Semakin hari, shafa merasa ada yang salah dengan hubungannya dengan Garra. Shafa tidak mengerti kenapa, tapi yang pasti, ia tidak nyaman dengan situasi ini. Nyatanya ia tetap merasa tertekan. Kehadiran seorang Garra kembali yang pernah membuatnya trauma, terasa begitu tiba-tiba. Shafa belum siap memasukkan Garra kembali ke daftar hidupnya.
Setiap hari, Garra selalu berjanji untuk berubah. Laki-laki itu selalu berusaha meyakinkannya untuk percaya, bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja. Nyatanya semua tidak berjalan sesuai ucapan laki-laki itu. Garra tetaplah Garra. Ia tetap saja laki-laki yang terobsesi dengannya, laki-laki posesif yang nyaris mengungkung habis hidupnya hingga ia kesulitan bernafas. Shafa lelah, ia hanya ingin terlepas dari Garra, namun ia malah terjebak dan tidak bisa keluar dari circle hidup seorang Anggara.
"Mikirin apa?" Suara serak Garra menyadarkannya dari lamunan, Shafa mengerjab bingung namun tak berselang lama ia memaksakan senyumnya.
"Gakpapa kok, kamu belum makan kan? aku siapin yah!"
Saat hendak beranjak, Garra menahan tangannya. Mata laki-laki itu memancarkan raut dingin dan khawatir, Shafa tau betul apa yang ada di pikiran Garra saat ini.
"Apa yang kamu pikirin tentang aku?"
Shafa terdiam kaku, sementara Garra tak sadar mencengkram pergelangan tangan Shafa erat. Berbagai pikiran buruk kembali memenuhi otak laki-laki itu. Cemas dan panik berbaur menyerang dirinya.
Shafa meringis. Sungguh, ini salah satu yang membuatnya tidak nyaman berada di dekat Garra selama ini.
"Ga..."
"Shaf, tolong kamu jujur sama aku"
"Ga, Pliss. Aku mohon sama kamu, aku mohon supaya kamu gak mikir negative terus sama aku, kamu coba sekali aja percaya sama aku, Ga"
"Aku cuma mau kamu jujur sama aku" Garra meremas jari Shafa. Mata laki-laki itu tampak berkaca-kaca.
Shafa yang melihat itu tanpa sadar berdecih, ia sudah lelah dengan ini semua.
"Aku capek, Ga! Aku capek sama hidup aku yang kamu atur terus... Aku capek karena kamu gak pernah biarin aku tenang sekalipun, bahkan aku ngerasa gak punya privasi lagi. Kamu ngekang, selalu marah, dan gak pernah percaya sama aku!" Shafa berkata sumbang, melampiaskan semua yang selama ini membatin dalam hatinya. Gadis itu nyaris menangis, namun ia tahan.
Garra yang mendengar itu tampak tak percaya. Laki-laki itu menampilkan raut memohon, saat hendak maju untuk memeluk, Shafa menghindar. Hal itu semakin menambah ketakutan dalam diri Garra.
"Kamu gak akan ninggalin aku kan, Fa?" Garra gemetaran. Ia tidak pernah se-sensitive ini jika bukan tentang Shafa.
"Kamu- kamu gak boleh ninggalin aku, kamu udah janji sama aku untuk selamanya sama-sama..."
Shafa memalingkan wajahnya, air mata yang sedari tadi ia tahan kini mengalir menggenangi pipinya. Garra yang melihat itu semakin tremor tak tertahankan.
"Shafa... Sayang jawab aku!"
Shafa terisak, ia benci dengan situasi sekarang. Ia benci karena ia tidak pernah suka melihat Garra yang tampak menyedihkan seperti sekarang. Ia benci karena ia masih begitu peduli dengan Laki-laki itu, bahkan ketika ia sudah sering kali di sakiti.
Shafa mengusap air matanya "Garra aku mohon, kamu pulang aja" ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari vas bunga di sudut ruang.
Sayangnya, ucapan Shafa barusan, dimaknai berbeda oleh Garra. Laki-laki itu semakin gemetaran, dengan rasa takut yang tak berujung. Spontan, ia maju dan memeluk Shafa seraya terisak. Saat Shafa hendak melepaskan pelukannya, Garra mengunci pergerakan gadis itu dengan memeluknya erat, hingga Shafa berhenti berontak.
"Kamu gak boleh pergi dari aku, kamu itu punya aku" ucap Garra masih dengan dadah naik turun.
Shafa memejamkan matanya lelah. Mungkin memang takdir tidak bisa menjauhkannya dari seorang Garra. Ia tidak bisa keluar dari lingkup hidup seorang Anggara Adijaya yang posesif dan si minim ekspresi itu.
Sore itu, mereka berdua menangis terisak dalam sebuah pelukan. Mengeluarkan beban yang sedari dulu menggunung dalam batin.