Suasana begitu gelap. Hanya ada pantulan cahaya sedikit yang berasal dari kamar mandi. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Pada satu sisi, terdapat seorang wanita yang perlahan membuka kedua bola matanya. Kepalanya terasa berdenyut hebat. Ia memegang sesuatu yang menutupi tubuhnya. Betapa terkejutnya ia, mendapati dirinya tidak memakai pakaian sedikit pun.
"Aaarrgghhh!" pekiknya memenuhi seluruh ruangan.
Tiba-tiba saja lampu menyala. Rasa terkejutnya semakin bertambah. Sebab, ada sosok pria sedang memakai pakaian di tubuhnya. Bagai disambar petir secara langsung. Ia rupanya tengah berada di sebuah kamar bersama dengan seorang pria yang tidak dikenalinya. Pria yang sudah dewasa. Bahkan, lebih cocok menjadi ayahnya. Wanita itu bungkam cukup lama. Menatap tajam dengan rasa takut yang menggebu-gebu.
"Kamu hebat sekali. Aku menyukainya," ujar pria itu dengan senyuman sinis.
"Si-siapa kau? Mengapa aku bisa ada di tempat ini?"
"Tidak perlu bingung. Kita telah melewati malam yang begitu indah. Aku harap, kita akan bertemu dilain waktu."
"A-apa yang kau katakan? Apa yang sudah kau lakukan padaku?"
"Hahahah." Tawa pria itu menggema sampai membuat bulu kuduk berdiri.
"Apa yang sudah kau lakukan?" wanita itu kembali memberanikan diri untuk berbicara. Walau terdengar begitu parau. Sebab, ia menahan air matanya.
Pria itu mendekat dan mengusap lembut pipinya. "Jangan menangis anak manis. Aku tidak menyakitimu, aku hanya memberikan kebahagiaan untukmu."
Wanita itu menepis tangan yang menyentuh wajahnya.
Tanpa mengucapkan kalimat, pria itu langsung pergi begitu saja. Yang terdengar hanya suara pintu yang ditutup secara paksa. Wanita itu masih melipat tubuhnya dengan rasa takut yang terus menghantui. Ya, wanita itu bernama Aruna. Wanita yang sangat malang karena mendapatkan kejutan yang tidak terduga sebelumnya.
Aruna terdiam, ia masih memeluk erat selimut yang menutupi tubuhnya. Kini semua kehormatan yang ada pada tubuhnya telah hilang. Tanpa sadar, Aruna menitikan air mata. Ia tidak tahu harus bagaimana, dan berbuat apa. Sekarang semuanya telah hancur. Seorang pria telah merenggut harta yang paling dijaga oleh Aruna. Ia masih belum sadar dari rasa terkejutnya.
**
Flashback
Aruna berjalan dengan santai. Menelusuri jalanan yang masih sangat ramai. Kota itu memang selalu saja dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Malam itu, Aruna baru saja singgah di kerabatnya. Ia pulang lebih dulu. Sementara sang ibu masih berada di tempat kerabatnya. Aruna pulang dengan berjalan kaki.
Selain menghemat biaya, ia juga memang suka berjalan kaki. Ia bisa menikmati hiruk piruk kota yang telah menemaninya selama ini. Di perjalanan, Aruna terus berjalan. Sesekali ia menoleh dan melihat gedung besar yang ada di sepanjang jalan. Selagi menikmati malam yang indah, tiba-tiba saja hati Aruna merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Ia menghentikan langkah kakinya. Kemudian, Aruna memutar tubuhnya ke belakang. Ia merasa ada yang mengikutinya. Tetapi, tidak ada satu orang pun di belakangnya. Aruna terdiam sejenak, ia mengedarkan pandangannya tapi tidak menemukan apa pun di sana.
"Mungkin hanya perasaanku saja," batin Aruna dalam hatinya.
Ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa menit kemudian. Aruna benar-benar merasakan ada yang aneh. Ia kembali berhenti, dan menoleh ke belakang. Tetapi, tidak ada hal yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba saja.
Bruk….
Ada seseorang yang memukulnya dari belakang. Pukulan keras itu menyebabkan Aruna mulai menutup bola matanya. Pada akhirnya Aruna tidak sadarkan diri. Ia pun terjatuh dan tidak mengingat kejadian selanjutnya.
Flashback off
**
Perlahan Aruna mulai menyeka sisa air matanya. Ia telah berpakaian lengkap. Aruna tidak mempunyai keberanian untuk pulang ke rumah. Andai ibunya tahu, pasti Aruna akan dicaci maki. Padahal, ia tidak mengetahui apa pun tentang malam itu.
Rasanya begitu sakit. Sebab, untuk pertama kali Aruna melakukan hal ini. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan musibah seperti ini. Ia berjalan hingga keluar dari tempat itu. Ia melihat sekeliling. Rupanya sangat sepi sekali. Sebab, masih terlalu pagi dan belum ada orang yang pergi untuk bekerja. Kemudian, Aruna memutuskan untuk terus berjalan. Hingga akhirnya ia merasa kalau ada yang memanggil namanya. Rupanya, Aruna sudah ditunggu oleh seorang supir taksi. Pria tadi telah menyiapkan kendaraan untuk Aruna pulang.
"Silakan masuk, Nona," ujar supir tersebut.
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"Jangan begitu, nanti saya dimarahi oleh Bos."
Aruna terdiam, lalu ia masuk ke dalam mobil tersebut. Sebenarnya, Aruna tidak menginginkannya. Tetapi ia tidak ingin membuat supir itu mendapatkan musibah buruk seperti apa yang telah dialaminya. Sepanjang perjalanan, Aruna cenderung diam. Pikirannya terus memikirkan kejadian malang yang menimpa dirinya.
Ia sangat ingat sekali, betapa bahagianya pria itu telah membuat dirinya hancur. Wajahnya terus terngiang dalam benak Aruna. Sampai Aruna beberapa kali berusaha agar melupakannya. Tetapi ia tidak berhasil. Aruna tidak pernah menyangka kalau dirinya mendapatkan kemalangan seperti ini.
"Seumur hidup, aku tidak akan pernah memaafkan pria itu," gumam Aruna.
Ia menyimpan rasa sakit hati yang teramat dalam. Kini, Aruna merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi. Ia putus asa, dan sempat dalam benaknya berpikirkan untuk mengakhiri hidup. Hingga ia tersadar, sekarang dirinya sudah sampai di depan rumah.
Kemudian Aruna turun, ia mendapati sang ibu telah menyiram bunga yang ada di depan rumahnya. Aruna hampir meneteskan air mata. Tatkala dirinya melihat wajah sang ibu. Ia tidak sanggup. Sebab, kini anak satu-satunya telah mengecewakan dan membuat nama baik sang ibu menjadi buruk.
"Sayang, kamu dari mana? Mengapa semalam tidak langsung pulang?" ujar Farah.
"Aruna menginap di rumah teman, Bu."
"Oh ya sudah kalau begitu. Sekarang kamu masuk, mandi, dan langsung sarapan."
Aruna hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.
Di dalam kamar mandi. Aruna menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Ia merasa hina, tatkala melihat wajahnya sendiri. Ingin sekali rasanya Aruna menghancurkan tubuh ini. Dan kini, Aruna menangis. Ia terisak, dan ingatannya tentang pria it uterus terlintas dalam pikirannya.
"Untuk apa aku hidup? Jika sekarang aku tidak mempunyai harga diri," ujar Aruna lirih.
"Aarrgghh!" Kembali Aruna melayangkan pukulan hebat di dinding.
Tes.
Satu tetes air mata berhasil lolos dan memasahi wajahnya. Pukulan tadi menyebabkan tangannya sedikit lebam. Aruna tidak merasakan sakit, sebab rasa sakit hati lebih besar dari pada pukulan tangannya. Setelah beberapa saat, Aruna menarik napas dalam-dalam. Lalu ia mulai menenangkan dirinya.
Ia kemudian mengakhiri pertengkaran dengan dirinya sendiri. setelah selesai membasuh tubuhnya, Aruna kemudian duduk termenung. Pagi ini tidak begitu cerah. Bahkan semesta pun merasakan apa yang kini tengah dirasakan oleh dirinya. Seakan memberikan pertanda bahwa Aruna tengah bersedih.
Tidak ada lagi alasan bagi Aruna untuk tersenyum. Ia memilih untuk bungkam, dan tidak mengatakan pada siapa pun. Ada banyak hal yang perlu dilakukan olehnya. Ada harapan besar yang ada di pundak untuk segera diwujudkan oleh dirinya. Masih ada ibu yang selalu menyayangi Aruna sampai kapan pun.
Saat mengingat wajah ibunya, Aruna seperti mendapatkan titik terang. Setelah sekian menit pikirannya terus berperang. Akhirnya Aruna memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat rahasia terbesar dalam hidupnya. Ia tidak ingin membuat sang ibu menjadi kecewa. Terlebih, sudah banyak harapan yang ada pada diri Aruna.
"Aku tidak mungkin membuat Ibu terluka." Aruna menghela napas panjang sambil terus menatap wajahnya sendiri yang terpantul pada sebuah cermin.
**
Bersambung