Tika menatap lelaki yang sedang duduk di hadapannya. Sebenarnya cukup tampan, sayang sekali harus berada di balik jeruji besi. Sementara Oscar nampak nya tidak terpengaruh dengan tatapan Tika. Afrialentika kusuma atau biasa di sapa Tika adalah seorang psikiater yang didatangkan khusus untuk memeriksa kondisi kejiwaan Oscar.
"Namamu Oscar Ramon bukan? Namaku Tika," sapa Tika dengan ramah. Namun, Oscar tidak bereaksi. Dia hanya diam, tatapannya nyalang kemana- mana. Tidak fokus.
"Aku hanya seorang teman yang datang berkunjung."
Oscar tetap diam.
"Kau tidak ingin memiliki banyak teman? Tidak ingin berteman denganku?" Tanya Tika lagi.
Oscar tetap diam.
"Apakah kau ingin bertemu dengan ayahmu? Ramon? Aku baru saja bertemu dengannya."
Aneh, kali ini Oscar hanya diam. Dia tidak bereaksi sama sekali. Leo dan Rendy yang melihat itu semua tentu merasa keheranan.
Ruangan tempat Oscar bicara dengan Tika memang ruang tertutup. Namun, di pasangi cctv. Sehingga, Rendy dan Leo bisa melihat dari ruangan lain.
"Aku rasa dia benar-benar gila." Kata Rendy.
"Aku masih penasaran. Kita tunggu saja apa kata Tika. Aku ingin dia di pertemukan secepatnya dengan Ramon." Kata Leo.
Rendy hanya menarik napas panjang. Leo tidak akan berhenti sebelum ia dapat mengungkapkan kasus dengan benar.
*
*
Akhirnya, siang itu juga Oscar di pertemukan dengan Ramon. Untuk pertama kalinya ayah dan anak itu bertemu setelah 18 tahun berlalu. Nampak Oscar menatap Ramon dengan tatapan yang dingin. Sebaliknya Ramon menatap Oscar dengan tatapan penuh keharuan dan rasa bersalah.
Sementara itu, Rendy, Leo, Rachel dan Tika melihat mereka dari ruangan lain .
"Kau tidak perlu menjawab pertanyaan ku atau bicara padaku. Aku meminta polisi- polisi itu untuk mempertemukan aku dengan mu, karena aku ingin bicara." Kata Ramon. Oscar tetap diam seperti batu, hanya saja, kali ini dia menatap Fokus pada Ramon. Entah apa yang ada dalam pikiran nya.
"Huuft...aku tau, selama 7 taun masa kecil yang kau lewati bukan masa kecil yang bahagia. Melainkan masa kecil yang begitu suram. Aku bukan ayah yang baik. Tapi, saat ini aku merasa perlu memberitahu mu semuanya. Hal yang tidak pernah kau ketahui...uhuuk...uhuuk...uhuk..."
Ramon memegangi dadanya. Akhir- akhir ini kesehatan nya makin memburuk. Ia menderita penyakit paru- paru dan ginjalnya juga sedikit bermasalah. Hal ini wajar, mengingat Oscar dulu seorang pemabuk dan perokok aktif. Ia mengatur napasnya perlahan. Oscar masih diam, tak peduli Ramon menahan sakit di dadanya. Mungkin, jika Ramon mati di hadapannya sekalipun ia tidak akan peduli.
"Ibu mu jatuh cinta kepada orang yang salah. Dulu,aku mendekati ibumu karena dia anak orang kaya. Dan, karena kakek nenekmu tidak setuju, aku menghamili ibumu. Akhirnya kami menikah. Dan, aku diberi jabatan di pabrik milik kakekmu. Saat mereka mulai percaya, aku mulai korupsi. Dan, ya kau bisa menebaknya. Aku ketauan, dan aku di usir. Tadinya, ibumu tidak di usir. Tapi, karena ia memilihku ya, kami pergi dari rumah besar itu. Dan, kau pun akhirnya lahir. Ibumu masih memiliki banyak perhiasan yang ia bawa sebagai bekal. Tapi, saat kau berusia 3 bulan, uang kami hampir habis. Dan, aku menyuruh nya bekerja di kelab malam itu. Awalnya hanya sebatas menemani tamu, tapi akhirnya aku juga yang membuat ibumu melayani sampai ke kamar hotel.
"Ternyata,aku cemburu juga melihat tubuh indah ibumu di nikmati dan di jamah lelaki lain. Jadi, menyiksa ibumu sebagai pelampiasan kekecewaanku adalah suatu kenikmatan tersendiri. Haaah, bukan dia yang salah sebenarnya. Aku yang salah, tapi egoku sebagai lelaki tentu saja mengalahkan segalanya. Jadi, aku menyiksa ibumu. Aku hanya berharap dia sadar bahwa hidup denganku adalah suatu kesalahan. Aku selalu menyebutmu anak haram, karena aku ingin dia juga mau membawamu pergi. Aku berpikir, jika ibumu terus menerus ku sakiti ia akan pergi membawamu kembali ke keluarganya. Itu sebabnya aku sering kali lama tidak pulang ke rumah. Aku berharap, saat aku pergi kalian akan memanfaatkan hal itu dan pergi juga. Hingga saat aku pulang, aku tidak perlu bertemu kalian lagi.
"Tapi, ibumu itu bodoh. Dia masih saja bertahan denganku. Atas nama cinta? Bodoh sekali, jika dia masih bisa mengatakan cinta kepada orang yang sudah menyiksanya habis- habisan. Bukan hanya fisik tapi juga batinnya. Padahal, jika ia mau bukan satu lelaki yang jatuh hati dengannya. Dia cantik dan memiliki tubuh yang indah. Siapapun yang melihatnya tidak akan menyangka jika dia sudah memiliki seorang anak. Aku memang pengecut. Aku tidak berani untuk mengembalikan dia kembali pada orang tuanya.
"Sebenarnya, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku mencintai ibumu. Dan, aku juga mencintaimu. Melihatmu sekarang, aku seperti melihat diriku di masa mudaku. Kau sangat mirip denganku. Tidak dapat di sangkal, kau adalah darah dagingku.
"Dan, malam itu kita tau, bahwa aku pulang dalam keadaan mabuk. Aku tidak tau bagaimana bisa ibumu tewas. Bahkan ada mayat lelaki lain yang tidak aku kenal. Aku bersumpah, bukan aku yang membunuhnya.
"Dan, aku tau bukan tugasku untuk bertanya, tapi mengapa kau bunuh orang tua dan adik angkatmu? Bahkan dengan cara yang sangat kejam. Apakah kau juga yang melakukan pembunuhan 18 tahun lalu? Untuk menjebakku karena rasa bencimu? Jika ya, aku minta maaf. Aku yang bersalah. Aku ikhlas menjalani hukuman ini. Anggaplah untuk menebus segala kesalahan ku pada almarhum Casandra dan juga kepadamu. Tapi, aku mohon padamu. Jangan melakukan kesalahan lagi. Kau harus menjalani hidup dengan baik.
"Baiklah, aku rasa sudah cukup. Aku sudah mengungkapkan semua yang selama ini aku rasakan. Semoga Tuhan memberkati mu, nak." Ramon selesai bermonolog.
Oscar tidak juga menunjukkan reaksi apapun.
Leo dan Rendy saling bertatapan. Mereka menghela napas bersamaan.
"Sepertinya kejiwaan Oscar memang terganggu, pak Leo, pak Rendy," kata Tika memecahkan kesunyian.
"Jadi, apa yang harus kami lakukan?"
"Rumah sakit jiwa." Kata Tika.
"Apa anda yakin. Bu Tika?"
"Saya yakin, tapi, biarlah saya akan memeriksa sekali lagi untuk lebih meyakinkan. Sebenarnya, kita sudah bisa tau dengan hanya melihat yang terjadi saat ini. Orang yang waras, tidak akan diam tanpa ekspresi sama sekali. Dia memiliki dunia sendiri di dalam pikirannya. Oscar mengalami gangguan halusinasi sehingga ia seperti berada di dunia lain. Dan,bukan tidak mungkin dia sendiri tidak meyadari apa yang telah ia lakukan. Kita lihat saja, sedari tadi ia hanya diam saat Ramon bermonolog. Jika dia sadar dan mendengarkan, setidaknya akan timbul reaksi. Ada emosi yang timbul. Tapi, ini tidak sama sekali. Apakah anda pernah bertanya siapa orang yang sudah ia bunuh? Apa jawabannya?"
"Dia tidak menjawab, dia justru membalikkan pertanyaan kepada kami."
"Itu sudah menjadi ciri bahwa dia mengalami gangguan kejiwaan. Kita bisa mengobati nya. Tapi, kita harus mencari akar nya dulu. Dan, satu- satunya cara adalah membawamya ke rumah sakit jiwa."
Bersambung