"Lan, kemarin katanya mau cerita...cerita apa sih?" Mereka berdua sedang berada di lantai dua, berbaring di atas karpet. Sarah memandangi rak buku yang sudah mulai penuh.
"Oh, soal Ari...dia menyatakan cintanya." Rembulan bangun lalu menegakkan tubuhnya. Sarah memandang Rembulan lekat, "Lalu...kamu bagaimana?"
"Aku menolaknya." Rembulan berkata lirih, dia menundukkan kepala, matanya menatap karpet dan jari telunjuknya bergerak-gerak mengikuti motif karpet.
"Kamu menyesalinya?"
"Maksudmu menyesali keputusanku menolak Ari?" Rembulan menegaskan pertanyaan Sarah.
"Aku tidak menyesalinya, hanya merasa tidak nyaman di posisi ini. Kami pasti canggung saat bertemu suatu saat nanti. Aku menganggap dia tak lebih dari seorang teman yang pernah dekat." Sarah mengangguk, dia mengerti maksud Rembulan.
"Jadi buket bunga itu dari Ari?" Rembulan hanya mengangguk.
"Aku kira dari seseorang yang spesial, lalu mengapa kau mengabadikannya?"
"Aku merasa buket bunga itu terlihat indah, sayang kalau hanya kupandangi sendiri."
"Tapi banyak orang yang salah mengira, termasuk aku. Mereka hanya merasa tidak enak saja kalau harus bertanya langsung padamu."
"Terkadang aku tidak perduli orang lain salah mengartikan apapun tentang aku."
"Ya ya...karena kamu si introvert yang keras kepala !" Sarah memutar bola matanya.
Sarah sering merasa gemas dengan Rembulan, kalau sudah kumat sikap tidak perdulinya, Rembulan bisa menganggap orang lain tak ada. Bagaikan hanya dia yang berada di bumi ini.
Rembulan memang terlihat kalem tapi dia adalah salah satu perempuan yang paling keras kepala. Salah satu yang membuat Rembulan berada di Jakarta dan memilih hidup sendiri adalah karena sikap keras kepalanya.
Rembulan adalah Rembulan, dia tidak mau hidup dalam bayang-bayang orang tuanya yang kaya dan terkenal. Rembulan memilih jalan menjadi penulis pun karena sifat keras kepalanya. Dia tidak suka didikte harus menjadi seperti orang tuanya. Kakaknya yang dua orang lebih penurut dan mengikuti kemauan orang tuanya menjadi pengusaha. Sedangkan si bungsu yang satu ini rela keluar dari rumah, dari zona nyamannya mencari peruntungan di Jakarta.
Hidup dari satu tempat kos ke tempat kos lain yang dirasakan dia nyaman. Semua tempat kos yang pernah ditinggali Rembulan sangatlah sederhana, Sarah pernah diajak Rembulan ke tempat kosnya dulu temu kangen dengan ibu kosnya. Kalaupun dia bisa punya rumah ini setelah orang tuanya membujuk Rembulan sampai menangis dan mengerahkan kakak laki-laki kesayangan Rembulan merayunya dengan segala cara. Sarah tahu karena Sarah ikut terlibat dalam masalah ini. Orang tua Rembulan menghubungi Sarah dan mengajak Sarah bicara dengan Rembulan. Akhirnya si keras kepala ini luluh juga.
Orang tua Rembulan hanya ingin tahu keberadaan Rembulan yang pasti, karena anak bandel ini kalau sudah marah tidak mau menghubungi orang tuanya, sampai akhirnya orang-orang suruhan papanya yang menemukan keberadaannya. Makanya Rembulan sering berpindah-pindah kos demi lari dari orang tuanya, sampai orang tuanya menyetujui pilihan hidupnya.
"Salahkah aku punya pilihan menjadi penulis? Salahkah aku memilih hidup merantau dan mandiri? Salahkah aku keluar dari bayang-bayang mereka? Aku adalah aku dengan hidupku," katanya suatu kali.
"Aku juga tidak menyusahkan mereka dengan meminta-minta, aku bisa hidup dengan uangku sendiri."
"Lan, orang tuamu ingin yang terbaik untukmu?"
"Oh, terbaik versi siapa? Mereka?Menurutku begini sudah baik."
Butuh waktu lama untuk membuat Rembulan mau berdiam di rumah pemberian orang tuanya dengan syarat dia tetap diperbolehkan jadi penulis.
***
"Lan, tetangga sebelah kok sepi banget...Dia lagi nggak di rumah ya?" Sarah bertanya dengan rasa ingin tahu. Biasanya Sarah mendengar sayup-sayup suara musik dari rumah sebelah.
"Dia keluar kota." Rembulan menjawab pelan, tapi Sarah menangkap ada sesuatu yang berbeda dari cara Rembulan bicara.
"Kamu rindu padanya?" Sarah langsung menembak Rembulan dengan telak. Mata Rembulan tak bisa berbohong.
"Aku...? Biasa aja." Rembulan membuang muka sambil menggigit bibirnya, mukanya bersemu.
"Akui sajalah." Sarah tertawa melihat reaksi Rembulan, "Kamu jatuh cinta padanya?"
"Aku hanya merasa kehilangan teman minum kopi."
"Oh, teman minum kopi...tapi kenapa mukamu begitu?" Sarah menunjuk wajah Rembulan.
"Tau tidak? Rindu paling jahanam adalah rindu yang tak bisa dituntaskan."
"Dapat teori darimana lagi?"
"Nggak usah mengelak. Kamu menunggu telponnya kan? Dari tadi kau melirik ponselmu." Rembulan hanya diam, di depan Sarah tak ada yang bisa dia sembunyikan. Sarah bisa membaca dengan jelas dirinya hanya dari ekspresi, gesture dan bicaranya yang mulai tak fokus.
"Aku takut mengganggu, dia sangat sibuk."
"Mungkin dia juga berpikir sebaliknya." Sarah mengambil ponsel Rembulan, menyodorkannya dan menyuruh Rembulan menelpon Raditya. Sarah memandangnya dengan tatapan yang berarti "tenang saja ada aku yang menemani."
Rembulan merasa malu, dia takut Raditya menolak telpon darinya. Iya, dia rindu...seperti yang dikatakan Sarah "Rindunya adalah rindu paling jahanam."
Rembulan melirik jam di dinding dan merasa ragu. "Sudah larut Sar, nggak enak. Aku kirim WA aja ya?"
"Coba dulu !" Sarah menyemangati.
"Aku takut dia menolak telponku," Suara Rembulan terdengar memelas.
***
Raditya sedang berbaring, dia baru selesai mandi. Setelah satu hari disibukkan dengan jadwalnya yang padat, bisa merebahkan tubuh di kasur adalah sesuatu yang sangat nikmat. Tadi David mengajaknya minum sebentar di bar, tapi Raditya menolak. Dia butuh istirahat yang cukup untuk besok bekerja lagi.
Ponsel yang dia taruh di atas meja berbunyi, Raditya malas bangkit dari tempat tidurnya. Dia yakin David akan merayunya untuk nongkrong sebentar di bar.
Namun Raditya akhirnya bangkit juga, tidak enak rasanya mengabaikan telpon dari David.
Bukan nama David yang muncul di layar ponselnya namun yang tertera nama Rembulan, ekspresi wajahnya terkejut. Saat dia menerima telpon dari Rembulan, seulas senyum hadir dibibirnya. Dia sudah lama menantikannya, saat mendengar suara Rembulan menyapanya Raditya ingin berlari dan memeluk gadis itu. Dia rindu....sangat rindu.
"Aku mengganggumu?" Rembulan bertanya dengan hati-hati. "Maaf aku menelponmu selarut ini."
"Nggak, nggak mengganggu...Apa ada sesuatu yang penting?" Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, detik itu juga Raditya ingin menampar mulutnya sendiri. Pertanyaan macam apa itu?
Raditya berharap Rembulan tidak segera menutup telpon setelah mendengarnya. Dihadapan Rembulan gelar Don Juan yang disematkan teman-temannya menjadi tak berarti. Raditya menjadi salah tingkah dan bingung harus bicara. Dia mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal hanya demi menghilangkan rasa canggungnya. Padahal tadi dia sempat mengarang beribu kata andai dia menelpon Rembulan malam ini. Siapa sangka ternyata perempuan itu yang menelponnya.
"Nggak ada yang penting. Aku...hanya ingin tahu kabarmu." suara Rembulan terdengar gugup.
"Aku baik-baik saja, walaupun sangat sibuk." Raditya tertawa kecil di ujung kalimatnya.
"Oh, syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Selamat malam..." Raditya membaca gelagat Rembulan hendak mengakhiri pembicaraan dan menutup telponnya. Tapi Raditya masih ingin bicara, dia masih ingin mendengar suara Rembulan.
"Jangan! Aku masih ingin mendengar suaramu. Aku merindukanmu...sangat merindukanmu." Raditya nyaris berteriak untuk menghentikan Rembulan menutup telponnya. Saat itu Raditya tak perduli andaikan Rembulan sudah menjadi milik Ari. Dia hanya ingin Rembulan tahu perasaannya.