Chereads / Istri impian / Chapter 6 - tetangga kepo

Chapter 6 - tetangga kepo

"Mbak, pagi amat berangkat ke kantor. Kerja di mana?"

Tubuh Yuni baru sejengkal keluar dari kamar kost dan dia sudah menerima pertanyaan dari Amel, tetangga kamar sebelah.

"Kerja jadi babu," sahut Yuni singkat, tangannya sibuk mengunci pintu kamarnya.

"Seragamnya keren tuh Mbak. Aku kenal baik sama pemilik HUGO," mata Amel berbinar senang melihat kemeja biru muda dengan logo HUGO terpampang di saku kanan depan.

--Anak umur satu tahun juga kenal sama kakaknya sendiri-- batin Yuni

"Duluan ya," pamit Yuni bergegas pergi meninggalkan Amel yang tampaknya masih ingin berceloteh.

Amel memandang punggung Yuni yang telah menjauh dengan tatapan jengkel. Bibirnya ikut berdecak kesal. Keinginannya untuk lebih mengenal tetangganya pupus. Padahal Amel ingin menjalin pertemanan dengan Yuni tapi Yuni jelas enggan bersosialisasi dengan sekitarnya. Amel menduga Yuni memiliki kepribadian introvert (tertutup) hingga tidak suka bercakap-cakap dengannya. Padahal Yuni hanya tidak mau berbicara banyak dengan adik perempuan Yudi.

Sepanjang perjalanan menuju tempat kerjanya dengan berjalan kaki, Yuni terkadang mengangguk atau tersenyum tipis saat berpapasan dengan orang-orang yang dia kenal dari tempat kost. Dia tidak ingin membuat orang-orang menganggapnya sombong hingga bergunjing tentang dirinya.

Perjalanan dari tempat kost menuju kantor HUGO hanya memakan waktu tidak sampai lima belas menit. Akhirnya Yuni tiba di kantornya. Tapi lagi-lagi pintu depan masih tertutup hingga dia mengikuti saran yang kemarin dikasih tahu Silvi padanya. Lewat pintu belakang.

Dia memutari pintu belakang gedung dan tersenyum lebar saat melihat pintu belakang gedung HUGO terbuka. Tanpa segan, Yuni melangkah masuk.

"Selamat pagi Mbak Komkom," sapa Yuni baru masuk beberapa langkah dan melihat sosok Mbak Komkom yang tengah memasak.

Rupanya di pintu belakang terdapat dapur kotor yang digunakan Mbak Komkom untuk memasak.

Komkom menoleh ke asal suara dan melebarkan sudut bibirnya saat melihat sosok Yuni yang telah menyapa dia.

"Pagi Non. Sudah sarapan pagi?" tanya Komkom menyadari tatapan mata Yuni yang terus terarah pada wajan masaknya.

--Pake ditanya pula. Jelas belum sarapan, Mbak Kom-- jerit Yuni membatin.

"Kebetulan nih, saya lagi masak nasi goreng spesial buat sarapan pak bos. Non Yuni mau sekalian soalnya ini pasti lebih. Saya memang selalu membuat lebih," tawar Komkom masih sibuk mengaduk nasi goreng di atas wajan.

Yuni bertepuk tangan lalu menghidu aroma masakan buatan Mbak Komkom. Harum dan menggiurkan.

--Auto kriuk kriuk ini perut. Sabar ya-- tangan Yuni mengusap pelan perutnya dari balik seragam kerjanya.

Diam-diam Mbak Komkom mengamati gerak-gerik Yuni sesekali mencuri pandang ke sisi samping. Dia melihat Yuni mengusap perutnya.

"Non sakit perut ya? mau Komkom buatin teh manis hangat?" tawar Komkom menengok terang-terangan pada Yuni.

Ketahuan memegang perut membuat Yuni gelagapan. Dia tentu saja tidak ingin merepotkan Komkom yang masih sibuk memasak.

"Hehehe, tidak usah Mbak. Aku bukan sakit perut," tolak Yuni menggelengkan kepala.

"Lah, itu usap-usap perut. Jujur saja lah Non, tidak perlu malu sama Komkom," tegas Komkom menolak percaya.

Kepalang tanggung ketahuan mengusap perut dan tak ingin merepotkan Komkom, Yuni terpaksa berkata jujur.

"Beneran Mbak, perutku nggak sakit. Aku cuma lapar. Hehehe. Aku jadi malu sendiri," Yuni menutup mukanya dengan telapak tangan.

Terdengarlah tawa terbahak-bahak dari bibir Komkom, suara tawa Komkom yang cetar membahana terdengar hingga kamar mandi belakang yang tengah digunakan Yudi. Bos mereka sedang mandi di sana. Baik Komkom dan Yuni tidak mengetahui hal ini jadi ketika Yuni sedang duduk manis di meja kayu kecil, dia melihat sosok Yudi keluar dari kamar mandi dengan menggunakan celana kolor hitam tanpa memakai atasan.

Bukannya menutup matanya, Yuni malah tidak memalingkan wajah. Matanya menatap serius tubuh setengah terbuka Yudi.

"Ya ampun bos, bikin Komkom kaget," Komkom mengelus dadanya tapi ikut-ikutan memandangi dada Yudi.

"Ekhm, sepertinya ada tontonan gratis nih," deham Yudi malu menjadi objek pandangan dua wanita.

Yuni mengangguk. Komkom mengangguk juga.

Yudi bertambah malu. Dia memilih kabur dari hadapan dua wanita yang masih memandang tubuhnya. Pipi Yudi sampai merona memerah.

"Yah, malah pergi si Yudi," desah Yuni menyendok nasi goreng masuk ke mulut.

"Malu kali Non. Ternyata badan bos bagus juga ya. Kekar dan putih. Kayak para pemain film drakor," Komkom meminum jamu buatannya sendiri.

"Ala Yudi tuh orangnya PD (percaya diri) mana mungkin malu. Mungkin dia cuma kedinginan secara pintu belakang terbentang lebar dan udara luar bebas berhembus masuk," sahut Yuni memberitahu pendapatnya.

"Iya ya Non. Dingin juga udara pagi ini. Menusuk tulang."

Yuni cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan hiperbola Komkom serta tingkah aneh Yudi yang mandi di kamar mandi bawah. Pikiran buruk pun hinggap di otak Yuni.

--Jangan-jangan Yudi jadikan Komkom kekasih simpanan sehingga tadi mereka tidak tampak canggung. Bodo amat deh sama urusan mereka. Yang penting aku bisa sarapan gratis--

Buru-buru Yuni menghabiskan nasi goreng yang masih tersisa dipiringnya sebelum rekan kerjanya mulai berdatangan.

Gawat kan kalau mereka tahu Yuni penyuka gratisan. Tentu saja Yuni mesti menjaga image baiknya. Yuni juga takut nanti rekan kerjanya enggan mentraktir dirinya bila ada acara bila mereka tahu kalau Yuni tidak bakal menolak ajakan mereka.

Sementara itu, Yudi bergegas memakai pakaiannya. Dia ingin segera turun ke dapur bawah untuk sarapan bersama Yuni. Tapi nasib kurang berpihak pada Yudi karena saat Yudi tiba di dapur, sosok Yuni sudah tidak ada di kursi yang tadi diduduki. Mbak Komkom juga sibuk mengelap kompor yang bekas dipakai untuk memasak. Di atas meja tersaji satu piring nasi goreng yang tentu merupakan sarapan Yudi.

Komkom masih berdiri membelakangi Yudi jadi wanita itu tidak menyadari keberadaan Yudi di dapur.

Tapi saat mendengar teriakan 'pedas', Komkom memutar tubuh kemudian matanya terbelalak lebar melihat bosnya kepedesan.

"Maaf Pak bos. Pedas ya nasi goreng buatan Komkom? aneh ya padahal Komkom tidak memakai cabe saat memasak. Kok pak bos bisa kepedasan," tanya Komkom dengan wajah heran.

Baru saja Yudi hendak menegur kelalaian Komkom dan ternyata memang bukan kelalaian yang Komkom sebabkan melainkan ulah iseng dari pegawai barunya.

Yudi meraih gelas air putih di atas meja yang masih tersisa sedikit air. Dia sudah kepedasan dan butuh air untuk menetralisir rasa pedas dalam mulutnya.

"Lah, jangan pakai gelas itu Pak bos. Itu bekas Non Yuni tadi. Biar Komkom ambilin gelas baru."

Air sudah ditelan Yudi dan rasa pedas masih terasa dimulutnya tapi Yudi tidak marah atas apa yang dialaminya pagi ini. Yudi malah tenang mendapat kejutan keisengan yang dibuat Yuni.

Bibir Yudi membentuk senyum tipis.

-------

"Yun, makan siang bareng yuk," ajak Silvi mengetuk pinggir meja kerja Yuni.

Dari setengah jam yang lalu, Yuni sudah menanti ajakan Silvi seperti hari kemarin. Hari ini tentu Yuni bakal menerima ajakan Silvi.

"Oh iya sudah jam makan siang ya," Yuni bertingkah seolah sangat sibuk mengurus orderan.

"Iyalah. Makanya jangan kerja terus sesekali tengok jam di komputer. Ayo kita pergi makan."

Andai Silvi orang yang cermat maka wanita itu pasti menyadari kalau meja kerja Yuni sudah rapi dari berkas-berkas surat pesanan. Tapi Yuni masih bertingkah laku merapikan kerjaannya.

Tak sampai lima menit, Yuni sudah mencangklong tas kerjanya.

Silvi yang melihat Yuni membawa tas tentu merasa heran. Silvi sendiri tidak pernah membawa tasnya saat pergi makan siang.

"Tidak usah bawa tas. Taruh saja tas kamu di laci," tegur Silvi meminta Yuni menanggalkan tas.

"Tapi aku takut ada yang menghubungi."

Yuni memberi alasan atas tindakannya yang dia karang sendiri.

"Siapapun yang menelepon pasti paham kalau kamu sedang makan siang jadi mereka akan menghubungi kamu kembali."

Silvi memberikan argumen logis yang membuat Yuni tidak bisa membantah lagi.

Belum pernah Yuni meninggalkan tas kerjanya saat dia tidak berada di ruangan untuk waktu yang cukup lama seperti pergi makan siang. Tapi mendengar larangan Silvi, Yuni menuruti saja omongan rekan kerjanya daripada membuang waktu istirahat.

Yuni melepas tas dipundaknya lalu memasukkan tas kedalam laci.

"Ayo pergi," ajak Yuni setelah menyelesaikan urusan tasnya.

Mereka berdua melangkah beriringan keluar dari ruangan untuk turun makan siang di lantai bawah.

-----