"Syifa, kamu baik-baik saja, kan?"
Cyntia yang baru saja memasuki kamar Albert pun langsung memeriksa hampir keseluruhan anggota tubuh Syifa. Perempuan itu begitu panik perihal kondisi sahabatnya.
"Saya tidak pa-pa. Syukur, kalian datang tepat waktu. Kalau saja tidak, saya tidak tahu bagaimana kondisi saya selanjutnya. Lelaki itu benar-benar komplit kehilangan akal sehatnya," terang Syifa. Dia kemudian kembali memakai pashmina seraya merapikan dan menyandangkannya seperti biasa.
"Mari keluar, saya tidak mau lama-lama berada di sini." Syifa kembali berbicara, sedang sahabatnya itu mengangguk kemudian membantu Syifa keluar dari kamar.
"Kamu tenang saja. Albert sudah diamankan polisi," ucap Cyntia sembari menatap kepergian Albert dan semua anak buahnya yang kini tengah ditahan polisi seraya keluar dari mansion ini.
"Kamu tau, kan, kalau dia ber-uang? Kapan saja dia mau keluar, pasti akan mengeluarkan sogokan. Dan kamu juga tau sendiri para penahan sekarang seperti apa. Di mana ada uang, maka hukum keadilan seolah sudah tidak berjalan."
Cyntia berdecak, membenarkan perkataan Syifa.
"Kamu tenang saja. Polisi itu tidak terpancing dengan suapan." Kali ini bukan lagi Cyntia yang bersuara, melainkan Gus Arfan. Lelaki itu baru saja memunculkan batang hidungnya, diikuti dengan ketiga santriwan lainnya.
"Kamu seyakin itu?" tanya Syifa.
Gus Arfan mengangguk, mantap.
"Mustahil saya bisa mempercayainya. Hukum seolah hilang selama uang dengan nominal besar disuguhkan."
Kali ini Gus Arfan manggut-manggut. Lelaki itu sama sekali tidak menyalahkan semua perkataan Syifa. Sebab, apa yang terlontar dari mulut perempuan itu, hampir sesuai dengan realita yang ada, meski tidak semuanya.
"Saya tidak menyalahkan perkataan kamu. Tapi untuk yang ini saya bisa pastikan, para penahan yang baru saja menahan mereka, tidak akan tergiur dengan berapa pun nominal seperti apa yang kamu katakan. Sebab, kejujuran bagi mereka adalah harga diri. Jadi, jika mereka tidak bisa menjaga kejujuran itu, maka sama artinya mereka sudah kehilangan harga diri mereka sendiri. Saya pikir kamu memahami apa yang saya katakan ini."
Syifa menghela napas. Dia kini menatap sang lawan bicara dengan tatapan penuh selidik, sedang Gus Arfan---lelaki yang ditatapnya---perlahan membuang muka.
"Jangan tatap saya seperti itu," ucap Gus Arfan.
"Tidak. Saya hanya masih bingung tentang jalan pikiran kamu. Kenapa kamu bisa seyakin dan sepercaya itu."
"Walah, Mbak Syifa ini belum tau, kalau salah satu dari penahan itu pamannya Gus kita? Gus Arfan sangat dekat dengan beliau. Dia sangat mempercayai bahwa pamannya itu amanah. Tidak hanya Gus Arfan, Mbak. Kita sebagai santriwan pesantren Al-Huda juga sangat kenal baik dengan beliau." Bagas yang sedari tadi terdiam kini langsung bersuara. Hal itu nyaris membuat Syifa ber-oh ria. Pantas saja si gusnya itu begitu yakin dengan apa yang dikatakannya.
"Tapi namanya manusia. Bisa khilaf kapan saja." Kali ini Cyntia menyahuti. Syifa yang ada di dekatnya pun turut menjentikkan jari, membenarkan perkataan sahabatnya ini.
Gus Arfan tersenyum simpul, seraya mengangguk. "Benar. Tapi tidak ada salahnya kita husnudzon kepada sesama, bukan?"
Kedua perempuan itu sejenak saling pandang dengan raut ekspresi yang nyaris hampir sama. Setelahnya, mereka kompak menghela napas.
"Benar." Syifa akhirnya menyahuti. "Lalu, bagaimana dengan Maid yang tadi ada di sini?" tanya Syifa dengan celingak-celinguk mencari seseorang yang tengah dimaksudnya.
"Semua yang ada di sini, baik Maid ataupun petugas lainnya turut dibawa di kantor polisi. Biar di sana mereka menjelaskan semuanya," jawab Syams.
Syifa terdiam. Dia kembali mengingat bahwa sang Maid tidak bersalah. Dia begitu baik kepada Syifa. Mengingat dahulu ketika dia masih bersama Albert, sang Maid juga seolah sudah menjadi teman Syifa. Dia juga melayani Syifa dengan begitu baik pastinya.
"Baik, Asyifa, kalau begitu lebih baik kita semua segera kembali ke pesantren. Abah menunggu dan panik ketika kamu tidak kunjung balik saat itu."
Syifa mengangguk. Dia perlahan menatap Cyntia yang juga kali ini tengah menatap ke arahnya dengan tatapan tanya.
"Bagaimana denganmu?" tanya Syifa, "Apakah kamu turut ikut ke pesantren?"
Cyntia segera menggeleng, cepat. Mendengar nama tempat itu saja membuatnya trafeling perihal berbagai macam aturan ketat yang berlaku di sana. Pasalnya, dia belum merasakan realita seperti yang dirasakan Syifa, yang pasti kenyataannya tidak seseram apa yang Cyntia bayangkan.
"Tidak, Syifa. Saya akan kembali ke apartement saya."
"Tapi, jarak apartement-mu sangat jauh dari sini. Apalagi hari sudah terlalu larut malam," sahut Syifa lagi. Rasanya dia juga tidak bisa tenang.
"Benar kata Asyifa. Mengingat hari sudah terlalu larut malam, bukankah alangkah baiknya jika kamu turut bersama Asyifa ke pesantren? Biar sementara waktu, kamu bisa tinggal di asrama."
Cyntia kesekian kalinya menggeleng cepat seraya menatap ke arah Gus Arfan, "Sebelumnya terima kasih, Gus, tetapi saya akan ke apartement saya saja. Tapi jika tidak memungkinkan, mudah, biar saya cari penginapan untuk sementara waktu."
"Dan kamu, Syifa. Tenang saja. Jangan khawatirkan saya. Kamu baik-baik saja, maka saya juga ikut baik-baik saja. Pulang larut malam bukankah itu sudah hal biasa?" Cyntia menatap sahabatnya dengan berusaha mencairkan suasana.
"Lebih baik kita segera keluar dari mansion ini," sambung Cyntia lagi. Hal itu mendapat persetujuan dari yang lainnya. Terkecuali dengan Syifa yang menghela napas, pasrah.
***
Perlahan, Syifa menuruni ojek pun sama halnya dengan Gus Arfan dan juga ketiga santriwan lainnya yang lainnya. Sedang Cyntia, perempuan itu tadi sudah terlebih dahulu menempuh jalur yang berbeda. Sesuai dengan keinginannya, dia pasti sudah mencari tempat untuknya sementara menginap.
[Jangan lupa kabari saya, jika kamu sudah sampai di tujuan.]
Satu kalimat itu Syifa kirimkan untuk Syifa. Selang beberapa detik, muncul balasan dari sahabatnya itu.
[Oke. Tenang saja. Apakah kamu sudah sampai di pesantren?]
[Sudah, Cyntia.]
Setelah mengirimkan balasan, Syifa mematikan sejenak ponselnya yang sudah melemah daya. Perempuan itu turut mengikuti langkah keempat lelaki yang kini tengah memasuki gerbang pesantren.
"Alhamdulillah, Syifa sudah kembali."
Kiai Faizan mengucapkan kalimat syukur berkali-kali ketika mendapati Syifa sudah kembali berada di pesantren.
Syifa gelagapan. Melihat Kiai Faizan, membuatnya kembali teringat awal mula dia izin keluar kelas diniyah. Syifa merasa bersalah sekali dengan beliau.
"Kiai, maafkan saya," ucap Syifa.
Kiai Faizan tersenyum sembari mengangguk, pelan. "Tidak ada yang salah, Syifa. Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Kiai Faizan.
Syifa mengangguk. Bersamaan dengan itu Ning Khanza turut hadir di depan gerbang. Dia tersenyum lebar mendapati kehadiran Syifa. Bahkan, Ning Khanza juga memeriksa Syifa. "Yaa Allah, Syifa. Senang sekali akhirnya kamu ada di sini. Bagaimana, Syifa, apakah kamu baik-baik saja. Tidak ada yang melukaimu, kan?" tanya Ning Khanza.