada pertigaan ambil jalan kiri. Tak jauh dari situ ada restoran kecil dan penginapan, sudah lumayan dekat ke gerbang balai kota." Jawabnya.
"Kalau gitu kita lanjut saja, bagaimana?" Usul Zeanly.
"Tidak! Kalau kau sakit siapa yang akan mengurusmu nanti? Aku juga yang repot." Tolak Chayeong.
"Tapi-"
Hendak Zeanly mengusulkannya lagi, tetiba tanah terasa bergetar seperti suara sepatu kuda.
"Apa kau mendengar sesuatu?" Tanya Chayeong.
Kusir menajamkan telinganya. "Itu seperti suara sepatu kuda?" Ucapnya lalu melihat ke arah kudanya yang masih ada ditempatnya.
"Tapi kuda saya masih ada, suaranya juga gemuruh artinya ada banyak ekor kuda yang hendak kemari. Mungkin hanya prajurit-"
Kusir menoleh ke arah dua pelanggannya, CLING! Tidak ada siapapun dikereta itu. Kosong, bahkan barang bawaannya pun juga tak ada.
"Eh?" Si kusir panik keheranan, pasalnya hanya ada uang koin didepannya. "Kemana mereka tadi ya?" Monolognya sambil menggaruk kecil rambutnya tak gatal.
Suara belasan sepasang sepatu kuda itu kian terdengar dan benar saja mereka ada kuda kuda milik prajurit kontrol. Salah satu prajurit menghampiri si pekusir dengan daun pisang sebagai payung.
"Tuan?" Ucap si kusir lalu turun dari kereta, walau hujan tapi ia harus hormat dan sopan agar tak mendapat masalah.
"Kau sendirian?" Tanya si prajurit.
"Euu.." Si kusir hendak menjawab sebenarnya, tapi ia tak cukup bodoh untuk mengerti kenapa dua penumpangnya tadi cepat cepat pergi. "Sen-Sendiri iya tuan saya sendiri." Jawabnya.
"Tak baik kau menepi sendirian ditengah tengah jalan jauh dari pemukiman, kalau ada begal bagaimana? Sebaiknya kau cepat cepat pergi." Usul si prajurit.
Benar juga, kusir itu sampai lupa akan adanya begal yang rawan disekitar hutan ini. "Iya Tuan, terimakasih karena sudah mengingatkan." Ujarnya.
Prajurit itu berdeham, melihat lihat kereta dan kuda si kusir lalu kembali ke kudanya lalu pergi bersama rombongannya melanjutkan perjalanan.
Saat para prajurit telah agak jauh, si kusir itu agak tenang dan menghela nafas lega. Setidaknya ia selamat kali ini dengan berbohong, karena sejujurnya sangat dilarang bagi penduduk desa memasuki wilayah balai kota selain pekusir dan tabib atau orang berkepentingan.
"Aneh sekali, cepat sekali dua orang itu perginya. Sudahlah, lebih baik aku pergi juga secepatnya." Monolog si kusir lalu bersiap pergi.
Ditempat lain..
Zeanly berjalan sambil hujan hujanan dipayungi daun kelor oleh Chayeong, barang bawaan yang tak banyak namun cukup berat itu membuat Chayeong sedikit keberatan.
"Apa masih jauh? Sampai saat ini aku belum bisa melihat pertigaan jalan dari sini." Ucap Zeanly.
"Hemm.. Mungkin, aku biasanya pakai jalan pintas ke hutan terlarang. Jalan sini aku tak tahu jalan." Ucap Chayeong.
"Kalau gitu kenapa gak jalan hutan aja?"
"Jangan, berbahaya. Banyak hewan liar dan buas yang bisa kita temui nanti kalau jalan sana, apalagi barang bawaan yang kita bawa cukup susah." Larang Chayeong.
Zeanly mengangguk, mereka berdua berjalan menelusuri jalanan becek hujan hujanan walau jalan seperti tak ada ujung.
Agar tak suntuk dan tak bosan, Chayeong memberikan pertanyaan untuk Zeanly. "Zeanly." Panggilnya.
"Ya?" Sahut wanita muda itu tetap pokus ke depan jalan, membiarkan Chayeong mengoceh terus disampingnya.
"Seperti apa negerimu?" Tanyanya.
Zeanly sempat terdiam, mengatupkan mulutnya. Namun karena ia juga merasa tak ada topik lalu ia menjawab seadanya saja.
"Republik, demokrasi." Jawab Zeanly.
"Apa itu?"
"Negara yang dipimpin oleh presiden, jika disini mungkin disebutnya Raja." Ucap Zeanly.
"Benarkan?" Zeanly mengangguk.
"Lalu, apa di negerimu sangat indah?" Sekali lagi Zeanly mengangguk.
"Apa kau punya pasangan dinegerimu?" Hampir saja Zeanly mengangguk.
"Tidak." Jawabnya tegas.
"Yakin?" Chayeong menggoda. "Jujur saja padaku soal asmaramu, aku tidak akan bilang pada siapapun kok." Ucap Chayeong.
"Maksudku tidak, itu aku tidak punya pasangan. Tapi kalau mantan pacar sih ada." Jawab Zeanly. Hendak Chayeong bertanya apa itu mantan pacar, segera Zeanly jelaskan. "Mantan pacar itu orang yang dulunya pasangan kita, tapi mengakhiri hubungan dan jadi orang asing." Jelasnya dan Chayeong ber oh.
"Siapa mantan pacarmu?" Tanya Chayeong.
"Rahasia." Jawabnya.
"Apa Rahasia lebih tampan dariku?"
Zeanly menoleh ke arah Chayeong yang juga ternyata tengah pokus melihat jalan sambil melontarkan pertanyaan, entah karena apa tapi hidung Chayeong memereh. Zeanly yakin itu pertanda lelaki itu akan demam.
"Sebaiknya kita menepi saja dulu, meneduh." Saran Zeanly.
"Haha.. Meneduh dimana Zean? Disini tidak ada rumah satupun." Ucap Chayeong.
"Kata siapa?" Tanya Zeanly berhenti berjalan.
Chayeong yang merasa gadis itu berhenti pun ikut menghentikan laju langkahnya, ia baru sadar jika mereka sudah sampai dipertigaan jalan.
"Sebentar lagi pasti ada restoran kecil, nanti kita tanya kesana dimana penginapan, sebelum itu kita harus mengisi perut nanti disana." Ujar Zeanly mengusap rambut lurus Chayeong.
Lelaki itu sejenak tertegun, memandang wajah Zeanly yang terlihat bercahaya dan sexi dibawah guyuran hujan. Sampai Zeanly berkata ayok dan berjalan lebih dulu, tangannya menjatuhkan daun kelor yang sedari tari ia bawa namun tak ia pakai.
"Jangan melamun!" Tegur Zeanly lalu menarik lengan Chayeong.
Chayeong tersadar lalu tersenyum, berjalan digiring Zeanly ternyata menyenangkan. Sepanjang perjalanan menuju restoran kecil yang dimaksud pekusir itu Chayeong terbayang dengan sahabatnya, Saeri.
'Saeri apa baik baik saja? Aku terlalu bersemangat sampai lupa memberi tahu kepergianku pada Saeri.' Gumam Chayeong.
Chayeong menggeleng. 'Tidak, aku harus pokus perjalananku kali ini. Aku sudah berjanji bertanggung jawab penuh atas Zeanly, setelah semua ini selesai aku akan mengabari Saeri kalau aku dan Zeanly sudah menikah.' Batinnya.
"Kau melamunkan apa?" Tanya Zeanly menyadarkan Chayeong.
Ia menoleh kaget sembari tersenyum kaku pada wanita didekatnya. "Bukan apa apa, aku hanya lupa kalau aku tidak mengabari Saeri tentang perjalanan kita kali ini." Jawab Chayeong.
Raut ekspresi wajah Zeanly berubah, yang semula ceria sekarang kusut. 'Sudah bersamaku, ternyata dia masih mengingat sahabat wanitanya.' Kesal Zeanly dalam hati.
"Ouhh, kita bisa memberitahunya nanti. Ayok cepat kita harus pergi, sebelum malam datang sebentar lagi." Ucap Zeanly menahan emosi.
Chayeong mengangguk dan mereka berduapun melanjutkan perjalanan, menempuh guyuran hujan lebat dan beruntung guntur dan petir sudah tak terdengar lagi.
'Sabarlah Zeanly, kau bisa membuat Chayeong perlahan melupakan sahabatnya itu.' Batin Zeanly menekatkan hati.