"Iya, lancar kok Pram."
"Capek??"
"Enggak kok.. biasa aja Pram."
"Ya udah, saya tinggal dulu ya bu, mau mandi."
Aku menggelengkan kepala setelah mendapati tempat tidurku masih dalam keadaan berantakan. Noda-noda sisa hasil percintaanku dengan Pram pun telah mengering. Kami terburu-buru berangkat agar aku tak terlambat kerja dan Pram pun harus menempuh ujiannya.
Segera saja kulepaskan sprei yang membungkus kasurku, lalu meletakkannya diruang cuci, dibelakang dapur.
"Lho Pram, katanya mau mandi, kok malah kesini??"
"Saya inget, tadi pagi belum sempat beresin ranjang, jadi mau saya beresin sekarang."
"Duuhhhh baik banget sih kamu..!" kataku sambil mencubit pipinya.
"Udah.. udah ibu beresin.. cuman kasurnya belum dijemur. Besok aja deh. Lagian ini udah sore."
"Kasurnya basah ya bu?"
"Iyaaa, basah dikit kok Pram, agak lembab juga soalnya lama gak dijemur. Lagian ini kan lagi musim hujan."
"Trus malam ini ibu tidurnya gimana?"
"Biasanya ibu tidur matanya merem"
"….."
Pram tertawa mendengar jawabanku.
"Maksud saya, ibu tidurnya dimana?"
"Di sofa aja bisa kok. Empuk juga."
"Kamar yang satunya belum sempet ibu beresin sih, nanti aja kalo sempet."
"Ya udah, saya beresin sekarang ya bu, biar nanti malam ibu bisa tidur disitu."
"Eehhh.. gak usah Pram. Besok-besok aja gak apa kok. Beneran gak apa-apa."
"Udah, sekarang kamu mandi. Nanti malam kita masak buat makan malam bareng." sambungku.
"Iya bu."
"Maaf ya bu."
"Lhooo.. kok minta maaf??"
"Gara-gara saya ibu jadi tidur di sofa."
"Habisnya kamu sih…" jawabku sambil mendekat.
"Bikin ibu keenakan" lanjutku lagi dengan berbisik ditelinganya.
"Emang ibu suka?" tanyanya pelan.
"Sukaaa.. pake banget."jawabku masih berbisik di telinganya.
"Anu kamu enak banget, besar banget, bikin ibu ketagihan." Sambungku lagi sambil mengusap kemaluannya yang masih terbungkus celana panjang.
Pram nampak terkejut jawabanku yang nakal dan vulgar.
"Bu.." katanya sambil memegang kedua lenganku.
"Saya senang ibu bisa gembira, bisa kembali ceria. Tapi kalo ngomongin yang nakal-nakal kayak gini, gak boleh sama sembarangan orang lho ya. Ibu harus tetap menjaga harga diri ibu didepan umum."
"Iya.. maaf." Kataku sambil tertunduk malu.
"Enggak, ibu gak salah kok. Ibu hanya mengungkapkan perasaan ibu aja. Dan hal itu gak salah kok."
"Iya.. tapi kalo ngomong kayak gini sama kamu gak apa kan? Kamu gak risih kan? Gak marah kan?" tanyaku lagi. Sejujurnya aku khawatir Pram tidak suka dengan kebinalan yang baru saja kulakukan.
"Ya enggaklah bu. Justru saya senang ibu bisa mengekspresikan diri ibu. Ibu gak perlu malu-malu, gak perlu berpura-berpura didepan saya."
"Tapi kalo bisa, cuman didepan saya aja ya bu. Jangan sama orang lain. Bukannya saya mau ngelarang ibu, tapi ibu harus tetap menjaga harga diri ibu didepan umum."
Aku mengrti apa coba disampaikan olehnya. Ia hanya ingin melindungiku, ingin menjagaku agar tetap dihargai di depan orang lain.
Jika saja Pram berniat mengambil keuntungan dariku, ia telah melakukannya dari dulu, karena memiliki kesempatan yang terbuka lebar. Atau setidaknya jika hanya menginginkan tubuhku, tentu saja ia akan mendapatkannya dengan mudah. Dia satu-satunya lelaki yang selalu berada disampingku sejak suamiku pergi.
Namun Pram tetaplah Pram yang telah kukenal selama ini, dan aku percaya padanya. Dia bukanlah tipe lelaki seperti itu.
"Iya.. makasih ya Pram. Tolong ingetin ibu kalo salah bersikap didepan kamu. Atau di depan orang lain."
"Iya.. pasti saya ingetin kok bu."
"Berarti kalo sama kamu, ibu bebas mau ngapain aja, bebas ngomongin apa aja?"
"Iyaa.. kira-kira gitu. Yang penting ibu senang, yang penting ibu nyaman. Saya yakin ibu juga pasti gak akan berbuat sesuka hati ibu. Ibu bukan tipe perempuan seperti itu."
"Duuuhhhhhh… baik banget siiihhhh kamu!" kataku sambil mencubit pipinya.
Kulingkarkan kedua tangan dilehernya sembari menatapnya. Kedua tangannya menyambut tubuhku dengan memegang pinggulku sangat erat. Tubuh kami hampir menyatu, hanya menyisakan sedikit ruang diatara wajah-wajah kami.
"Terima kasih ya. Karena kamu, ibu bisa bertahan, bisa menjalani semua ini dengan baik. Ibu semangat lagi dan bisa bangkit lagi. Ibu percaya, kamu bukan laki-laki nakal, bukan laki-laki yang akan mencelakakn ibu atau memanfaatkan ibu hanya untuk kesenangan kamu."
"Boleh Ibu lanjutkan?" Tanyaku.
Pram menganggukan kepala.
"Kita sama-sama sudah dewasa, Walalupun usia kamu lebih muda dari ibu, tapi, bagi ibu, kamu jauh lebih dewasa dari usiamu. Kamu masih inget kejadian di rumah orang tua ibu, lalu kejadian tadi pagi?"
Pram kembali mengangguk, tatapan matanya masih mengarah padaku.
"Ibu menganggap semua itu terjadi atas keinginan kita. Dan jujur saja, ibu senang melakukannya sama kamu, karena kamu adalah orang yang ibu kenal, dan yang terpenting, ibu nyaman dan merasa terlindungi kalo ada disampingmu. Ibu percaya sama kamu. Entah kamu sadari atau enggak, kita sudah seperti suami istri lho. Bagi ibu, kamu cukup dewasa dan sangat bertanggung jawab. Kamu sayang Nova seperti kamu menyayangi anakmu sendiri. Hal-hal itulah yang membuat ibu nyaman dan percaya kamu."
"Jangan pernah berubah ya, Pram. Tetaplah seperti ini, seperti Pram yang ibu kenal."
Aku mengakhiri ungkapan isi hatiku. Aku lega karena telah berbicara secara jujur padanya, dan sangat bahagia dengan respon yang ia berikan.
Aku yakin Pram sangat menyayangiku walaupun ia belum pernah mengatakannya secara langsung. Ia lebih senang dan nyaman mengungkapkan perasaan sayangnya padaku lewat tindakan nyata. Aku sudah merasakannya, dan aku semakin nyaman dekat dengannya.
Beberapa saat berlalu, dan akhirnya kami berpelukan. Aku merasa lega karena telah mengungkapkan perasaanku. Sebuah pelukan hangat yang melambangkan perasaan hati kami ditengah senja yang sempurna.
"Kamu, ada yang mau kamu sampaikan ke ibu?" tanyaku sesaat setelah kami mengakhiri pelukan.
Lagi-lagi Pram hanya menggelengkan kepala.
Pram lantas mengecup bibirku, sebuah ciuman yang lembut dan hangat, ia melumat bibirku dengan pelan, seolah sedang ingin meresapinya.
Begitu juga denganku, berusaha melumat bibirnya dengan selembut mungkin, sejalan dengan suasana senja nan indah dalam selembar kisah perjalanan hidupku.
"Ya udah, sekarang ibu mandi, biar gak kemaleman, keburu dingin." Kata Pram seraya melepaskan pelukannya.
Aku mengabaikan ucapannya dan tetap menatap matanya sambil tersenyum. Sekali lagi, dengan lembut kuusap kemaluannya yang masih tersembunyi dibalik celana jeans yang ia kenakan.
"Hhhmmm… ibu mulai nakal.." gumannya sambil mencubit pelan pipiku.
"Biariiiinnnn… weekkk…" protesku sambil menjulurkan sedikit lidahku untuk mengejeknya.
"Ibu, nakalnya sama orang yang ibu sayang kok. Lagian tadi kan kalo sama kamu, ibu bebas ngapain aja."Lanjutku lagi sambil menurunkan resleting celananya.
Pram mengerti apa yang kuinginkan, lantas membuka ikat pinggang dan kancing celananya.
"Pintu samping belum ditutup lho bu.." Lagi-lagi aku tak mengacuhkannya dan langsung bersimpuh dihadapannya.
Celana jeans yang masih menutupi pinggulnya pun kuturunkan dengan perlahan hingga ke bagian lutut, sekaligus dengan celana dalamnya.
Selama itu pula, mataku masih tetap menatapnya. Wajah Pram terlihat sedang tegang. Aku yakin ia pasti paham apa yang akan terjadi.