Karin meringkuk di tempat tidur dan menangis dalam diam di dalam kamar yang gelap dan tertutup. Tak berapa lama kemudian suaminya masuk ke dalam kamar lalu menyalakan lampu. Dan saat menyadari istri tercintanya sedang menangis, dia lekas ikut berbaring dan memeluk tubuh istrinya.
"Yang sabar ya sayang, kita akan bertemu dengannya kelak di surga," bisik suaminya kepada Karin. Suasana begitu sedih dan haru. Karin masih menangis sesenggukan dan suaminya ikut terlarut dalam kesedihan yang sama, namun dia menahan diri untuk menangis karena tidak ingin membuat Karin menangis lebih keras. Di dalam ruangan kamar itu hanya terdengar suara tangis pelan Karin yang didekap erat oleh suaminya. Kesedihan sepasang sejoli itu mengambang di udara.
"Cut!, okey itu bagus." Seorang kameramen mengakhiri adegan Karin menangis didekap oleh suaminya. Saat itu suami Karin melepaskan pelukannya dan beranjak dari tempat tidur. Dia segera mendekati kameramen untuk melihat hasil rekamannya.
"Gimana? ini sudah cukup bagus kan?" tanya kameramen. Suami Karin mengangguk. "Udah okey kok, kita bisa lanjut ke adegan yang berikutnya." Suami Karin dan kameramen lantas beranjak ke luar kamar. Tapi saat hendak menutup pintu kamar, suaminya menoleh pada Karin yang masih meringkuk di tempat tidur.
"Beb, kamu gak lapar? makan yuk, aku udah lapar nich". Lalu pergi meninggalkan Karin sendiri. Karin yang ditinggal sendiri di dalam kamar merasa sangat sedih. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan melanjutkan menangis. Kali ini tangis yang sesungguhnya, bukan akting seperti yang diperintahkan suaminya. Benar sekali, laki-laki tadi memang adalah suami Karin, namanya Dipa Mahesa. Dia seorang youtuber dengan pengikut lebih dari sepuluh juta. Suaminya, Dipa memulai aktivitas youtubenya mulai dari nol, sejak enam tahun yang lalu. Kini dengan jumlah pengikut yang semakin hari semakin bertambah, Karin dan Dipa hidup sangat berkecukupan bahkan terbilang hidup bergelimang harta. Mereka bisa pergi berlibur ke luar negeri kapan saja mereka ingin berlibur. Dan bahkan dari liburan itu mereka bisa memposting vidio liburan mereka untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Mereka memiliki rumah mewah yang sangat luas dan indah, mobil-mobil yang bahkan tujuh tahun yang lalu tak terbayang akan bisa mereka beli. Mereka bisa membeli pakaian, sepatu, dan tas branded. Bahkan banyak dari merk-merk ternama dari pakaian, sepatu dan tas itu mereka dapatkan secara cuma-cuma karena merk tersebut menggunakan jasa mereka. Sehingga tak hanya mendapatkan produk gratis, mereka juga mendapatkan bayaran atas jada endorsment tersebut.
Setengah jam kemudian, saat Karin tak juga keluar dari kamar, Dipa datang lagi untuk mengajaknya makan bersama. "Bebbbb, kok masih disini sich? aku dah nungguin lho dari tadi", Dipa menghampiri istrinya dan menggunang bahunya pelan, "bebbb."
"Makan duluan aja dech, aku lagi gak pengen makan sekarang". Karin menjawab dari balik punggungnya, berusaha menjaga intonasi nada bicaranya agar tidak kelihatan sedang kesal. Dipa menghela nafas dan mengedikkan bahunya dengan ringan. "Ya udah dech kalau gitu. Kamu istirahat aja biar ada tenaga untuk shooting besok." Mendengar perkataan Dipa, Karin tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya lagi. Dia melemparkan selimut yang menutupi tubuhnya, dan berbalik untuk menatap mata suaminya. "Shooting? Anak kita baru saja meninggal, dan kamu mau menjadikannya sebagai tontonan semua orang?" Karin berkata dengan sinis. Dipa menghela nafas, "beb, bukan hanya kita yang berduka, para penonton vidio kita, subcribers dan follower yang sudah mendukung kita sampai sejauh ini, mereka juga berduka dan tentunya mereka ingin tahu perkembangan kita. Kita gak boleh egois hanya memikirkan perasaan kita sendiri, kita juga harus memikirkan perasaan para follower". Dipa menjelaskan pemikirannya dengan tenang, seolah kalimat itu telah dia hafalkan sebelumnya. Karin tidak bisa membalas perkataan Dipa karena merasa bahwa apa yang dikatakannya memang benar. Tapi Karin tak bisa menghilangkan rasa kesalnya.
"Kamu sama sekali gak merasa kehilangan ya?" Karin mengganti sasaran pelampiasaan kekesalannya.
"Kamu ngomong apa sich? tentu saja sedih. Dia anak pertama kita"
"Tapi kelihatannya kamu gak sedih tuch. Kamu tetap bisa melakukan shooting dan memonitor hasilnya dengan tenang!" Karin menyemburkan kata-kata dengan marah. Bukannya marah dengan perkataan istrinya, Dipa justru menghela nafas lagi lalu menatap lekat-lekat istrinya.
"Kamu lelah?" tanya Dipa, Karin tak menunggu waktu lagi langsung memuntahkan semua kata-kata yang telah dia simpan beberapa bulan terakhir ini.
"Aku capek, lelah dan muak mejadikan kehidupan pribadiku sebagai tontonan publik. Belum lagi nitizen yang kalau ngomong gak pernah dipikir dulu itu. Aku tuch gak buta, aku bisa baca apa yang orang-orang itu tulis tentang kita! Aku gak sanggup begini terus!". Karin meledak dalam marah dan kesedihan. Dia menangis, dan Dipa memeluknya mencoba menenangkan. "Tidak bisakah kita seperti dulu lagi?" Karin bertanya dengan sesenggukan kepada suaminya. Dan Dipa mengerti apa yang diinginkan istrinya. Selarik ide muncul di kepala Dipa, lalu dengan tersenyum simpul dia menjawab, "Tentu saja bisa." ***