"Yuni...."
--Idih ngapain sih nyebut namaku. Bodoh, harusnya tadi aku pura-pura nggak kenal dia-- batin Yuni.
Dia jijik mendengar namanya keluar dari bibir Yudi. Bahkan hanya melihat wajah Yudi sudah membuatnya mual. Begitulah efek kejadian masa lalu yang masih mempengaruhinya hingga hari ini.
"Yuni Sasmita kan?" tanya Yudi mengerjapkan mata berulangkali.
"Iya Pak. Nama saya memang Yuni Sasmita," Yuni memaksa bibirnya tersenyum.
"Sudah delapan tahun ya kita tidak bertemu. Kamu masih mengenal aku?".
Beberapa orang yang bekerja di lantai yang sama dengan mereka dan lokasi meja kerja yang tidak jauh dari Yuni, memperhatikan interaksi yang terjadi antara bos dan karyawan baru.
Mereka penasaran melihat sikap ramah bos yang selama ini mereka kenal sebagai pribadi yang angkuh tapi malah terlihat mengobrol akrab dengan karyawan baru. Mereka tentu heran dan cukup terkejut.
Yuni yang tidak suka menjadi bahan perbincangan, ingin mengakhiri basa-basi Yudi terhadapnya. Yuni tidak merasa senang sama sekali masih dikenali oleh Yudi. Percuma juga Yuni bersikap pura-pura tak mengingat Yudi jadi Yuni harus mengakui satu sama lain agar pertemuan canggung ini segera usai.
--Ya iyalah aku kenal kamu. Sampai aku mati, aku tetap bakal terus mengingat kamu--
Maunya Yuni berkata seperti isi hatinya tapi yang keluar dari mulutnya jauh bertolakbelakang.
"Tentu saja aku masih ingat kamu, Yudianto Purnomo. Benar kan? tapi karena sekarang kamu itu bos aku, tolong jangan bersikap seperti ini. Lihatlah, kita jadi pusat perhatian mereka," kepala Yuni menoleh ke samping ingin melihat reaksi orang-orang disekitarnya.
Yudi ikut mengarahkan tatapan ke area sekeliling ruangan dan memang dia mendapati para pekerja melihat ke arahnya. Mereka memang tidak sedang bergunjing tapi mereka terang-terangan menatap padanya dan Yuni.
"Kamu malu jadi pusat perhatian? bukannya kamu sudah terbiasa tampil di muka umum. Yuni yang aku kenal nggak seperti ini," sindir Yudi membuang wajahnya ke samping.
Masih tersimpan perasaan bersalah di sanubari Yudi tapi pria itu tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf. Yudi butuh waktu dan tempat yang pas untuk melakukan itu.
"Bapak tidak mengenal baik kepribadian aku seperti apa. Selama ini kita berdua tidak mempunyai hubungan akrab hingga kita tidak mengenal pribadi masing-masing," tutur Yuni berbicara bijak dan sopan.
Dalam hati Yuni timbul penyesalan sebab dia malah berakhir menjadi babu dari teman yang sudah mengkhianatinya. Andai Yuni bisa mengulang waktu beberapa menit yang lalu, mungkin dia tidak bekerja di tempat ini. Atau andai saja dia dan Yudi sudah dipertemukan sebelum penandatanganan kontrak kerja, Yuni pasti tidak sudi bekerja sebagai anak buah Yudi. Sudah cukup Yuni dipermalukan akibat kecurangan Yudi yang menyebabkan Yuni tidak mengenyam pendidikan di universitas. Bahkan rasa malu membuatnya merantau ke kota asing ini.
Kini Yuni masih harus menahan diri saat berjumpa kembali dengan si pemberi gaji.
-Ya namanya takdir, mana ada yang bisa diatur sesuka hati-
"Tentu saja kita tahu kepribadian masing-masing. Kita bukan hanya mantan teman sekolah tetapi juga mantan tetangga. Rumah kita masih di wilayah yang sama," sahut Yudi menyeringai.
Melihat seringai di bibir Yudi membuat bulu kuduk Yuni berdiri. Dia takut Yudi membuat masalah baginya. Yuni tidak takut dipecat tapi dia takut dipermainkan lagi. Sudah terbukti di masa lalu Yudi suka bertindak seenaknya.
"Aku ingat itu, Pak. Bagaimana kalau sekarang Bapak kasih tahu jobdesk bagian saya karena saya ingin segera memulai pekerjaan. Mengobrol dengan saya tidak menghasilkan uang dan setelah Bapak memberitahu tanggung jawab pekerjaan pada saya, Bapak bisa lanjut bekerja menghasilkan uang." Setelah berkata seperti itu, Yuni melebarkan sudut bibirnya membentuk senyum lebar.
Beberapa karyawan yang menguping percakapan, terkejut mendengar keberanian Yuni mengakhiri nostalgia masa lalu yang dibahas oleh bos mereka. Mereka masih tidak percaya Yuni berani mengambil sikap dihadapan Yudi.
--Ternyata dia masih orang yang sama-- batin Yudi puas mengetahui bahwa Yuni belum berubah.
Yudi mengangguk sepakat dengan keinginan Yuni yang enggan mengobrol lagi. Memang sedari tadi Yudi yang aktif bertanya dan Yuni hanya bersikap sopan dengan menjawab semua pertanyaan Yudi. Yudi suka hal ini. Bertindak seperti kepala yang dihormati dan disegani ekor.
"Ayo masuk ke ruangan saya," ujar Yudi menghela langkah kakinya memasuki ruang kerjanya kembali.
Dan Yuni mengekor dibelakang Yudi.
Benarkan kalau Yudi sebagai kepala dan Yuni sebagai ekor. Bos dan karyawan memang seperti itu.
-----
Hampir dua jam Yudi menjelaskan pekerjaan Yuni sekaligus mengajari Yuni menjadi marketing HUGO. Yuni yang berotak encer dan cakap berkomunikasi, begitu mudah menerima ajaran serta penjelasan Yudi.
Jarum jam hampir mendekati pukul sepuluh pagi saat Yuni keluar dari ruangan Yudi.
Selama mereka membahas pekerjaan didalam ruang kerja, Yudi sama sekali tidak menyinggung kembali masa lalu mereka. Yuni lega dan berdoa semoga Yudi tidak mengungkit masa lalu lagi.
Yuni menghempaskan tubuhnya duduk di kursi kerjanya yang berupa kursi busa beroda. Dia memejamkan matanya mengingat kembali interior ruang kerja Yudi yang begitu mewah.
'Gambaran ruang kerja Yudi versi pengamatan Yuni'
Kaki Yuni melangkah memasuki ruang kerja dengan pencahayaan terang benderang. Lantai ruangan yang berlapis marmer putih tampak berkilau. Bahkan Yuni bisa melihat pantulan dirinya dari balik keramik lantai. Di tengah ruangan terdapat meja kayu jati berukuran raksasa. Di belakang meja kerja, tergantung di dinding lukisan burung. Ukuran lukisan sebesar ukuran meja kerja. Di atas meja kerja ditaruh dua kotak telepon, tempat alat tulis, laptop, printer, cap, cangkir kopi dan setumpuk faktur di pojok kanan atas.
Ekor mata Yuni menangkap keberadaan dispenser dan disamping dispenser terdapat satu meja kecil yang berisi kue-kue basah.
Di ujung ruangan terdapat lemari kaca seperti bentuk etalase yang terisi tumpukan binder map, plakat, serta sampel produk buatan HUGO seperti rice cooker, blender, mixer, kompor, dan kipas duduk berukuran kecil.
Di seberang meja, diletakkan dua kursi beroda untuk menerima tamu. Baiklah, dari hasil pengamatan Yuni mengenai ruangan Yudi adalah mewah. Letak kemewahan yang Yuni maksud adalah cat pelapis dinding yang berwarna emas lalu lampu hias mewah yang bergantung di atas plafon. Selain itu, bingkai lukisan burung berwarna gold dan Yuni menduga bingkai lukisan dibuat dari emas. Tidak salah bukan bila Yuni menyebut ruang kerja Yudi mewah.
--Gila jomplang banget ya nasib aku sama pengkhianat Yudi. Bagaimana aku bisa membalas dendam atas perbuatannya dulu-- batin Yuni
"Sut...sut."
Spontan kepala Yuni menengok ke samping kanan (jelas tidak perlu nengok samping kiri, cuma ada tembok. Masa tembok bisa bersuara).
Seorang wanita muda rupanya memanggil Yuni dengan suitan.
--Apa-apaan sih ini orang. Memangnya namaku sut sut-- dumel Yuni dalam hati.
Terpaksa Yuni memberi senyum tipis pada wanita muda yang melihatnya. Alis mata Yuni terangkat, seolah meminta alasan mengapa wanita itu mengusiknya.
"Mantan Pak Yudi ya?" tanya wanita itu bersuara rendah. Wanita itu sengaja memelankan suaranya supaya rekan kerja lainnya tidak tahu dia berbicara dengan Yuni.
--Wong edan. Aku malah dikira mantan si pengkhianat. Tak Sudi aku jadi mantan teman si Yudi--
Inginnya Yuni menyahut seperti itu tapi dia malah berkata singkat, "Bukan."
"Kenalan Pak Yudi?"
"Bukan."
"Saudara Pak Yudi?"
"Bukan."
Terdiam. Wanita muda itu berhenti bertanya. Yuni kira sesi tanya jawab versi wanita muda itu sudah berakhir. Dia baru hendak membuang wajahnya, saat suara wanita muda itu kembali terdengar.
"Oh jadi kamu cem-ceman Pak Yudi?" tanya wanita itu menyipitkan mata memandang sinis Yuni.
Gubrak. Rupanya wanita muda itu malah menyangka Yuni sebagai simpanan Yudi.
'Mana mungkin ya pemirsah. Hello, nggak mungkin banget. Secara ya, kalau simpanan itu berarti kekasih yang disembunyikan dari istri atau kekasih sah. Yuni dan Yudi saja baru bertemu kembali setelah delapan tahun berlalu'
"Otak kamu masih berfungsi kan? dasar sinting," ucap Yuni menunjuk pelipisnya sendiri.
------