"Pram, kamu pakai mobil ibu aja biar gak kehujanan. Nanti kan kamu harus ujian."
"Enggak bu, Pakai motor aja, saya malu sama teman-teman dikampus. Gak enak bu."
"Pram, ini hujan lhooo.. dan kamu harus ujian. Pakaian kamu bisa basah, kamu bisa sakit."
"Saya pakai jas hujan bu."
"Udah, jangan ngeyel sama ibu. Kamu pakai mobil ibu aja, atau ibu yang anterin kamu ke kampus."
Hujan kembali mengguyur bumi kota pelajar dengan deras. Beberpa titik ruas jalan bahkan tergenang banjir. Hal itulah yang membuatku memaksa Pram untuk memakai mobil, lagipula aku tidak memiliki rencana untuk keluar hari ini.
"Ya udah, kalo ibu aja yang anterin saya gimana?" tanya Pram.
"Iya, bisa kok. Sekalian ibu mau beli koran buat cari lowongan pekerjaan lagi. Oh iya, ibu juga mau belanja kebutuhan dapur."
Sepanjang perjalanan, terlihat genangan air dimana-mana sementara hujan masih terus berlanjut. Langit tampak gelap, layaknya senja menjelang malam.
"Nanti dijemput jam brapa?" tanyaku.
"Jam 12 siang bu. Ujiannya selesai jam 12."
"Okeee. Berarti ibu sempat belanja dulu, setelah itu ibu jemput."
"Iya bu, gak dijemput juga gak apa-apa bu, nanti naik ojek aja."
"Eehhh, engak boleh. Nanti ibu jemput."
Dan sampailah kami didepan kampus Pram, sebuah kampus yang megah diwilayah Gejayan, tempat terjadinya tragedi memilukan yang merenggut korban jiwa, yang kemudian namanya di abadikan menjadi sebuah nama jalan di Gejayan tersebut.
"Semoga sukses ya Pram."
"Iya bu, ibu hati-hati nyetirnya."
"Makasih ya bu" sambungnya.
Saat ia hendak membuka membuka pintu mobil,
"Eehhhhh.. udah? Gitu aja??" kataku.
Segera Pram membatalkan niatnya. Jari telunjukku menunjuk ke pipiku sendiri sambil sedikit mencondongkan wajahku kearahnya. Pram paham dengan isyarat dariku, lantas mengecup pipi kiriku. Tak hanya sampai disitu, ia bahkan mencium bibirku, melumatnya dengan penuh perasaan. Aku sedikit terkejut, namun dengan segera, aku membalas dengan melumat bibirnya. Pram terlena dengan ciuman kami, namun aku harus segera mengakhirinya karena ada Ujian yang menantinya.
"Pram, inget ujian."
"hehehehehe.. oke siap bu."
"Fokus ke ujian aja lho Pram, jangan mikir macem-macem" kuingatkan lagi Pram.
Pram hanya tersenyum, sambil mengacungkan jempolnya. Aku meninggalkan kampus itu dengan senyum terkembang diwajahku. Entah mengapa aku bisa menjadi seperti ini, menjadi perempuan yang lebih agresif, layaknya ABG yang sedang dalam masa puber.
Aku kembali mengingat kejadian didepan rumahku, beberapa waktu yang lalu, ketika dengan nekatnya memintanya menciumku.
'Hhhuuuuuffffff' aku sedang kasmaran' gumanku dalam hati.
Sambil menunggu waktu menjemput Pram, aku belanja berbagai kebutuhan dapur sebagai persiapan untukku selama tinggal dirumah. Dan yang tak kalah pentingnya, aku membeli beberapa surat kabar, sebagai sarana mencari lowongan pekerjaan.
Masih ada banyak waktu yang tersisa sebelum menjemput Pram, dan kuputuskan untuk menunggunya di kampusnya. Sambil membaca koran, aku duduk di deretan bangku-bangku yang tersedia di hall. Tak ada yang memperhatikanku, karena mungkin mereka berpikir aku adalah salah satu mahasiswi disitu. Kemeja lengan panjang dipadu dengan celana jeans berwarna biru dan sepatu membuatku terlihat seperti mahasiswi.
Aku sedang asik melihat lowongan pekerjaan ketika tiba-tiba seorang wanita cantik duduk disampingku. Aku tak mengacuhkannya.
"Aku mau bicara." Gumannya.
Aku lantas melihat kesekelilingku, tidak ada seorangpun yang duduk disitu selain kami berdua.
"Saya..??" tanyaku heran.
"Kupikir aku sudah memilikinya, tapi ternyata aku salah. Dia masih mengingatmu, dihatinya masih ada kamu." Gumannya.
Aku mendengarkan setiap ucapannya, namun aku masih belum mengerti hal apa yang ia bicarakan, lagipula, aku tak mengenal gadis cantik yang berada disampingku ini.
"Terkadang dia masih bercerita tentang kamu. Dia selalu membandingkan aku denganmu. Rasa-rasanya aku bukan wanita sempurna dimatanya." Sambungnya lagi.
'Deegg' tiba-tiba aku tersadar. Wanita yang berada didepanku ini adalah wanita yang telah merebut suamiku!
Sekuat tenaga aku mencoba mengendalikan emosiku, menahan amarahku.
"Aku minta maaf. Aku merebutnya darimu."
"Aku mencintainya."
Entah mengapa aku kasihan padanya. Rasa amarah dan emosiku berubah setelah mendengar pengakuannya.
Sebuah kejujuran yang membutuhkan keberanian yang luar biasa besar. Wajahnya tampak sedih, seperti seorang yang sedang putus asa. Aku yakin, dia telah berkata jujur padaku.
"Mungkin kamu mendengar ucapan saya saat dikantor polisi waktu itu. Saya serius dengan ucapan saya waktu itu."
"Saya tidak menyalahkan kamu, saya tidak menyalahkan suami saya, saya menganggap masalah ini sebagai takdir yang harus saya jalani. Itu saja."
"Kamu jangan khawatir, sekarang dia milikmu karena saya sudah menghapusnya dalam kehidupan saya. Saya sudah menutup pintu hati saya untuknya." Sambungku.
Wanita cantik dihadapanku hanya menundukkan wajahnya, tak sekalipun ia menatapku. Kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping dengan rambut hitam legam yang terurai hingga ke bahu.
Dari kejauhan, kulihat Pram sedang berjalan menuju kearahku dan disampingnya, segerombolan teman-temannya yang telah kukenal.
"Kamu tenangkan hatimu. Jangan khawatir. Dia telah menjadi milikmu" kataku padanya sambil memegang pundaknya.
Tampaknya ia menyadari kedatangan Pram dan teman-temannya sehingga ia bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menatapku dan sedikit tersenyum, sebuah senyum keterpaksaan dari hati yang sedang bimbang.
"Mbak kuliah disini..?" tanya Rita, salah satu teman perempuan Pram.
"Enggak, Ini cuman mau jemput Pram aja kok."
"Jiiaaahh.. manja bener lo" timpal Rita.
"Ngomong-ngomong, mbak kenal sama Nita ya?" tanya seorang yang lain yang juga ikut bersama Pram.
"Nita..? Nita siapa??"
"Itu lho yang tadi ngobrol sama mbak."
"Oooo.. itu.. Mbak gak kenal kok, lagian tadi dia cuman nanya jam berapa sekarang, terus sekalian aja mbak nanya ke dia, kenal Pram ato enggak, nanyain kalian pulang jam berapa. Ternyata dia gak kenal kalian."
"Hehehehehe.. kirain mbak kenal dia, kalo kenal sih pengen nitip salam." Celetuk salah satu teman pria Pram.
"Hhhhuuuuuuuuuu…!" sorak teman-temannya yang lain.
"Jangan bro.. lo gak bakal mampu. Denger-denger sih doi kekepan om-om gitu. Mending lo nyari yang lain." balas salah seorang teman pria Pram.
Aku terkejut mendengar perkataan teman Pram. Dan mungkin ada benarnya atas apa yang telah ia ucapkan, sejalan dengan apa yang kualami.
"Ya kali aja dia mau."
"Hhhuuuuuuuu…." Lagi-lagi sekempulan anak muda itu bersorak.
"ngimpi lo..!" celetuk sesorang yang lain.
Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka, dan keramaian mereka pun mengundang perhatian sejumlah mahasiswa mahasiswi yang lalu lalang disitu.
"Lo udah punya pacar, gak usah macem-macem." Sahut yang lain.
"Mending kasih Pram aja, kasihan dia, udah musim hujan ini." Timpal Rita.
Pram kembali menjadi sasaran candaan mereka. Ia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Sudah sudah sudah… stop. Kalian mau ujian lagi atau mau pulang atau mau gimana?" tanyaku.
"Eh, makan bareng lagi yuk, di tempat biasa" jawab Rita.