"Hai, namaku Ana, aku akan melindungi mu mulai saat ini! Jika ada yang mengganggu mu, aku akan hajar mereka semua!" teriak seorang gadis kecil dengan lantangnya. Dia terlihat sangat percaya diri dan berani.
Sementara anak laki-laki di depannya terlihat gugup dan pemalu. Dia menjawab dengan suara lirih.
"Uhmm... E... Uh...."
"Kenapa kamu gugup? Siapa nama mu?"
"R-r-rizh...."
"Nama yang aneh!"
"Ugh...."
"Namaku Ana, salam kenal!^^"
Perkenalkan singkat dua anak sekolah dasar itu pun membuat Rizh tersenyum. Ketika semua orang menjauhinya, Ana adalah satu-satunya teman yang tidak memandang kekurangannya.
Saat dia tidak ingat apapun mengenai masa lalunya, Ana adalah orang pertama yang mau menemaninya dengan sepenuh hati selain dua orang tua yang mengadopsinya dari panti asuhan.
Namun sayang, kehidupan baru yang memberikan Rizh secercah harapan untuk kembali dari kebingungannya harus sirna saat beberapa bulan kemudian, peperangan dahsyat terjadi di depannya.
.
.
"Tiga."
"Dua."
"Satu."
"Tembak!"
Rizh memejamkan mata, memegang kepalanya sambil meringkuk ketakutan. Saking takutnya, ia tidak sanggup berdiri untuk menghindar dari moncong senjata yang tepat tertuju kepadanya. Seluruh bayangan kematian menyelimuti kepalanya. Dia tidak punya keberanian untuk sekedar berlari menyelamatkan diri.
Pelatuk ditarik, menimbulkan suara peluru meninggalkan selosong. Bayangan peluru menembus kepalanya membuat Rizh terpaku di tempat. Matanya berair, kepalanya pusing, telinganya menjadi tuli seketika.
Pria itu tertawa sangat keras. Menertawakan anak kecil di depannya yang meringkuk gemetar ketakutan.
"Hahahaha! Ya ampun! Kau manis sekali! Aku suka melihatmu ketakutan seperti ini, haha! Oke oke, aduh perutku sakit. Sekarang kamu tetap disana, biarkan aku menembak mu dengan cepat. Tenang saja, tidak akan terasa sakit, karena apa?... Karena kau akan langsung mati! Haha!"
Rizh tidak ingin mati. Ia tidak ingin mati. Ia ingin menemukan Ayahnya. Ia ingin berjumpa dengan ayahnya! Ia ingin mencari ayahnya di tengah peperangan ini!
Menutup matanya rapat-rapat. Kakinya terasa seperti jeli. Rizh tidak bisa bergerak. Semuanya bergetar. Tubuh, jantung, hatinya, seluruh sel dalam tubuhnya. Semua bergetar hebat.
Dia sudah hampir berputus asa, suara pelatuk pistol menggema. Dua kali suara tembakan, Rizh yakin ajalnya sudah dekat. Kali ini peluru yang akan membawanya kepada kematian benar-benar melesat menuju ke arahnya.
Disusul dengan bayangan kematian di pikirannya, Rizh tidak pernah mengharapkan suara teriakan malah memekik ke telinganya.
Dor----
"Arrhhh!!" suara teriakan nyaring terdengar sangat keras.
Membuka matanya, seorang gadis kecil tengah berdiri membentangkan kedua tangannya untuk melindunginya.
Gadis itu menoleh padanya, tersenyum simpul dibalik wajah penuh darah. Setelah tersenyum bak salam perpisahan, gadis itu langsung ambruk. Kakinya tidak kuasa lagi menahan tubuhnya.
"Ana!!!!!" Rizh berteriak keras. Dia langsung berbalik dan memeluk sosok yang terbaring di depannya. Tangannya gemetar. Darah merembes keluar dari sekujur tubuh yang sudah terasa sangat dingin.
Ia mengguncang-guncang tubuhnya sampai Ana memberikan jawaban sambil meliriknya lemah.
"Hentikan. Itu sakit...."
Mendengar jawaban itu, Rizh merasa kelegaan memenuhi hatinya. Dan kemudian, kelegaan itu kembali di selimuti es setelah melihat musuh masih berdiri di depannya sambil tertawa terbahak bahak.
Pria itu tiba-tiba melemparkan pistol ditangannya.
"Oh aku tidak memerlukannya lagi. Jika kamu ingin gadis itu selamat, pergi temui dokter segera sebelum dia kehabisan darah dan mati. Oke bye!!"
Pria itu pergi tanpa menengok ke belakang. Rizh menatap nanar kepergian pria berpakaian serba hitam dengan ban lengan yang memiliki logo yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi itu bukan masalah yang penting sekarang, karena tubuh Ana yang mendingin adalah hal paling penting saat ini.
"Ana! Bertahanlah! Aku akan membawamu segera! Aku akan membawamu pada ibu!"
Ana masih tersenyum. Ia masih sadar.
Dengan sekuat tenaga, Rizh membawa tubuh itu ke punggungnya. Ia menggendong Ana dengan kakinya yang lembek.
Tidak peduli akan sekitarnya lagi, tubuhnya terseok-seok membopong tubuh Ana. Menerobos tiap-tiap puing yang berserakan, berusaha sekuat mungkin menghindari musuh yang bisa muncul kapan saja.
Melihat betapa gigihnya anak laki-laki yang tengah menggendongnya saat ini, Ana tersenyum kecil. Ia terkekeh pelan.
"Berat, ya? Turunkan saja, tinggalkan aku disini, Rizh... Larilah, carilah tempat yang aman," ucap Ana lirih.
"Tidak! Tidak! Aku tidak akan pernah meninggalkan Ana! Ana harus bertahan!"
"Khukhukhu... Aku tidak hanya terluka karena peluru ini saja, Rizh... Aku tidak akan selamat. Lihat, tanganku patah... Jari-jemari kaki ku juga patah... Luka bakar... Darah ini... Sudahlah Rizh, kamu bisa meninggalkan ku di sini. Aku bahkan sudah melihat cahaya terang di depanku."
Cahaya terang? Mana? Dimana cahaya itu? Rizh tidak melihatnya.
"Ana... Berhentilah berbicara! Percayalah padaku! Kamu akan selamat! Ana akan selamat! Jangan berpikir yang buruk!"
Gadis itu malah terkikik pelan.
"Ana senang... Sampai akhir... Aku bisa melindungi mu. Aku bisa menyelamatkan mu... Inilah satu-satunya hal yang bisa ku lakukan untuk membalas seluruh budi Tuan Ersan dan Nyonya Vita...."
Rizh tidak berbicara. Ia tidak terlalu mendengar apa yang Ana bicarakan saat ini. Yang ia fokuskan adalah menggendongnya dan membawanya kembali ke tempat tadi.
"Aku mulai melihat kenangan yang indah.. Kenangan saat aku akhirnya bisa bersekolah... Kenangan bersama mereka... Teman-teman...."
"Kalau kamu selamat, kamu akan melihat sekolah lagi."
"Benarkah?"
"Itu benar!"
"Tapi... Tadi ku lihat, sekolah itu hancur. Tidak ada yang tersisa di sana."
Rizh terdiam. Kata-kata terperangkap dalam tenggorokannya. Ia tidak bisa menjawab, namun tidak untuk kakinya yang tetap melangkah.
Sambil mencoba mengingat jalan yang tadi ia lalui, mencoba mencari jalan dimana ia tidak akan menemukan musuh. Rizh tiba-tiba teringat untuk tetap membiarkan Ana terjaga.
"Ana, mari kita bermain kosakata."
"Kosa kata?" Ana menjawab dengan suara lesu. Ada jejak kesakitan dalam suaranya.
"Kita bermain kosakata dalam bahasa Inggris, bagaimana dengan itu? Aku akan mulai. You."
"Me."
"Stay."
"Alive."
"Promise."
"For life."
"Sky."
"Earth."
"Air."
"Fire."
"Light."
"Dark."
"Life."
"Death."
Rizh terdiam lagi. "J-jangan yang itu... K-kita cari yang lain saja."
"Haha. Aku tidak tahu bagaimana kematian itu, Rizh. Tapi, jika aku memang mati di sini, setidaknya aku tidak akan menyesal." Ana terkekeh dalam gendongan Rizh.
"Jangan katakan hal seperti itu lagi! Kamu harus hidup! Ana harus tetap hidup!" Rizh tidak bisa menerima kata-kata seperti itu.
Mereka berdebat kecil sambil terus melangkah, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang disusul dengan angin kencang membawa material berterbangan.
Akibat efek dari ledakan itu, Rizh kehilangan keseimbangan dan terhuyung roboh.
Material-material menerpa terbawa angin menuju ke arahnya. Ia menutup mata dan merasakan sesuatu mendekapnya. Rizh melirik, hanya untuk melihat Ana tengah melindunginya lagi!
"Ana!"
Buru-buru Rizh kembali bangkit, akan tetapi kakinya baru saja menendang sesuatu. Menoleh ke bawah, melihat apa yang baru saja ia tendang, mata Rizh melotot horor.
Penuh rambut, darah, dan mata yang terbuka lebar. Kepala manusia menggelinding di bawah kakinya.
"Aaaaaaaaarrrrrrrrrrrhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!"
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Ana menutup mata Rizh dengan tangannya. Memeluk anak laki-laki itu dengan erat. Ia juga memejamkan matanya sendiri.
Rizh bergetar. Ia bergetar hebat.
Kelapa... Itu kepala manusia... Itu nyata... Kepala tanpa tubuh...
Wajah di kepala itu sangat mirip atau bahkan sama dengan pria yang baru saja ditemuinya beberapa menit yang lalu. Dan sekarang, dia sudah tiada dengan keadaan yang mengenaskan.
Dia mati karena terkena bom itu?
Rizh mencoba mengumpulkan kesadarannya ketika syok membuatnya hampir melupakan nyawanya yang mau meloncat keluar dari tubuhnya.
Ia baru sedikit sadar ketika merasakan tangan yang menutup matanya menjadi dingin dan semakin dingin.
"T-tidak apa-apa, Rizh... Jangan melihatnya... K-kamu jangan takut...."
Rizh menjawab dengan bergetar. "A-aku tidak takut. A-aku akan melepas kacamata ku, jadi aku tidak akan melihatnya. A-ayo Ana, a-ayo pergi."
Rizh melepas kacamatanya dan meminta Ana menyimpannya. Seketika pandangannya langsung blur dan buram. Ia meraba ke arah Ana. Ia dengan hati-hati menggendongnya lagi dengan terbesit sakit di dadanya.
Gadis ini tetap saja melindunginya meskipun dirinya sendiri tengah terluka!
"Ana... Sekarang, tolong tunjukkan apa yang ada di depan, ya?" pinta Rizh pelan.
Ana mengangguk.
Mengabaikan kejadian mendadak itu, Rizh merasakan kakinya sudah pada batasnya. Gemetar merambat ke arah tulangnya, ia merasa sudah cukup jauh berjalan dari tempat dimana kepala itu berada.
Sampai ia mendengar suara seseorang dari kejauhan.
"Ada anak kecil di sini!" teriak seseorang.
Rizh mengangkat kepalanya.
"Ana... Kamu mendengar itu? Mereka... Kamu bisa melihatnya? Apakah mereka musuh atau kawan?"
"Maaf... Semua tampak terang bagiku... Ah, ada orang bersayap di sana," jawab Ana.
Rizh meneguk ludahnya. Jawaban Ana mengikis seluruh emosinya.
Tolong jangan katakan hal seperti itu dengan mudahnya disaat seperti ini!
Suara langkah kaki mendekat. Rizh merasa sangat was-was. Ia tidak bisa melihat dengan jelas saat ini, sehingga ia hanya mampu mengandalkan indera pendengarannya.
Ketika langkah kaki itu berhenti tepat tak jauh dari dirinya. Ana merasakan sesuatu dari atas mengganggunya. Ia kemudian mendongak, melihat atap bangunan yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan roboh dalam waktu singkat.
Terkejut, Ana langsung turun dari gendongan Rizh, dengan seluruh energinya yang tersisa, ia mendorong anak laki-laki itu menjauh.
Dumm---
Puing besar bangunan jatuh menimpanya. Rizh yang terdorong oleh Ana, menabrak sosok di depannya. Wajahnya langsung berubah pucat.
ITU SUARA APA?! Bangunan roboh?! Lalu Ana bagaimana?!!!
"Anaaaa!!!!!!"
"Mari pergi, nak! Bangunan ini akan runtuh!" teriak orang yang bermaksud menolong mereka berdua.
"T-tidak tidak! Ana! Ana! Annnaaaaaa!!!! Ana ada di sana Pak! Ana! Bagaimana dengan Ana?!!"
"Temanmu tertimbun reruntuhan itu, nak! Mustahil untuk mengeluarkannya saat ini, kita butuh bantuan! Kita harus segera pergi dari sini sebelum semuanya roboh!"
"Anaaaa!!!!!!"
Rizh berteriak. Ia mencoba memberontak, namun tenaganya sudah habis terkuras sejak tadi. Hal terakhir yang dilihatnya dengan buram adalah puing-puing bangunan yang mulai berjatuhan.
Dan ia tidak lagi mendengar apapun. Ia tidak mendengar lagi suara Ana. Tidak lagi.
Kesadaran Rizh hilang.
Jauh di dalam jiwanya, muncul sosok yang sudah tertidur cukup lama. Sosok yang mengambil alih kesadarannya saat itu juga.
To be continued...
Like my story? Tap the star button.
Love you, all.(~ ̄³ ̄)~