[Kamu serius, Cha? Kalau ternyata nanti aku tidak bisa melupakan Melia, bagaimana? Aku takut menyakiti kamu, Cha.] Arga memberanikan diri untuk bertanya. Setidaknya, semua akan lebih jelas jika dibicarakan dari awal. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi.
Mikha yang sedari tadi memang menunggu balasan pesan dari Arga, segera membaca pesan tersebut. Dia merasa lega karena ternyata Arga tidak marah, bahkan masih ada peluang yang terbuka untuk dirinya. Minimal, Arga sudah mau mencoba untuk membuka diri dan hatinya untuk gadis yang lain. Itu saja sudah lebih dari cukup bagi gadis itu.
[Nggak papa, Ga. Kita coba jalani aja dulu. Masalah nanti gimana, ya dipikir nanti saja. Aku janji, aku akan melepaskan kamu dengan ikhlas jika memang kamu tetap tidak bisa melupakan Melia. Bahkan kalau perlu, aku akan mendukungmu dengan dia.]
Mikha sudah menyiapkan hati sejak awal. Dia akan mencoba untuk melakukan yang terbaik bagi Arga. Kalaupun ternyata mereka memang tidak berjodoh, dia tetap akan menjadi sahabat Arga. Bagi Mikha, pacaran itu hanya sebuah upaya untuk naik level saja. Jika ternyata gagal, maka dia akan kembali ke level sebelumnya. Sebuah konsep yang teramat sederhana.
[Besok pulang dari kampus kita jalan-jalan, sekalian kita bicara dengan lebih jelas, ya.] Arga merasa tidak puas jika hanya berbincang via pesan WA. Lebih baik mereka bertemu langsung agar jelas semua hal.
[Oke. See you tomorrow.] Mikha membalas sambil tersenyum.
Keesokan harinya, selesai perkuliahan, Arga dan Mikha menuju ke salah satu mal di Yogyakarta. Bukan mal besar karena mereka hanya ingin berbincang, bukan berbelanja. Lagi pula, Arga juga tidak terlalu suka tempat ramai. Dia merasa lebih nyaman ketika berada di tempat sepi atau tidak terlalu padat pengunjung.
"Kamu mau makan di mana?" Arga memberi kesempatan pada Mikha untuk memilih tempat yang nyaman.
"Kafe O, nggak terlalu padat. Nyaman untuk kita ngobrol-ngobrol," jawab Mikha dengan cepat.
"Oke. Kita ke sana."
Kafe dengan nuansa hitam, tetapi tidak menyeramkan ataupun suram. Penataan perabot dan aksesoris di kafe itu benar-benar pas, terlihat sangat elegan. Meja dengan empat kursi tampak di bagian tengah ruangan, sementara meja dengan sepasang kursi tersedia di tepi ruangan. Tampak mengelilingi seluruh ruangan. Pengaturan yang cermat dan teliti. Jadi, tidak boros tempat ketika pengunjung hanya datang berdua saja.
"Duduk di dalam aja, Ga. Enak, adem kena AC," ajak Mikha.
"Oke." Arga mengikuti langkah Mikha.
Tiba di dalam, mereka langsung memesan makanan serta minuman. Kafe ini memang langsung pesan, bayar, dan membawa sendiri ke meja yang kita pilih. Trend jaman sekarang.
"King mango, less ice, sama red velvet. Kamu apa, Ga?"
"Aku teh leci panas aja, sama ...." Arga sibuk mengamati roti dan kue di etalase samping kasir. "Tiramizu."
Petugas kasir menyebutkan ulang pesanan mereka.
"Ini aja, Cha." Arga mengulurkan selembar uang ratusan ribu. Kalah cepat. Mikha sudah lebih dulu menyerahkan uang pada kasir.
"Lain kali aja. Sekarang, biar aku yang bayar." Mikha tersenyum.
Setelah menunggu tidak sampai lima menit, semua pesanan sudah tersedia di sebuah nampan. Pelayanan cepat. Arga dengan tangkas mengambil nampan itu dan mengikuti Mikha ke arah meja paling ujung. Kebetulan sekali.
Walau kata orang pojok adalah tempat setan, toh pada kenyataannya, banyak orang merasa nyaman di sana. Berada di ujung atau sudut ruangan, memungkinkan pembicaraan tidak banyak didengar orang. Lebih mampu menjaga privasi. Itu alasan orang lebih memilih tempat di pojok.
"Jadi, gimana rencana kita, Cha?" Arga mulai membuka percakapan sembari menikmati roti mereka.
"Kita coba jalani, memandang satu sama lain sebagai pria dan wanita. Bukan sebagai teman atau sahabat," jawab Mikha. Dia berusaha tampak tenang, walau hati sebetulnya tidak karuan.
"Maksudmu, kita jadian, gitu?"
"Aku nggak mau."
"Lah, terus?" Arga terlihat bingung.
"Kalau kita jadian, itu artinya ... suatu saat ada kemungkinan putus kalau ternyata kamu nggak bisa lupain Melia." Mikha menjeda ucapan sesaat, berusaha menenangkan diri.
"Terus?"
"Lebih baik kita HTS aja. Hubungan Tanpa Status. Kalau suatu saat nanti kamu sudah yakin dengan perasaanmu, misal ... ini misal, kamu milih aku, ya tinggal bilang aja. Baru kita jadian."
Arga terdiam. Dia berusaha untuk mencerna kalimat Mikha.
"Kalau ternyata aku tetap nggak bisa lupa sama Melia, berarti kita nggak perlu putus. Toh, kita memang nggak jadian. Dengan gitu, nggak akan ada yang terluka. Begitu maksud kamu?"
"Yes. Tepat sekali," jawab Mikha sembari menjentikkan jari, tepat di depan wajah Arga.
Bukan tidak terluka, Ga. Setidaknya aku tidak terlalu terluka jika memang kamu tetap memilih gadis itu dibandingkan aku. Putus, lalu ditinggalkan, itu rasanya seperti dicampakkan, batin Mikha.
"Ide brillian, Cha. Aku setuju." Arga sangat bersemangat. "Biar waktu yang membuktikan. Aku bener-bener cinta sama Melia atau hanya sebatas obsesi cinta pertama."
"Hehehe. Iya, Ga. Tapi kalau sewaktu-waktu aku ketemu cowok dan jatuh cinta sama dia, aku tinggalin kamu."
Apa mungkin? Batin Mikha bergejolak, menentang ucapannya sendiri.
"Kalau kamu nggak mau kehilangan aku, ya jangan lama-lama memastikan hatimu," sambung Mikha.
Arga tersenyum dan mengangguk. Dia bukan tidak tahu bahwa Mikha sebetulnya jatuh cinta sejak awal mereka saling mengenal. Arga hanya berusaha pura-pura tidak tahu.
Mikha gadis yang baik dan mampu membuat dia merasa nyaman. Karena itu, berdrama bahwa dia tidak paham dengan perasaan Mikha, terpaksa harus dilakukan agar bisa tetap bersahabat dengannya. Arga tidak ingin melukai Mikha.
"Aku akan berusaha untuk sungguh-sungguh membuka hatiku untuk kamu, Cha. Aku juga akan bersungguh-sungguh untuk belajar mencintai kamu. Tapi misal semua itu gagal, aku benar-benar minta maaf. Jangan sampai kamu sedih, itu yang kuharapkan."
"Aku kuat, Ga. Kamu kan tahu itu. Nggak bakal aku sedih." Mikha berusaha untuk meyakinkan Arga ... dan dirinya sendiri. Dia harus baik-baik saja, apa pun yang terjadi nanti.
"Wait." Mikha menepikan makanan dan minumannya. Dia lantas mengambil binder kuliahnya. Dia menulis sebuah perjanjian. "Nanti aja bacanya. Tunggu selesai kutulis."
"Oke." Arga meraih ponselnya. Mulai berselancar, membaca beberapa artikel untuk membunuh waktu sembari menunggu Mikha menyelesaikan tulisannya.
Setelah hampir sepuluh menit, Mikha menyodorkan binder itu ke Arga.
"Tambahin kalau ada yang kurang," katanya.
"Aku baca dulu, ya." Arga menerima binder itu lalu mulai membaca. Dia tersenyum membaca pasal demi pasal dalam perjanjian itu. Mikha benar-benar menuliskan dengan detail tentang kesepakatan mereka. Hubungan Tanpa Status alias HTS, tidak boleh ada yang terluka, tidak boleh membenci dan memutuskan silaturahmi. Jika menemukan orang lain yang mampu meluluhkan hati, maka boleh menanggalkan HTS ini kapan pun. Tetap menjadi sahabat dan saudara, apa pun yang terjadi nanti adalah bunyi pasal terakhir perjanjian itu.
"Aku setuju semua. Kurasa cukup. Aku nggak ada tambahan ataupun pengurangan," kata Arga.
"Kalau gitu, kita tanda tangan sekarang. Kamu duluan." Mikha mengulurkan pena.