Begitu turun dari mobil pandanganku langsung tertuju pada taman yang begitu ramai mengingat hari ini weekend,kenanganku saat masih bersama Denis kembali terbayang saat kami jalan berdua menikmati semilir angin sambil menukmati es kelapa muda,dulu kami sering sekali kesini entah sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengan nya mungkin ia sudah menikah dengan wanita itu.
"Mbak,kok malah ngelamun sih" Riki menepuk pelan pundakku dan berhasil membuyarkan lamunanku
"Enggak tadi keinget Denis Rik,sejak kejadian itu mbak gak pernah kesini dan baru pertama ini sama kamu"
"Udah gak usah sedih lagi,entar juga dapet penggantinya" Riki memegang pundakku mencoba agar aku bisa sedikit tenang
"Loh Enza mana Rik?" aku mencari Enza kuedarkan pandanganku tapi tidak ada jangan sampai dia hilang
"Udah duluan sama si Devan tadi,mbak sih keasyikan ngelamun jadi ketinggalan"
Riki lalu melangkah menuju taman,aku mengikutinya dan mensejajarkan langkahku disampingnya
"Eh Rik, mbak mau cerita sesuatu nih"
"Apa mbak?" Riki menoleh kearahku
Apa mbak?" Riki menoleh kearahku
"Devan itu selain kerja di Cafe punya kerjaan lain ya?"
"Maksudnya?" kening Riki mengkerut menandakan ia bingung dengan pertanyaanku
"Jadi pas habis nganter kamu kerja kemaren tuh di perempatan deket butik mbak lihat Devan lagi naik mobil"
"Mungkin punya Bos nya kali mbak" jawab Riki
"Maseratti loh Rik,apa Bos nya Devan seakrab itu sama dia sampai mobilnya dibawa apalagi ini bukan mobil biasa,terus pas si Tasya pas dia lagi clubbing juga ketemu Devan pakai BMW dan masuk boking ruang VIP"
Riki menghentikan langkahnya lalu menatap kearahku
"Masak sih mbak,setahuku Devan gak pernah bawa mobil" ucap Riki
"Yah anggap aja itu orang yang mukanya mirip sama Devan" Ucapku tak ingin memperpanjang daripada diperpanjang malah bikin pusing
"Ngomong ngomong Enza kenapa bisa deket banget sama Devan ya padahal juga baru kenal" Sambungku
"Yah mungkin karena Devan juga sayang sama anak kecil dan dia juga tau gimana caranya interaksi sama anak kecil dan ngebuat dia nyaman" jawab Riki sambil tetap berjalan
"iya mungkin aja,tapi aku heran deh kenapa Enza gak pernah tanya tentang papanya?"
Riki menghentikan langkahnya akupun ikut berhenti dan menatapnya
"Masak sih,coba mbak tanya Enza mungkin aja ada sesuatu yang gak dia ceritain ke mbak"
"Iya sih aku juga janggal kok aneh gitu,entar mbak coba tanya sama Enza mungkin ada sesuatu yang dia sembunyiin dari aku"
"Tuh si Enza sama Devan lagi duduk"
aku menoleh mengikuti arah pandang Riki,aku dan Riki berjalan menuju tempat Enza dan Devan duduk
"Mama lama banget sih jalannya aku nungguin daritadi loh" keluh Enza dengan bibir cemberut yang terlihat sangat lucu
"Uluh cantiknya mama capek ya?" tanyaku aku lalu mencubit pipi gembulnya dan mengelap keringat di dahinya
"Enggak kok ma,nanti kalau capek digendong sama Om Devan iya kan om" Enza tersenyum memperlihatkan deretan giginya
"Siap cantik" jawab Devan
"Enza gak boleh gitu dong sayang kasian Om Devan nanti capek" larangku
"gapapa kok santai aja mbak namanya juga anak kecil"
"Mama aku haus" ucap Enza
"Om beliin minum bentar ya" ucap Riki,lalu beranjak dari tempat ia duduk
"Aku ikut Om" sahut Enza dan berlali menyusul Riki
kini tinggal aku dan Devan,duduk berdua dengan nya terasa canggung aku juga bingung harus bagaimana Devan sedang asyik dengan ponselnya entah apa yang ia lakukan tapi jemarinya terlihat sibuk mengetik hingga kami terdiam cukup lama,
"Oh jadi ini kelakuan kamu setelah kita berpisah padahal undangan dari pengadilan saja belum kuterima dan belum ada seminggu kita berpisah tapi kamu sudah asyik berkencan dengan berondong" Ucap mas Arfan marah
kedatangan nya yang tiba-tiba membuatku terkejut bahkan suaranya cukup keras hingga banyak pengunjung yang memperhatikan kami.
Aku bangkit menghampirinya dan berdiri didepannya
"Diam,jangan mempermalukan dirimu sendiri,kamu bertingkah seolah akulah disini yang berhianat tapi kenyataannya kamulah yang melukaiku dan Enza,pamitmu kerja tapi malah tidur dengan wanita ini"aku menunjuk wanita yang berdiri disampingnga
"Aku tidak marah padamu,justru aku berterim kasih karena telah menunjukkan padaku siapa dia sebenarnya,ambil saja aku sudah tak membutuhkan nya toh aku juga sudah pernah merasakannya" kataku,tepat di depan wanita yang datang bersama mas Arfan.
Aku menghampiri Devan lalu mengajaknya pergi"Devan,sebaiknya kita pergi dari sini"
Devan hanya menurut dia diam dan tak bertanya apa-apa,aku berjalan ke parkiran dan menelpon Riki
"Rik,mbak di parkiran mobil,kita pulang sekarang" ucapku saat telepon tersambung,aku lalu menutup telepon,aku masuk mobil dan duduk dikursi kemudi menyandarkan kepalaku di stir,dan menangis disana.
"Mbak.."panggil Devan mengetuk kaca mobilku
aku lalu menurunkan sedikit kaca mobil
"Masuk aja" ucapku masih dengan suara serak
"Mbak gapapa,ini tussue nya mbak sebaiknya mbak lap dulu, nanti kalau Enza lihat mbak nangis dia pasti kepikiran" ucap Devan saat sudah duduk disampingku lalu menyodorkan tissue
"Maaf" lirihku,aku mengambil tissue yang Devan berikan lalu membersihkan sisa air mata di wajahku
"Mama" panggil Enza sudah membuka pintu mobil
"Maaf sayang mama tiba-tiba pusing jadi mama ngajak pulang gapapa kan" tanyaku
"Ehmm... tapi Enza masih mau disini ma" Enza terlihat sedih
"Yaudah biar om Riki temenin ya biar mama sama om Devan pulang" ucap Riki
"Tapi mama gak marah kan"
"Gak kok sayang,maaf ya mama gak bisa nemenin Enza" aku lalu mengecup keningnya dan menutup pintu mobil
Aku melajukan mobil,tujuanku cuma satu ketemu Tasya dan mencurahkan semua isi hatiku,tapi gimana dengan Devan,astaga aku lupa kalau sedang bersamanya,aku meliriknya dan tepat saat itu dia menatapku,tatapan kami bertemu dan beradu pandang lalu segera kufokuskan menyetir kembali
"Mbak sebaiknya tepiin dulu deh mobilnya" ucap Devan
"Kenapa?" tanyaku
"Biar aku yang nyetir"
aku sempat terkejut mendengar ucapannya,tapi mencoba biasa saja,jadi ini kesempatan untuk membuktikan kalau dia memang yang aku lihat waktu itu,kutepikan mobilku dan aku bertukar tempat dengan Devan
"Kamu ternyata bisa nyetir ya" tanyaku saat Devan mengambil alih kendali
"Bisa mbak,lagian kan ini mobil matic jadi lebih mudah lagi" Devan melajukan mobil dan aku juga biaa merasakan kalau ia tidak seperti orang yang baru belajar menyetir tapi terasa seperti sudah biasa menyetir
"Van,kamu kayaknya udah biasa ya nyetir"
kuberanikan untuk bertanya daripada penasaran
"Oh,iya lumayan mbak"
"Ini kita langsung pulang apa gimana" lanjutnya
"Emmm....ada suatu tempat yang pengen aku datengin,tapi apa gak ngrepotin kalau kamu nganterin mbak" tanyaku sedikit ragu
"Gapapa mbak kalau aku bisa pasti aku anterin,jadi kita kemana?" tanya Devan tanpa menoleh dan masih tetap fokus menyetir
"Kita ke Hotel" ucapku dan Devan langsung menginjak rem mendadak dan hampir membuat kepalaku terbentur
"Eh maaf mbak,apa aku gak salah denger tadi,ngapain kita ke hotel mbak" Devan terlihat bingung
"Udah anterin aja entar aku kasih tau disana,kita ke Aston Hotel" putusku dan setelah itu tidak ada pembicaraan lagi diantara kami Dsvan terlihat fokus menyetir