"Kok kelihatan senang banget?" tanya Pram.
"Senang?? Kok bisa? Emang ada yang beda?" tanyaku heran.
"Wajahnya kelihata ceria aja." Jawab Pram, sembari menyetir.
"Hehehehehe.. gak apa-apa sih Pram, seneng aja liat kalian ngumpul gitu, kayaknya kalian hidup tanpa beban. Bawaannya bahagia mulu, ketawa, becanda, kayak gak ada beban."
"Itu cuman penampakan luarnya kok. Daripada stres, pusing mikirin hidup, jadi ya dibawa santai aja sih bu. Dinikmati aja tiap prosesnya."
"Saya juga sama seperti ibu, harus mikirin hidup. Sekarang mikirin kuliah, sambil buat rencana setelah kuliah mau gimana, rencananya apa? Mau kemana."
Jawaban Pram menunjukkan kualitas kepribadiannya, dia benar, mereka sama sepertiku, yang membedakannya adalah bahwa aku terlalu banyak memikirkan hal-hal tersebut dan lupa cara menikmati hidupku.
Tak terasa, akhirnya kami sampai dirumah. Setelah memasukan mobil kedalam garasi, Pram membantuku membawa belanjaan kedapur.
"Pram, nanti malam mau makan apa?"
"Belum tau bu, ini kan masih siang." "Haaduuuhhhh kamu ini.. ribet yah kalo nanya sesuatu sama kamu"
"Maksud ibu, kamu mau dimasakin apa? Tuh lihat, ibu udah belanja banyak." Sambungku lagi.
"Oo gitu.. hhmmm.. apa aja deh bu, saya ngikut aja"
"Ya udah, kalo gitu nanti malam kita makan sama-sama ya. Ibu juga males kalo makan cuman sendirian."
Sepanjang siang kugunakan waktuku untuk kembali mencari lowongan pekerjaan, lalu kembali membuat surat lamaran dan melengkapi beragam persyaratan sesuai yang tertera di iklan.
Aku begitu bersemangat dan merasa optimis bahwa kali ini, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang aku cari.
Jam 7 malam, aku telah tenggelam dalam kesibukan didapur. Ditemani alunan lagu yang bersumber dari ponsel, aku bernyanyi sambil merajang sayuran, mempersiapkan bumbu untuk memasak makan malam dengan Pram. Susana hatiku sedang gembira.
"Duuuuh, emang bener lagi happy ya bu? Sampe nyanyi-nyanyi gitu."
"Eehhh… lho kok kamu masuk gak ngomong-ngomong sih Pram? Udah lama??"
"Lumayan lama sih, dengerin ibu nyanyi sampe 3 lagu, hehehe.. tadi saya ketuk pintu, tapi mungkin ibu gak denger, saya panggil pun ibu gak jawab, jadi ya masuk aja, kirain ibu kenapa-napa, eeeee ternyata lagi nyanyi disini."
"Iya...yaa, maaf ya.."
"Ibu harus ceria seperti ini setiap hari.. harus bisa membahagiakan hati ibu sendiri."
"Iya Pram.. makasih ya."
"kamu buat minum, teh panas, hawanya dingin ini, bisa?" tanyaku.
"Okeee.. siap bu.."
Sejak kejadian dikantor polisi, hubunganku dengan Pram semakin dekat seiring waktu berjalan. Sedikit banyak aku belajar darinya, tentang bagaimana melalui masa-masa sulit hidup, bagaimana cara menikmati hidup.
Usianya memang jauh lebih muda dariku, namun kehadirannya sangat berdampak positif, sangat membantuku. Kegilaan yang terjadi dirumah orangtuaku pun tidak berdampak apa-apa. Pram masih tetaplah Pram yang dulu. Tak pernah sekalipun ia mencoba merayuku, atau mencari kesempatan untuk bercumbu denganku. Ia sangat menghormatiku.
Aku menjadi terbiasa dengan kehadirannya didekatku, dan mulai terbiasa untuk tampil tanpa mengenakan jika sedang berada dirumah. Dan seperti ketika saat pertama kali ia melihatku tanpa , ia memujiku.
"kayaknya sih emang lebih cocok dipanggil Mbak aja deh bu."
"Kok bisa?? Umur ibu hampir 30 lhoo."
"Tapi masih kelihatan kayak anak muda kok. Apalagi kayak tadi dikampus, pasti orang-orang yang lihat ibu mengira kalo ibu mahasiswi, kuliah disitu."
"Gomballll… " jawabku sambil menyeruput teh panas buatan Pram.
"Tapi ya terserah kamu aja Pram, mau panggil Mbak, boleh. Mau panggil ibu, boleh. Mau panggil sayang juga boleh kok."
"Ehhhh.. kok sayang..??" tanyanya heran.
"Lhoooo… lupa ya..??" tadi dikampus kita bilang kalo kita pacaran lhooo." Jawabku sambil tertawa.
"Hahahahahahahaha.. iya ya.. kita pacaran. Mimpi apa ya sampe bisa punya pacar kayak gini."
"Lhoo.. makaudnya?? Punya pacar ibu-ibu gitu? Punya pacar gendut, jelek, tua gitu?" tanyaku.
Kami sedang dalam suasana bercanda, dan aku yakin pun sepaham denganku. Ia lalu mendekat kesampingku, kedua tangannya memegang lenganku, dan perlahan menuntun tubuhku untuk berhadapan dengannya.
"Yang saya lihat bukan fisik ibu, bukan tubuh ibu. Saya melihat hati ibu."
Ia berkata sambil menatapku dalam-dalam, tatapan yang sama seperti saat untuk pertama kali ia mengecup bibirku diruang tengah rumahku, dikampung halamanku. Dan lagi-lagi aku tak mampu melawan tatapan itu. Aku hanya menundukkan sedikit wajahku demi menghindari tatapannya.
"Iya Pram." Jawabku singkat.
"Ibu harus bangga dengan diri ibu sendiri, ibu harus percaya diri." Sambungnya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan, mengamini perkataannya yang memang benar adanya.
"Duuuuhhh.. pacarkuuuu." Sambung Pram lagi sambil mengusap rambutku.
Kami tertawa bersama setelah ia mengucapkan kalimat yang sebenarnya lebih pantas untuk diucapkan oleh ABG tersebut.
Aku sengaja tak mengenakan karena telah terbiasa dengan kehadirannya. Aku masih tertawa pelan mendengar ucapannya, layaknya ABG yang sedang jatuh cinta.
"Lho kok ketawa?" tanyanya sambil mengangkat wajahku dengan jari telunjuknya.
"Gak apa sih Pram, lucu aja, kita kayak ABG."
"Hahahahaha, iya sih kayak ABG, tapi gak apa, sesekali jadi ABG lagi aja biar gak bosan."
Selalu saja ada jawaban diplomatis dan logis dari Pram yang membuatku kagum dan nyaman jika bersamanya. Dan semua ini membuatku sangat menikmati moment bersamanya.
"Ibu yakin mau kerja warung itu?"
"Yakin banget Pram. Sambil nunggu panggilan kerja, daripada ibu nganggur dirumah."
Setelah makan malam bersama Pram, yang disertai dengan obrolan dan canda tawa, aku mengistirahatkan diri, bersiap menyambut hari baru, langkah baru dalam lembaran hidupku.
*
"Bu, kita berangkatnya barengan aja, pakai motor aja. Gimana?"
"Lho nanti kamu pulang jam berapa? Ibu pulang jam 5 lho Pram."
"Udah, tenang aja bu, nanti saya jemput. Saya selesai ujian jam 11 siang. Nanti saya kan bisa pulang dulu, sorenya baru saya jemput ibu."
"Tapi nanti kamu repot lho Pram."
"Enggak kok bu, tenang aja. Kalo pakai motor, kita bisa hemat BBM bu."
"Beneran gak ngerepotin kamu Pram?"
"Udah. Pokoknya ibu manut aja. Oke?" Pram bersikeras.
Apa yang dikatakan oleh Pram memang benar. Aku harus mulai berhemat, harus mulai mengatur keuanganku, karena sekarang aku adalah tulang punggung untuk diriku dan Nova putriku. Dan sekali lagi, Pram mendapatkan simpatiku.
Pram mengantar aku sampai didepan warung.
"Hari pertama bekerja, semangat..!" ucapnya sebelum melangkah pergi.
Aku hanya tersenyum melihat kepergiannya. Dia begitu antusias, begitu bersemangat dalam mendampingi aku, dia menularkan semangatnya padaku dan selalu mendorongku untuk selalu maju.
Warung kecil ini tidak terlalu ramai saat pagi, namun saat menjelang makan siang, pengunjungnya akan membludak. Masakan ala rumah, dan harga yang murah menjadi daya tarik tersendiri bagi para mahasiswa.