Sebuah mobil memasuki gerbang kampus, sebuah Lamborghini merah yang mewah dan memukau. Kehadirannya membuat semua mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di halaman, menyaksikan dengan penuh rasa penasaran saat mobil tersebut terparkir sempurna. Tak lama, seorang gadis cantik keluar dari mobil dengan outfit yang memukau, menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
Semua serentak menjerit, bak menyambut seorang dewi langit. Gadis itu menutup pintu mobil dengan elegan, lalu melangkah santai menuju lorong kelas. Tatapan penuh kekaguman dan iri mengarah padanya. Kehadirannya memang berbeda, memancarkan aura kesempurnaan dan kehidupan mewah.
"Aaaaahhh! ZEANLY!!!"
"Please angkat gue jadi sodara lo!"
"Gue rela jadi pelayan lo, Zean! Asal makan gratis!"
Dengan langkah anggun, dia berjalan memasuki lorong kelas, tidak peduli pada jeritan massa. Tatapan dinginnya membuat semua orang semakin kagum dan—jujur saja—segan.
Di kelas, dia membuka lokernya yang canggih, dilengkapi kode pengaman yang bahkan lebih rumit daripada sistem keamanan NASA. Tapi ... lagi-lagi ada kado kecil di dalamnya.
"APALAGI INI?!" gumam Zeanly kesal.
Kotoya, si pengagum rahasia, hanya tersenyum dari jauh, menikmati pemandangan ketika hadiah berlian Chanel-nya dianggap remeh. "Mungkin lain kali aku kasih rumah, ya?" pikirnya polos.
Ia menyimpan kalung tersebut, menutup loker, lalu kembali ke kursinya. Hari itu cerah, tetapi bagi Zeanly terasa biasa saja. Hidupnya memang sempurna, tetapi ia masih jomblo. Lalu tak lama, sahabatnya muncul.
Lidya, yang juga dari Indonesia, menghampirinya. Lidya selalu aktif dan menjadi satu-satunya teman dekat Zeanly. Mereka bercanda sejenak dan tak terasa sudah masuk ke dalam kelas. Tawa riang dan candaan terlontar dari mulut temannya itu, sebelum dikejutkan oleh kedatangan siswi baru. Lisa, yang ternyata memiliki hubungan di masa lalu dengan Zeanly.
Di kelas, Lisa si murid baru, mencoba mendekati Zeanly dengan membawa bunga mawar yang dia pungut dari taman depan kampus.
"Hi, Zeanly! Salam kenal!" katanya dengan senyum gugup, menyodorkan bunga yang ia bawa.
Zeanly hanya melirik malas. "Mawar layu? Seriusan, lo pikir gue hantu kuburan?"
Ya, gadis itu adalah Zeanly. Sosok misterius yang menjadi pusat perhatian di kampus. Kaya raya, cantik, dan memiliki senyuman tipis mematikan yang tak mudah dilupakan. Tak seorang pun berani menantangnya, apalagi melawannya. Sebaliknya, banyak yang mencoba mendekatinya untuk panjat sosial.
Lisa tersenyum kaku. "He-he... iya, makasih atas masukannya." menggaruk tengkuk karena malu, tak jadi memberi bunga.
Di ambang pintu, seorang lelaki berkacamata menyaksikan keributan itu. Ia menatap gadis cantik berambut hitam, yang tak lain adalah Zeanly. Bibirnya bagai pelangi, melengkung tipis mengangumi kekuasaan gadis tersebut.
Dia Kotoya, anak seorang musisi terkenal di Jepang. Meski berasal dari keluarga kaya raya, ia memilih hidup sederhana dan merantau ke Seoul untuk pengalaman baru. Kotoya pertama kali bertemu Zeanly saat masa penerimaan mahasiswa baru, sebuah momen yang mengubah hidupnya.
Gudang kampus, dua tahun lalu.
Kotoya, mahasiswa baru, sedang menjalani hukuman karena lupa memakai kaos kaki sesuai peraturan. Namun, alih-alih hanya membersihkan gudang, dia dikeroyok oleh lima kakak tingkat berbadan besar.
"Hei, anak baru! Berani banget lo gak pakai kaos kaki!" salah satu dari mereka memukul bahunya.
"Kaos kaki doang, Kak. Gak usah lebay!" Kotoya mencoba bercanda, tapi wajahnya langsung dihajar.
'BUGHH!'
"Gilak, berani banget lo ngomong gua alay. Anak jurusan mana lo hah?!"
Keributan itu berlanjut, dengan aksi pengeroyokan hinga tahu tahu Kotoya dibuat tak berdaya. Dari kejauhan, langkah sepatu terdengar mendekat. Zeanly muncul di depan pintu gudang, menatap mereka dengan ekspresi setenang guru yoga.
"Permisi, kakak pembina dipanggil ke ruang rapat sekarang," katanya santai sambil mengetuk pintu dua kali.
Kelima kakak tingkat itu menoleh. Awalnya kesal, tapi begitu melihat Zeanly, wajah mereka berubah total. Gadis itu seperti keluar dari iklan parfum mahal.
"Lo anak baru juga, kan? Cantik juga tampang lu," tanya salah satu dari mereka, mencoba terlihat tangguh.
"Ya, ada masalah?" Zeanly menjawab dengan nada sedingin lemari es.
Kotoya yang babak belur hanya bisa memandang dengan satu mata yang masih bisa dibuka. Gadis yang berani, pikirnya.
"Ngapain lo disini? Pergi sana!"
"Ga denger ya tadi saya ngomong apa? Kalau ga denger yaudah nih!"
Zeanly mengangkat ponselnya. Di layar terlihat video rekaman pengeroyokan yang sedang berlangsung.
"Lihat, gue gak suka drama, tapi ini bisa jadi konten viral. Jadi gimana, mau gue upload sekarang?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
Kakak-kakak tingkat itu langsung pucat. "Hapus videonya!" mereka memerintah.
"Hapus? Gue sih gak masalah hapus, asal kalian pergi sekarang dan jangan ganggu dia lagi."
Tanpa banyak debat, kelima kakak tingkat itu pergi seperti tikus yang dikejar kucing. Zeanly menatap Kotoya sekali lagi.
Zeanly menatap Kotoya dengan tatapan datar, tak ada wajah kasihan ataupun iba. Persis pahlawan sesungguhnya, keren, "Makasih udah__"
"Gue Zeanly." Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Kotoya yang tergeletak dengan wajah memerah. Bukan karena pukulan, tapi karena… jatuh cinta.
Kembali ke masa kini
Lidya, sahabat Zeanly yang selalu penuh ide gila, menambahkan, "Lain kali coba kasih jeruk Bali aja. Lebih sehat hahaha.."Â
"Lagian udah tau miskin, masih aja ga tau diri." lanjutnya lagi tertawa disamping Zeanly yang diam saja. Zenly mendengus melihat Lisa masih berdiri di depannya seolah menghalangi jalan.
Lisa melangkah mendekat ke meja Lidya dengan ekspresi penuh tantangan. "Lo pikir lo siapa? Semua orang cuma takut sama lo bedua karena status!" ujar Lisa dengan nada tinggi. Kini ia tak terima dihina tak tau malu oleh wanita di depannya.
Lidya menciut, ia menatap Zeanly meminta pembelaan.
Zeanly menatap Lisa tanpa ekspresi, sedikit mengangkat alis. "Ada masalah, Lisa?" jawabnya datar, namun ada kesan tajam di dalam suaranya.
"Masalah? Iya, masalah besar!" Lisa melangkah lebih dekat. "Lo selalu merasa paling hebat, suka seenaknya bikin orang takut sama lo. Lo nggak punya hak buat ngatur hidup orang lain. Gue cuman mau berteman, itu pun salah di mata kalian!"
Zeanly menatapnya dingin, seolah menilai, "Gue nggak perlu hak, Lisa. Gue cuma nggak suka orang seperti kamu yang sok berteman tanpa punya kualitas."
Lisa terdiam sejenak, wajahnya memerah karena marah. "Sok pinter ya kalian! Lo bedua cuma mengandalkan kekuasaan keluarga kalian doang!"
Zeanly tersenyum sinis. "Kekuasaan keluarga? Gue nggak butuh itu untuk bikin lo tahu tempat, Lisa. Lo cuma anak yang takut sama kenyataan."
Mendengar itu, Lisa semakin panas. "Jadi lo kira gue nggak tahu diri? Kalau begitu, gue bakal tunjukin lo siapa yang sebenarnya nggak tahu tempat!"
Zeanly mendekat dengan tenang, suara pelan namun tajam. "Tunjukin apa? Lo cuma bisa omong doang, Lisa."
Zeanly mundur, ia tersenyum puas melihat wajah merah kebakar di wajah gadis tengis di depannya. "Udah cukup, pergi sana sebelum gue mulai mainin permainan yang lo nggak bisa selesaiin." Kekeh nya sinis.
Lisa meronta marah, tapi langkah Zeanly yang tenang dan penuh wibawa membuatnya tak bisa membalas lagi. Sambil menatapnya, Zeanly akhirnya berbalik dan berjalan ke kursinya, meninggalkan Lisa yang terpaku, kesal namun tak bisa berbuat apa-apa.
Di tengah situasi tegang di kelas itu, langit tiba-tiba berubah gelap. Suara gemuruh terdengar memekak telinga siswa siswa disana.
"Eh, kok ini langit jadi kayak film kiamat?" komentar Lidya sambil memandang ke luar, ia masih berdiri tak sengaja memperhatikan langit.
"Gue rasa…" salah satu siswa lain menelan ludah. "TSUNAMI!"
Suasana berubah panik. Zeanly, Lidya, dan yang lain hanya bisa saling pandang, menyadari bahwa hidup sempurna takkan melindungi mereka dari ombak setinggi gunung.
"Anjing itu ombak segede fuji cok!!" sahut yang lain.
Kampus yang penuh dengan kemewahan dan kesombongan mendadak dilanda kepanikan. Semua orang berlarian menyelamatkan diri. Kepanikan masal pun terjadi. Semua orang berlarian seperti sedang ikut lomba maraton dalam danau yang dangkal.
"Gue belum siap mati, Zean! Ayok kabur!" Lidya berteriak meninggalkan Zeanly sendirian dikelas.
Zeanly menatap ombak besar itu, wajahnya tetap dingin. "Ya, gue juga gak siap. Tapi kalau ini akhirnya, setidaknya gue tetap terlihat keren."
Dalam sekejap, air menyapu seluruh kelas, membanjiri lantai, dan sebelum Zeanly sempat bergerak, ombak itu sudah membanting tubuhnya ke dinding kelas. Terguling, Zeanly berusaha untuk bangkit, tapi arusnya terlalu kuat. Tubuhnya terhempas, terseret arus air yang datang tanpa ampun.
"Sialan!" Zeanly sempat berteriak, berusaha untuk berenang, namun air begitu deras dan tinggi. Dengan kekuatan luar biasa, ombak itu menghantamnya lagi, kali ini lebih keras. Dalam hitungan detik, Zeanly tidak bisa bertahan. Gelombang besar menyapu tubuhnya, dan dengan cepat ia tenggelam ke dalam kegelapan air.
Segalanya terasa menghilang begitu cepat, dan Zeanly terperangkap dalam arus deras itu. Tak ada lagi suara, hanya desisan air yang mengisi telinganya, sebelum akhirnya tubuhnya kehilangan kendali dan jatuh tak sadarkan diri, tenggelam dalam kepanikan yang merayap ke seluruh kampus.