Pukul satu pagi, Shafa terbangun dengan kepala yang berdenyut pusing. Sejenak ia linglung saat melihat dada seseorang dihadapannya, namun tak lama ia baru menyadari bahwa ia tengah berada di dekapan seseorang. Jantung Shafa berdegup kencang memikirkan kemungkinan terburuk jika memang pemikirannya benar.
Tapi... sepertinya memang begitu...
Takut-takut, Shafa mendongak, menatap wajah seseorang yang ia harap bukan dia, Namun sepertinya keadaan tidak berpihak kepadanya, tubuh Shafa seketika melemas menatap laki-laki yang tengah terpejam itu. Meski sudah dua tahun tidak pernah bertemu, rasa bencinya kepada Garra tidak pernah meredam, Laki-laki itu yang membangun penjara tak kasat mata Dalam kehidupannya, Laki-laki yang menenggelamkannya dalam rasa bersalah yang terus menghantui Shafa.
Ia harus pergi dari sini sebelum laki-laki gila itu bangun, ia tidak mau lagi seperti dulu. Dengan hati-hati Shafa melepaskan tangan Garra yang melingkar di pinggangnya, I tahu, Garra tipe orang yang sangat sulit bangun jika sudah terlanjur tertidur. Shafa berjalan keluar dengan mengendap-endap, berharap menemukan jalan keluar, sialnya saat sampai di pintu, Shafa baru menyadari ia sedang berada di apartemen karena pintunya memiliki password.
"Kamu mau ngapain?" Suara serak seseorang dari belakang membuat Shafa tak berkutik, keringat dingin mengucur deras di pelipis nya. Habis kau Shafa...
Shafa berbalik, melihat Garra yang sedang menatapnya datar, Laki-laki itu selalu bisa mengintimidasinya hanya dengan tatapannya. Shafa meneguk ludahnya kasar, Demi tuhan... Ia sudah tak sanggup jika harus berhadapan dengan Garra. Ia tidak mau lagi hal yang sama terulang kembali.
"Kamu ngapain?" Tanya laki-laki itu lagi, walau ia sebenarnya sudah tau apa yang baru saja direncanakan di otak kecil Shafa.
Shafa menggeleng cepat dengan nafas tak beraturan, ketakutannya terhadap Garra semakin menjadi, terlebih saat laki-laki itu maju mendekatinya.
Dilain sisi, Jauh didalam lubuk hati Garra merasa sakit menerima respon Shafa. Tatapan Shafa yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu, kini... Shafa hanya bisa menatapnya dengan benci dan Takut. Garra tidak suka bagaimana Shafa memperlakukannya sekarang.
"Aku gak akan nyakitin kamu, kamu gak perlu takut lagi Shafa..."
Bohong! Shafa bahkan tidak pernah percaya lagi dengan ucapan Garra, Laki-laki itu hanya bisa menyakitinya lagi dan lagi. Shafa meringsut menjauh saat Garra mencoba memegang bahunya. Gadis itu menunduk, tidak mau menatap wajah Garra.
"Shafa..."
"Maaf..."
Shafa tertegun, benar-benar tidak menyangka bahwa Garra baru saja mengucapkan kalimat keramat itu.
"Maaf-maaf-maaf..., maafin aku Shafa..." Shafa terkejut setengah mati saat melihat Garra berkaca-kaca, terlebih saat Garra bersimpuh di depannya seraya memeluk betisnya memohon.
"Maafin aku, maafin aku Shafa..."
Shafa benar-benar tidak menyangka apa yang baru saja dilihatnya, Pertama kali ia melihat Garra selemah itu dihadapannya, laki-laki bertemperamen buruk sekarang menangis. Shafa benar-benar tidak kuasa untuk menahan tangisnya juga, sejahat apapun Garra... Laki-laki itulah yang menemaninya saat ia kehilangan orang yang paling di sayangnya dulu.
dengan nafas sesak, Shafa melepaskan tangan laki-laki itu yang melilit kakinya, lalu memaksa Garra berdiri.
"Jangan jauhin aku, Fa..." Ujar Laki-laki itu memelas, Shafa yang mendengar itu mengusap air matanya kasar.
"Aku mau kita sama-sama lagi, Fa... Maaf... Ma-"
"Aku- Aku udah maafin kamu..." Ucap Shafa membuat Garra mengembangkan senyumnya.
"Tapi kita gak bisa seperti dulu lagi, Ga," lanjut Shafa, Membuat senyum Garra luntur, laki-laki itu maju dan memegang bahu Shafa pelan dengan nafas tak beraturan.
"Fa... Kita harus sama-sama... Aku janji bakal berub-"
"Udah Garra! Aku gak bisa sama kamu lagi, aku gak mau hal yang sama ke ulang lagi, Aku... aku benar-benar gak bisa Hikss"
Pundak Garra merosot, ia menatap Shafa masih dengan wajahnya yang memelas dan hidung yang merah, ia tidak mau kehilangan Shafa, Garra sungguh tidak rela jika Shafa tidak bersamanya dan bersama dengan laki-laki lain.
Hingga... Garra seperti kehilangan akal sehatnya saat ide gila muncul di benaknya.
"Oke kalau itu yang kamu... Tapi, Kamu harus liat aku mati dulu" ucap Garra benar-benar hilang akal saat ia berlari ke dapur dan mengambil benda tajam kecil dari laci, lalu kembali ke depan Shafa.
Shafa membulatkan matanya melihat pisau di tangan Garra kini mengarah ke perut laki-laki itu yang bajunya sudah ia singkap. Garra memang sudah gila.
"Garra! Jangan Gila!!!" Shafa kembali menangis saat pisau itu berhasil menggores sedikit perut Garra.
"Kamu gak mau lagi kan sama aku?!! Biarin aku mati Shafa!!!"
"Garra, Plisss jangan ngelakuin itu!!! Hikss"
"Bilang kalau kamu punya aku!, Atau kamu bakal hidup dengan rasa bersalah!"
Tidak ada yang lebih gila dari Garra, Shafa bimbang setengah mari ditengah tangisnya yang semakin histeris.
"Ayo Shafa!!! Bilang kamu punya aku!"
"Ak-Aku punya Garra... Aku punya kamu!! Lepasin pisaunya, Hikks" Setelah mengucapkan itu, Shafa berharap keputusannya tidak salah, bersamaan dengan Garra menjauhkan pisaunya dari perutnya yang sudah sedikit terluka.
"Kamu sudah mengambil keputusan yang benar, Shafa... Kamu punya aku" ucap Garra tersenyum lebar seraya membawa Shafa kedalam kedekapannya.
Gadis itu hanya diam. Selama hidup... Ia tidak pernah merasakan memilih keputusan sendiri. Namun sekarang... Ia memilih, keputusan yang sama sekali tidak ia harap kan. Takdir baik benar-benar tidak pernah berniat menghinggapinya.