"Assalamu'alaikum. Asyifa mencari saya?"
Syifa spontan menoleh ketika mendengar suara berat dari belakang. Melihat Gus Arfan, semakin membuat degup jantungnya kembali saling bersahutan.
"I--iya, Gus," ucapnya.
"Ada apa, Asyifa?"
Syifa bergegas menyodorkan sebuah benda yang sedari tadi dibawanya, "Saya mau mengembalikan ini. Maafkan saya, karena baru ingat dan baru mengembalikannya."
Gus Arfan sejenak terdiam, "Apa ini?"
"Sabuk silat milik Gus. Yang pada saat saya awal masuk ke pesantren sini, Gus meminjamkannya."
Gus Arfan manggut-manggut. Dia mengingatnya. Perlahan, kedua tangannya terulur menerima benda itu, "Terima kasih, Asyifa."
"Justru seharusnya saya yang harus minta maaf, Gus."
"Maaf? Buat apa?"
"Gus Arfan pasti sudah lama, kan, membutuhkan ini? Tapi Gus segan bilang kepada saya."
Gus Arfan terkekeh, "Tidak, Asyifa, santai saja. Selama saya latihan juga sah-sah saja tidak memakai sabuk ini. Karena yang terpenting itu niatnya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih."
Syifa menghela napas, "Seharusnya saya yang berterima kasih karena sudah dipinjami." Syifa meluruskan, sedang lelaki yang ada di hadapannya dengan jarak kisaran satu langkah pria dewasa itu terkekeh, pelan.
"Kalau begitu, kita sama-sama berterima kasih," ucapnya yang nyaris membuat Syifa tertawa. Perlahan, tawa Syifa terhenti. Dia memperhatikan gerak-gerik Gus Arfan yang meski sedang berkomunikasi dengannya, tetapi tidak lupa terus menjaga pandangan mata.
Gus Arfan yang merasa ada yang memperhatikannya pun langsung menatap pacuannya. Lelaki itu sejenak menatap Syifa, kemudian menurunkan pandangannya seraya beristigfar, pelan.
"Baik, kalau tidak ada keperluan lain, saya pamit kembali ke asrama, tidak apa-apa?" tanya Gus Arfan. Dia kembali berkomunikasi normal dengan Syifa seperti semula.
"O--oh, tidak apa-apa, Gus. Sudah tidak ada keperluan lain." Syifa menjawab spontan. Dia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba dirinya semakin grogi seperti ini. "Maaf, saya mengganggu waktu waktu Gus Arfan," sambungnya lagi, sedangkan Gus Arfan menggeleng. Syifa sama sekali tidak menganggu waktunya.
Setelah berpamitan, Gus Arfan beranjak kembali masuk ke dalam asrama putra.
Syifa segera membalikkan tubuhnya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, "Syifa, kenapa, sih, kamu jadi grogi dan salting gini. Ini Gus kita, loh. Malu-maluin aja," rutuknya dalam hati.
Perlahan, Syifa mengembuskan napasnya. Dia kemudian melangkah seraya menuju asrama putri.
Set!
"Sini ikut saya!"
Syifa nyaris terkejut ketika tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik paksa oleh seseorang hingga membawanya di tempat yang jauh dari jangkuan para santriwati atau santriwan lainnya.
"Apa, sih! Lepas!"
Sindi. Perempuan itu langsung melepaskan cengkramannya.
"Kamu sebenarnya punya urusan apa, sih, sama saya? Saya pikir sebelumnya kita tidak saling kenal. Jadi, seingat saya, kita tidak ada urusan apa-apa."
Sindi tersenyum penuh arti.
"Bukankah sebelumnya saya sudah bilang kalau dari dulu saya tidak suka sama kamu? Dan itu juga kamu pasti sudah mengetahuinya, bukan?"
"Saya jadi penasaran. Tidak mungkin kamu tidak suka kepada seseorang tanpa sebab. Meski saya tidak berpendidikan tinggi, tetapi saya cukup mengerti kalau suatu masalah tidak mungkin terjadi jika tanpa sebab yang pasti. Begitu juga kamu yang katanya tidak suka dengan saya, tentu ada penyebab yang membuat itu semua."
"Jangan berbicara dengan logat sok pintar seperti ini!"
Syifa menyeringai, "Siapa yang berbicara dengan logat sok pintar? Ini bawaan dari sininya. Tapi jika kamu beranggapan saya sok pintar, saya aamiinkan saja, selagi itu hal yang positif. Dan semoga anggapanmu menjadi kenyataan. Membuat saya benar-benar pintar."
Kesekian kalinya Sindi harus dibuat emosi ketika berbicara empat mata dengan Syifa seperti ini.
"Lagi pula, bukankah saat ini ada kegiatan murajaah? Jadi seharusnya kamu tidak repot-repot seperti ini. Lebih baik menjaga hafalan, daripada terus-terusan meladeni ketidaksukaan dengan seseorang. Saya pikir, kamu lebih mengerti tentang ini."
Syifa sejenak merapikan pakaiannya kemudian berniat untuk beranjak. Namun, baru satu langkah, nyaris membuatnya kembali berhenti karena pergelangan tangan yang kesekian kalinya ditahan Sindi.
"Saya belum selesai bicara!" Sindi bersuara sembari melepaskan tangannya.
Syifa mengembuskan napas.
"Tentang sebab-akibat. Kamu penasaran alasan saya tidak menyukaimu?"
Syifa mengangguk. Daripada dia belum mengetahui alasan Sindi tidak menyukainya dan terus-terusan mengganggu dirinya, lebih baik dia mendengarkan saja apa alasan di balik itu semua.
"Dengar, semenjak kamu datang di pesantren diantar Gus Arfan dan juga Kiai Faizan itu membuat saya menjadikanmu sebagai saingan! Saya tidak menyukai kecaperanmu ketika itu. Seistimewa apa gitu kamu sampai diantar keluarga ndalem? Saya jadi heran."
Syifa menganga.
"Bahkan, begitu perhatian sekali mereka sama kamu sampai repot-repot peduli ketika kamu bikin masalah. Padahal lebih baik kamu tidak usah ada di sini, daripada bikin susah saja."
Syifa sama sekali tidak sakit hati dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan Sindi. Dia justru terkejut sejenak, kemudian tertawa.
"Sebentar. Kamu tidak menyukai saya karena itu?" tanya Syifa. Dia masih belum bisa percaya.
"Kamu menyukai putra Kiai?" tebak Syifa.
Sindi tidak menjawab pertanyaan Syifa, justru dia melontarkan kalimat yang lainnya, "Saya bantu menyadarkan kamu, wahai, Nona Syifa, kalau kamu itu tidak pantas dekat-dekat sama mereka. Apalagi berharap di atas rata-rata."
Syifa menyunggingkan senyum. Sepertinya santriwati yang ada di hadapannya ini sudah tidak berpikir jernih perihal Syifa. Secara, Syifa sama sekali tidak ada rasa apa-apa seperti apa yang dikatakan Sindi. Apalagi sampai berharap di atas rata-rata.
"Saya masuk di pesantren ini juga karena ketidaksengajaan."
"Kalau begitu--"
Syifa mengangkat jari telunjuknya, mengode agar Sindi tidak terlebih dahulu memotong ucapannya.
"Saya tau apa yang akan kamu katakan. Kamu pasti bilang kalau saya seharusnya sadar dan keluar dari pesantren Al-Huda, bukan?"
"Tapi sayangnya saya tidak bisa. Pesantren ini pesantren sangat berjasa bagi saya. Saya tidak bisa keluar dengan alasan seperti apa yang kamu katakan."
"Mungkin seperti apa yang kamu bilang tadi, kalau saya selalu membawa masalah di pesantren ini. Tapi, saya akan berusaha ... saya akan berusaha semakin menjunjung tinggi nama baik pesatren ini."
Sindi mengembuskan napas seraya menatap Syifa dengan tatapan merendah, "Saya tidak butuh basa-basimu. Seperti yang saya katakan tadi, lebih baik kamu sadar diri, sebelum nanti tiba-tiba kamu berharap tinggi."
"Jika kamu boleh menyadarkan saya seperti ini, maka saya juga tentu boleh untuk menyadarkan kamu sebelum kamu beranjak dari sini."
Syifa mulai mendekat, tepatnya di dekat telinga Sindi.
"Kamu lebih baik intropeksi diri. Moral dan akhlakmu perlu diperbaiki. Kalau saja bengkel di sini menerima perbaikan diri, maka lebih baik kamu daftar lebih awal agar tidak dalam masa antrian."
"Mengingat keluarga sang Kiai yang toleransinya tinggi, dibanding kamu yang hanya bisa meremehkan dan mencaci. Jadi, kamu harus segera memperbaikinya."
Perlahan, Syifa menarik dirinya kembali. Dia menatap Sindi dengan menyunggingkan senyum, sedang sang lawan bicara tengah menatapnya dengan tatapan penuh murka.