"Argh!"
Suara teriakan menggema di dalam kamar besar nan sunyi. Sinar matahari menembus sela-sela jendela dan fentilasi, AC ruangan yang sudah mati sejak tadi malam, suara tetesan air dari kran wastafel yang tidak tertutup rapat, dan suara nafas berat yang terengah-engah.
Seorang remaja laki-laki bangkit dari tidurnya dengan keringat membasahi tubuhnya, nafas tersengal-sengal, mata melotot, dan pipinya yang basah. Dia menatap tajam pada jam dinding di kamarnya dan mendengus pelan.
"Huh... Mimpi itu lagi. Sudah 9 tahun sejak Ana meninggal, tapi aku tetap tidak bisa melupakannya. Dan lagi, mengapa aku tidak ingat apapun sebelum aku berumur 6 tahun?"
Remaja itu berbicara dengan dirinya sendiri.
Dia merasa aneh pada dirinya karena teman-temannya banyak yang masih ingat beberapa hal mengenai masa kecil mereka, tapi hanya dia sendiri yang sama sekali tidak ingat.
Yang ia ingat, ia terbangun di sebuah panti asuhan lalu keluarga baik yang kaya raya mengadopsinya. Dan sekarang, dia kebingungan dengan kenyataan yang diterimanya.
Tidak bergelut lama dengan pikirannya, suara ketokan pintu membawanya kembali dari lamunan.
"Rizh? Kamu sudah bangun? Hayo bangun nak, hari ini hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru, kan? Cepat bangun, kita sarapan bersama!" seru suara dari balik pintu.
"Iya Bu, aku akan siap-siap dulu," jawab remaja laki-laki yang dipanggil Rizh.
Rizh segera melempar selimutnya, menyambar handuk dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah kemudian turun dari kamarnya untuk sarapan berdua dengan ibunya.
"Selamat pagi sayang," sapa Vita, ibu Rizh.
"Pagi, Bu," jawab Rizh sembari tersenyum.
"Bagaimana dengan tidurmu?"
"Aku mengalami mimpi buruk lagi. Mimpi tentang meninggalnya Ana."
Vita terdiam. Wajahnya yang awet muda tidak sinkron dengan umurnya yang sudah berkepala empat. Ekspresi sedih langsung menghiasi wajahnya yang cantik tanpa make up.
"Kamu...."
"Tidak apa, Bu. Aku sudah mengikhlaskan kepergian Ana. Aku hanya merindukannya lagi. Oh iya, ibu berangkat hari ini, bukan?" tanya Rizh mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya, pesawat ibu akan terbang jam 8 nanti," jawab sang dokter bedah tersebut. "Padahal sudah seminggu di rumah, rasa rinduku belum kelar juga sama putraku yang ganteng ini. Maafkan ibu ya nak, ibu tidak bisa lama-lama di rumah."
"Tidak apa, Bu. Aku sudah sangat senang ibu bisa pulang padahal ibu sedang sangat sibuk."
"Kamu memang anak yang baik, sini biar ibu cium kamu."
Vita mencium wajah anak semata wayangnya ini sampai puas.
Rizh tersenyum kecut di dalam hatinya karena ibunya menganggapnya sebagai anak yang baik.
"Aku bukan anak yang baik, Bu. Aku abnormal... Aku tidak tahu mengapa aku bisa sangat berbeda dengan orang lain seperti ini." Batin Rizh dalam hatinya.
Setelah sarapan bersama, Vita pergi menghantarkan Rizh ke sekolahnya, baru kemudian ia pergi ke bandara. Mereka berdua pun berpisah untuk beberapa bulan lagi.
.
.
High Light Academy
Sekolah menengah atas elit dimana hanya ada tiga jenis siswa di sini. Yaitu kaya, pandai, dan hoki.
Rizh memasang mimik wajahnya kemudian melangkahkan kakinya masuk ke sekolah besar ini.
Sesampainya di kelas, belum sempat ia mengucapkan selamat pagi, seorang remaja laki-laki dengan rambut merah di semir, pakaian tidak rapi, tinggi badan setinggi telinganya, wajah ala oppa-oppa Korea, dan senyum ceria menghambur merangkul pundaknya.
"Yo! Albin sialan! Selamat pagi!"
"P-pagi Lizen...." jawab Rizh sambil tersenyum canggung. Sahabatnya satu ini benar-benar selalu energik seperti biasa.
"Nah, sekarang lu ikut gua," ucap remaja laki-laki bernama lengkap Lizen Zen.
"Kemana?" tanya Rizh bingung seraya meletakkan tasnya di kursi.
"Ke kantor. Tadi sebelum lu datang, Miss Tika nyariin lu. So sekarang lu pergi sama gue ke ruang guru buat ketemu Miss Tika."
"Oh, oke."
Mereka berdua pun keluar kelas untuk menuju ruang guru menemui Miss Tika, selaku wali kelas baru kelas 2-3 tempat Rizh menimba ilmu untuk satu tahun kedepan.
Sepanjang jalan menuju ruang guru, para adik kelas banyak yang terheran-heran menatap Rizh. Mereka semua memiliki ekspresi yang membuat Rizh tidak nyaman.
Ada yang heran, kagum, bingung, sinis, dan bahkan ada yang mencemooh.
"Ish, woi urusin hidup lu sendiri. Emang kenapa kalo dia kayak albino, hah?!" pekik Lizen tidak tahan lagi.
Karena mendengar banyak lontaran ucapan jelek adik-adik kelas pada Rizh, Lizen tidak tahan jika sahabatnya satu ini di hina. Dia pun berbalik dan menghampiri mereka untuk marah-marah.
"Emangnya kenapa kalo dia punya rambut putih, huh?! Emang kenapa kalo matanya biru?! Emang salah?! Emang dia ganggu hidup kalian, gitu? Nggak kan?! Mending kalian pergi aja sono!"
Adik kelas itupun malu dan pergi. Mereka tidak menyangka Lizen akan berkata seperti itu.
"Liz... Liz... Tenanglah. Tidak apa, mereka memang baru pertama kali melihatku...," ucap Rizh pelan seraya menurunkan emosi Lizen.
Lizen tersenyum pahit dia berbisik.
"Gue nggak ngelakuin ini buat lu, Rizh... Ini demi mereka sendiri. Memang sekarang lu terima, tapi mungkin nggak dengan diri Lo yang lain. Dia belum tentu terima di hina gitu...."
"Hm? Kamu mengucapkan sesuatu?" tanya Rizh.
"Nggak ada," jawab Lizen spontan.
"Huh...." Rizh menarik nafas. "Biarkan saja mereka, Liz. Apa yang mereka katakan memang benar. Rambutku putih, mataku biru, tapi alis ku berwarna hitam. Wajah ku begitu pucat seperti mayat, dan aku juga memakai kacamata yang didukung potongan rambutku membuatku terlihat culun. Aku memang terlihat aneh, jadi biarkan saja mereka."
"Tapi begini-begini pun lu pinter, selalu juara, lu jujur, bertanggung jawab, ketua kelas yang baik, tinggi, sopan santun, kalem, dan punya banyak kelebihan yang lainnya. Bukannya kita ga boleh judge a book by its cover?"
"Jaman sekarang, cover itu yang utama Liz, masalah isi bisa menyusul."
"Ah, lu bener...."
"Sudah, ayo ke ruang guru, Miss Tika pasti sudah menunggu."
Mereka berdua pun sampai di ruang guru dan menemui Miss Tika. Rizh terkejut saat tiba-tiba ia diberitahu bahwa kelasnya akan kedatangan murid baru. Jadi sekarang dia diminta membawa absen yang baru dan menyampaikan ke teman-teman sekelasnya.
Kabar ini sangat mendadak, tapi Rizh selaku ketua kelas yang baik segera kembali ke kelasnya untuk menyampaikan informasi tersebut.
"Waduh, mendadak banget," sahut Angga. Teman sekelas Rizh.
"Uhm, Miss Tika juga baru memberitahu ku," jawab Rizh.
"Kira-kira lu tau siapa murid baru itu?" tanya Miya.
Rizh menggeleng.
"Aku pun belum mengetahuinya. Kita akan tahu setelah waktunya jam pelajaran nanti."
Tidak berapa lama kemudian, bel berdering. Segera seluruh kelas duduk di kursi mereka masing-masing.
Beberapa menit setelahnya, suara langkah kaki terdengar mendekati ruang kelas. Miss Tika telah datang seorang diri.
Eh? Seorang diri? Dimana murid baru itu? Batin Rizh.
"Selamat pagi murid-murid!" sapa Miss Tika dengan penuh semangat.
"Selamat pagi, Miss Tika!" jawab kelas secara serempak.
"Hari ini kalian mendapatkan teman baru seperti yang telah disampaikan oleh Rizh. Saya harap kalian bisa berteman baik dengannya karena dia ini orangnya sedikit pendiam."
"Lantas dimana dia, Miss?" tanya Angga, si tukang kepo garda terdepan.
"Oh, benar. Silahkan masuk!" ucap Miss Tika mempersilahkan seseorang yang sudah berdiri di balik pintu.
Rizh tidak bisa melepaskan pandangannya dari pintu yang tertutup itu. Entah karena apa, dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sampai membuat dadanya nyeri.
Langkah kaki memasuki ruangan.
Seorang gadis dengan rambut coklat panjang diikat tinggi, wajah datar tanpa ekspresi, seragam lengan panjang, rok panjang dibawah lutut, kaos kaki panjang menutupi kakinya, sepatu pantofel, tas hitam, dan tinggi sekitar 5'1 inci, cukup pendek untuk rata-rata tinggi badan dikelas.
Saat dia berada di depan kelas, seketika seluruh mata menatapnya.
"Nah, ini dia teman baru kita. Perkenalkan dirimu nak," pinta Miss Tika.
"Yuma," jawab gadis itu singkat padat.
"Huh???" seketika seluruh kelas melongo. Perkenalan macam apa itu yang hanya mengenalkan nama?!
Yuma? Itu nama laki-laki, bukan? Tetapi yang ada di depan kelas itu benar-benar perempuan tulen.
Rizh tiba-tiba merasakan hal yang berbeda. Jantungnya yang berdetak kencang menjadi lebih kencang. Sesuatu seperti ingin mendobrak keluar dari dalam tubuhnya. Ia bergetar hebat. Tubuhnya bergetar tidak terkendali.
"Um..." Miss Tika tersenyum canggung. "Apakah ada tambahan lain?"
"Tidak."
"Hei, kamu berasal dari sekolah mana?" tanya Angga.
"...." Yuma tidak menjawab.
"💢 Hei!" pekik Angga.
"Uh, maaf murid-murid. Yuma ini punya beberapa hal yang tidak bisa dia utarakan kepada kalian semua. Tapi saya harap, kalian bisa berteman akrab dengannya," sahut Miss Tika mencoba melerai.
"Kalau dia sedikit pendiam sih tidak apa-apa Miss, tapi kalau sependiam ini, ya bagaimana kami bisa berbaur dengannya?" jawab Miya yang juga sebal dengan kesan pertama Yuma.
Yuma tetap diam, tidak bergeming, tidak merubah ekspresinya sama sekali.
"Saya yakin seiring waktu berjalan, kalian akan berteman baik dengannya. Baiklah, Yuma, kamu lihat bangku kosong sebelah sana? Mulai sekarang kamu akan duduk di sana," ucap Miss Tika sembari menunjuk sebuah bangku kosong.
Rizh duduk di barisan paling belakang pojok dekat jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan langit. Dan bangku kosong itu tepat berada di sampingnya.
Yuma mengangguk. Dia melangkah tanpa meninggalkan salam penutupan atau semacamnya.
Lizen menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan murid baru satu ini. Dia berbalik badan untuk berbicara dengan Rizh, tapi ia malah mendapati sesuatu yang tidak terduga.
"Rizh, kenapa kamu menangis?!" pekik Lizen kaget.
"Eh?" jawab Rizh tertegun.
"Hei, kamu menangis. Ada apa, Rizh?" tanya Lia yang duduk di sebelah Lizen.
Rizh masih tertegun. Dia tidak sadar air mata sudah jatuh dari matanya yang terus memandangi Yuma. Saat gadis itu akhirnya berdiri di depannya, gemetar di tubuh Rizh menjadi semakin kuat.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, tanpa tahu apa yang dia lakukan, Rizh langsung berdiri dan memeluk gadis di depannya itu.
"Hahhh?!!!!" teriak satu kelas.
Gemetar yang Rizh rasakan, menghilang.
To be continued