Mengingat kejadian kemarin, Shafa lagi-lagi meringis. Ia merasa begitu naif untuk sesuatu yang terjadi terus menerus dalam hidupnya. Ia mengaku kalah dan lemah, tanpa bisa mengambil keputusan sendiri untuk kehidupan pribadinya.
Shafa melirik ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan beruntun beserta telfon tak terjawab dari Garra. Laki-laki itu menerornya lagi. Padahal saat ini ia hanya ingin sendiri dulu. Begitulah Garra jika Shafa tidak membalas satupun pesannya.
Tanpa memperdulikan resiko yang menantinya karena mendiamkan laki-laki posesif itu, Shafa beranjak turun dari kamar menuju halaman belakang rumahnya yang terhubung langsung dengan kolam renang. Gadis itu lagi-lagi hanya terdiam memandangi kakinya yang sengaja ia tenggelamkan di sisi kolam renang.
Lamunannya buyar ketika Bi asih datang memanggil namanya.
"Ada apa, Bi?" Tanyanya bingung.
"Diluar ada temennya, Neng Shafa"
Alis Shafa semakin mengerut bingung. Jika itu Garra, ia akan langsung masuk ke dalam rumah. Jadi siapa yang ada di luar sementara ia sendiri tidak pernah memberikan alamat rumahnya kepada teman-teman sekelasnya?
"Perempuan?" Tanya Shafa lagi.
Bi Asih menggeleng " Laki-laki, Neng"
Shafa hanya mengangguk meski bingung. Ia lantas keluar melihat siapa yang datang kerumahnyaa. Namun semua dugaannya di tepis ketika melihat seseorang laki-laki yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Alan, tetangga barunya.
"Alan?" Panggil Shafa pelan.
Alan yang terpanggil pun menengadah, lalu kemudian tersenyum lebar.
"Gue pengen minta tolong" ujar Alan kala Shafa juga ikut duduk di sofa yang di batasi meja di hadapannya.
Shafa mengernyit, "apaan?"
"Sekarang lo sibuk, gak?"
Shafa tampak berfikir sebentar lalu menggeleng. Ia tidak ada Les hari ini.
"Gue bisa minta tolong? temenin gue buat nyari buku pelajaran dong," ujar Alan memelas.
"Kenapa gak sendiri aja?" Tanya Shafa bingung.
"Lo tau sendiri gue masih baru disini, belum hafal jalanan kota"
"Lo kan punya supir, dia pasti tau jalan-nya"
"Pak Ranu lagi nganterin nyokap gue ke kantor"
Shafa menatap Alan seksama, laki-laki itu menampilkan raut memelas. Shafa jadi tidak tega. Padahal ia sudah merancang hari ini ia akan menjernihkan kepala dirumah saja.
"Gue butuh banget bantuan lo, gue sama sekali gak punya satupun temen di sini"
Kalau sudah begini, ia jadi benar-benar tidak bisa menolak. Ia sungguh tak tega melihat laki-laki dihadapannya.
"Oke, tapi gue ganti baju dulu" ucap Shafa lalu beranjak naik ke kamarnya mengganti baju.
Seusai itu, mereka langsung berangkat menggunakan motor sport milik Alan menuju toko buku yang berjarak sedikit jauh dari rumah mereka.
Tapi...
Shafa melupakan sesuatu yang sangat penting. Begitu penting sampai bisa saja membuatnya menyesal untuk kesekian kalinya.
*******
"Mungkin ini udah cukup deh, Lan" ia mengecek buku yang bersusun di genggaman Alan sekali lagi.
"Lo gak butuh buku apapun? Gue bayarin kok" Alan menawarkan, sebab tadi gadis itu sempat mengeluh karena lupa membawa dompet.
"Gak ah, gue mau pulang"
"Kita makan dulu didepan sebentar, gue gak mau di cap cowo gak bertanggung jawab" Alan berjalan lebih dulu menuju kasir.
Shafa mencebik kesal. Tak apa, ia juga sedari tadi sudah sangat lapar.
Setelah membayar bukunya, mereka akhirnya pergi menuju warung samping jalan raya yang tidak terlalu jauh dari letak toko buku. Matahari sedang terik-teriknya, membuat mereka begitu haus akan pasokan air.
"Rencana gue mau ngajak lo jalan-jalan lagi, tapi lo udah capek banget keliatannya" Alan membuka suara di tengah makan siang mereka, ia menatap Shafa yang menyuapkan makanannya.
Shafa mengangguk, ia sebenarnya tidak terlalu lelah, tapi karena mood nya kurang bagus, ia jadi ingin cepat pulang.
"Iya, sebenarnya gue peng-" Shafa tidak jadi meneruskan ucapannya saat suara lain mengintrupsinya.
"Shafa..."
Shafa membatu, tubuhnya bahkan tidak sanggup menoleh kebelakang melihat siapa pemilik suara itu. Benar saja, ia melupakan sesuatu yang sangat beresiko untuknya. Ia seperti sedang ketahuan selingkuh, tapi walaupun tidak, Ia akan tetap salah dimata Anggara yang posesif.
Dalam hitungan detik, sebuah tangan kekar merangkul pundaknya, bersamaan dengan bisikan mematikan tepat disamping telinga gadis itu.
"Kamu sudah membuat keputusan yang salah"
"Garra, aku gak-"
"Kita pulang" suara Garra semakin dingin, ia memaksa Shafa untuk berdiri, namun gadis itu seolah tidak mendengarkannya.
Shafa takut, ia sungguh takut dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Ia tidak mau pulang dengan Garra. Tidak mau.
Tiba-tiba, sebuah tangan lain menahan tangan kirinya yang kosong. "Jangan kasar sama cewe", Alan menahannya.
Garra semakin murka, kepalanya yang di selubungi kecemburuan menutupi akal sehatnya.
Bugh
"Garra!" Shafa berteriak takut, ia melihat ekspresi yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.
Garra memukul Alan membabi buta, kesadarannya seoalah menghilang.
"Tangan kotor lo, gak pantas bersentuhan dengan Shafa"
Garra kehilangan kendali, laki-laki itu tidak akan membiarkan siapapun mengalihkan perhatian Shafa dari nya. Siapapun itu. Ketakutannya akan di tinggalkan Shafa tidak pernah mereda, dan hari ini ia melihat dengan mata kepala sendiri.
Sebenarnya, Garra ingin sekali menghabisi wajah Alan yang dianggapnya sangat menjijikan detik ini juga. Namun ia tidak mau gegabah seperti dulu. Ia menatap Shafa yang bergetar ketakutan, mata gadis itu bahkan sudah berembun.
"Kita pulang" ujar Garra kembali, dengan menarik pelan pergelangan tangan Shafa.
Gadis itu menggeleng takut, ia lantas mengalihkan pandangannya ke arah Alan yang sedang kesakitan. Ia tidak bisa meninggalkan Alan dengan kondisi seperti ini.
"T-tolong jangan maksa aku Garra" Shafa terisak kecil, saat hendak mendekati Alan, Namun Garra menariknya kasar memakasanya keluar dari sana dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Shafa menangis ketakutan, sudah lama ia tidak melihat wajah Garra yang seperti ini. Rahang mengetat dan mata yang seolah ingin menusuk siapa saja yang ada di dekatnya. Tubuh Shafa semakin bergetar saat Garra mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang.
Ia tidak tau hukuman apa yang menantinya saat sampai nanti.