Chereads / SECRET AND LOVE / Chapter 4 - INTEROGASI

Chapter 4 - INTEROGASI

Dari balik kaca, Leo melihat Renata dengan wajah anggun namun tegas menatap Oscar. Namun, yang di tatap nampak tidak peduli. Dia malah balik menatap kapten Renata dengan tajam. Sebagai seorang ahli psikologi sekaligus juga kompol yang sangat tangguh, Renata tak bergeming.

"Kau cantik,komisaris. Wanita secantik dirimu tidak pantas menjadi seorang Polisi. Bagaimana kalau menjadi istriku saja?" Kata Oscar dengan nada meledek. Renata tertawa kecil.

"Hah,cantik katamu? Kau belum tau saja , kalau di balik kecantikanku. Aku mampu untuk menembakmu sampai mati. Aku suka menembak orang- orang sepertimu." Kata Renata dengan tenang.

Oscar tertawa terbahak-bahak. "Lalu, kenapa kau tidak menembakku saja, kapten? Ku pastikan kalian akan menyesal pernah lahir. Dan, yang pasti kalian akan sangat menyesali pernah berurusan denganku."

"Kau sudah gila."

"Hahahaha...kau lucu komisaris."

"Oya? Hah....baiklah. Nampaknya perkenalan kita cukuo sampai di sini. Namamu Oscar Ramon bukan? Dan, ketiga mayat itu, yang kami temukan di TKP adalah orang tua dan adik angkatmu. Tuan Firman Wijaya dan Istrinya Nyonya Marini dan Nadia Wijaya putri kandung mereka. Dan, yang menarik setelah kami melakukan penyelidikan kami. Ternyata, mereka bukan sekedar orang tua angkatmu. Tapi, mereka adalah paman dan bibimu. Firman Wijaya adalah kakak kandung dari almarhum ibumu Casandra Wijaya."

Oscar kembali tertawa terbahak- bahak. "Hahahaha, bagus kalau kalian sudah tau. Artinya aku tidak perlu menjawab lagi pertanyaan kalian. Jadi, kalian mau menghukum mati aku? Atau membebaskan aku? Hahahahaha ...kalian polisi- polisi tolol!"

Braaak....Kompol Renata menggebrak meja di hadapannya. Sikap tenangnya mulai berubah. Ia memang paling tidak suka jika polisi sudah di hina. Apalagi oleh orang seperti Oscar.

"Bajingan...! Mulut mu belum pernah di sumpal peluru kah?!" Hardik Renata. Tawa Oscar bertambah kencang. Renata berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kesal.

Sementara dari balik kaca Leo dan Rendy juga ikut merasa emosi.

"Astaga, mau rasanya ku tembak mati bajingan itu!" Maki Leo. Rendy menepuk bahu Leo. "Sabar....kau ini selalu tidak sabaran."

"Memangnya kau juga sabar? Lihat itu, tanganmu sudah mengepal sejak tadi," ledek Leo sambil melirik tangan Rendy yang memang sudah mengepak sejak tadi.

"Jaga mulut mu, aku ini atasanmu!"

"Tapi, aku juga adalah calon kakak iparmu! Jadi, kalau kau masih ingin mendapatkan restu dan bantuanku untuk mendapatkan hati adikku, baik- baik!"

"Ah, kau ini memang bajingan. Jangan bawa- bawa adikmu dalam hal seperti ini," sungut Rendy.

Leo hanya tertawa terbahak-bahak. Pangkat mereka sebenarnya sama- sama Iptu. Tapi, Rendy adalah senior Leo.

"Sttt.....sudahlah liat itu," kata Leo. Mereka pun kembali mengamati ke dalam ruang interogasi.

Renata sedang berdiri dan menodongkan senjatanya di kepala Oscar.

"Jaga mulutmu, jika tidak mau isi kepalamu aku ledakkan di sini!" Hardik Renata.

"Sudah aku katakan, jika kalian mau menghabisiku, habisi saja. Aku tidak takut dengan kematian. Karena kematian adalah sahabatku. Mereka selalu berbisik di telingaku. Dan, bukankah kalian sudah tau siapa yang aku habisi itu? Kalau kalian sudah tau siapa korbanku. Sebaiknya kalian selidiki saja sendiri, kenapa keparat- keparat itu aku habisi," jawab Oscar dengan datar.

Renata memejamkan mata sambil menarik napas dan mengembuskan nya berulang- ulang. Selama ia bertugas di satuan kriminal baru kali ini ia menemui seorang pelaku kejahatan yang betul-betul membuat emosinya tersulut.

Tanpa berkata apapun lagi, ia pun keluar dari ruang interogasi. Leo dan Rendy pun bergegas menghampiri Kompol Renata.

"Panggil seorang psikolog yang bisa sabar menghadapi orang gila itu. Aku rasa dia tidak sehat. Dan, tugasmu selidiki semua kehidupan Oscar. Mulai dari keluarga Wijaya. Almarhum ibunya, dan....Ah, ya ayahnya kalau tidak salah ada di lapas karena kasus pembunuhan. Dia di hukum seumur hidup karena sudah membunuh ibu kandung Oscar dan selingkuhan nya bukan?"

"Siap 86,bu. Kami akan melaksanakan perintah ibu."

"Dimana BRIPKA Rachel? Dia tidak bertugas hari ini?" Tanya Renata.

"Dia sedang ambil cuti 3 hari bu," jawab Leo.

Renata mengerutkan dahinya.

"Dia masih terbayang- bayang mayat- mayat yang di mutilasi kemarin, bu. Katanya sampai tidak bisa makan dan tidur. Jadi, dia minta izin untuk berlibur selama 3 hari untuk menenangkan diri."

"Ya, saya bisa mengerti. Tentu tidak mudah, apalagi BRIPKA Rachel itu kan wanita. Saat dia melihat pemandangan seperti itu ya pasti akan syok. Jika dia menemukan mayat biasa mungkin tidak akan sampai syok. Tapi, ini terpotong- potong seperti itu , ya pasti akan syok berat. Beri saja dia cuti selama seminggu. Saya yang mengizinkan."

"Baik, terimakasih bu. Nanti saya akan menghubungi Rachel."

"Saya kembali ke ruangan saya dulu. Otak saya rasanya berat sekali menghadapi kasus ini."

"Baik bu, silahkan."

"Kembalikan dia ke sel nya. Jangan di satukan dengan napi lain. Saya tidak mau ada napi yang menjadi korban nantinya."

Rendy pun beranjak pergi. Ia sendiri yang akan membawa Oscar kembali ke sel tahanannya. Sementara Leo langsung menuju lapas tempat ayah Oscar di tahan. Setelah sebelumnya ia membawa berkas kasus pembunuhan 18 tahun yang lalu.

*

*

Leo menatap lelaki di hadapannya. Usianya baru 45 tahun. Ia melihat ada kemiripan antara wajah Oscar dan lelaki di hadapannya ini.

"Ramon Tanoto?"

"Ya, saya Ramon, anda siapa?"

"Nama saya Leo. Saya..."

"Polisi tentu."

Leo menatap Ramon dengan kesal. Buah rupanya jatuh tidak jauh, kelakuan Ramon tidak jauh berbeda. Sama- sama tengik dan begitu menyebalkan.

"Anda di tahan dan di jatuhi hukuman seumur hidup atas kasus pembunuhan."

"Saya tidak pernah membunuh! Sudah berkali-kali saya katakan sejak 18 tahun yang lalu. Saya tidak pernah membunuh!!" Seru Ramon kesal. Matanya menatap Leo dengan tajam. Dan, entah mengapa insting Leo mengatakan lelaki di hadapannya ini tidak berdusta.

"Lalu, mengapa semua bukti bisa mengarah pada anda?"

"Saya pulang dalam kondisi mabuk parah, bahkan saya tidak ingat bagaimana saya sampai ke rumah. Bukan saya pembunuh Casandra dan bajingan tengik itu!"

"Baiklah, sekarang saya ganti pertanyaan saya. Oscar Ramon adalah putra anda bersama almarhum Casandra?"

Ramon tertawa terbahak-bahak. Setelah puas tertawa ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Anak haram itu, entah anak siapa! Wanita binal itu setiap malam tidur dengan banyak lelaki. Jadi, mustahil dia anakku."

"Dia mirip dengan anda. Atau, perlu di lakukan tes DNA untuk bukti yang lebih akurat?"

"Tidak ada gunanya! Aku juga tidak tau di mana keberadaan bocah keparat itu."

"3 hari yang lalu, dia baru saja di tangkap karena kasus pembunuhan. Ketiga korbannya ditemukan di tkp dalam kondisi mengenaskan, terpotong menjadi beberapa bagian. Dan saat dia dia tangkap, dia sedang tertawa gembira di dekat tumpukan mayat- mayat itu."

Bersambung