Gadis itu terisak pelan, air mata telah membasahi bantal yang dipakainya. Hari sudah larut malam tapi perasaannya semakin kacau. Keira membenci hal ini, diperbudak oleh perasaan yang tak diketahuinya. Marah, kecewa, sakit hati, ataupun penyesalan akibat harinya yang buruk. Sekuat tenaga gadis itu mencoba tegar. Menjalani harinya dengan sebaik mungkin. Namun hasilnya tetap sama. Keira kembali merasa tak puas. Orang lain telah berjalan jauh di depan, tapi kenapa dia merasa masih diam di tempat.
Cukup lama Keira bergelut dengan perasaannya. Hingga getaran ponsel menyadarkannya. Sebuah notifikasi yang menyatakan bahwa sang idola-Austin- sedang melakukan siaran langsung.
Gadis itu menyeka air matanya, dia mengubah posisinya dari tidur telentang menjadi miring. Jemarinya menekan notifikasi tersebut, mulai mengikuti acara siaran langsung sang idola, berharap agar perasaannya teralihkan dan dia dapat tidur sedikit lebih tenang malam ini.
Wajah tampan Austin kini menghiasi layar ponselnya. Gadis itu hanya bisa diam memandangi, dia tak mengerti apa yang sedang idolanya katakan karena keterbatasan bahasa yang mereka miliki.
Air mata itupun kembali mengalir, kenapa sulit sekali mengalihkan perhatiannya.
Keira mengubah kembali posisinya menjadi telentang dengan ponsel masih dalam genggamannya. Membiarkan air mata mengalir dari ujung mata membasahi telinga, rambut dan berakhir di bantalnya.
Jemari lentik gadis itu mulai mengetik sesuatu di kolom komentar. Keira memutuskan untuk berkomentar dengan bahasa global, tak perduli apakah komentarnya akan dibaca oleh Austin atau tidak. Dia hanya ingin mengeluarkan isi hatinya
'Aku kacau hari ini, bisakah kau datang dalam mimpiku untuk memelukku?'
Setelah mengetiknya, gadis itu tanpa ragu menekan tombol kirim. Air matanya kembali meluncur, namun kali ini lebih deras.
"Tidurlah, aku akan datang ke mimpimu untuk memelukmu." Tutur pemuda itu dengan bahasa global yang sedikit kaku. Austin membalas pesannya, pemuda itu memberikan tanggapan akan komentarnya. Hal itu semakin membuat perasaan Keira semakin kacau.
"Jangan membuat janji yang tidak bisa kau tepati, itu akan membuatku semakin merasakan sakit." Gumam sang gadis dengan terbata. Keira memutuskan untuk mematikan ponselnya, tak perduli jika siaran langsung tersebut masih belum selesai.
Gadis itu melemparkan asal ponselnya ke sisi ranjang yang kosong, memiringkan tubuhnya untuk memeluk erat guling, menumpahkan kembali air matanya hingga dia merasa lelah.
Lembut usapan pada surai gadis itu membuatnya sedikit tersentak, namun Keira menolak untuk mengubah posisi. Masih bergeming dalam posisi memeluk guling. Usapan itupun berhenti digantikan dengan ranjangnya yang bergerak ringan. Seseorang tengah ikut membaringkan diri di sisi kosong ranjang, tepat di belakang sang gadis. Sebuah lengan kokoh melingkari perut sang gadis. Seseorang memeluknya dari belakang.
"Kau sudah berusaha keras, terima kasih telah bertahan. Tidurlah nyenyak malam ini, karena aku akan memelukmu."
Suara ini, suara milik Austin, idolanya yang mungkin tak akan pernah bisa dia gapai. pemuda itu menepati janjinya, ia datang.
Keira membuka matanya, hal pertama kali yang Dia lihat adalah gelap kamarnya dengan sorot cahaya rembulan yang memasuki kamar melalui celah yang ada.
"Nyatanya kau memang menepati ucapanmu, entah memang sengaja atau tidak, kau benar-benar datang dalam mimpiku, memberikan pelukan serta kalimat penenang yang mungkin akan sangat kuharapkan untuk kudengarkan. Jika seperti ini, akan semakin sulit bagiku untuk mengontrol rasaku terhadapmu. Aku tak tahu, kau seolah tak memberikan jalan untukku berhenti, aku masih tak menemukan jalan keluar untuk segala rasaku terhadapmu, dan hal itu membuatku merasakan rasa sakit yang semakin tergores dengan sempurna. Terima kasih atas rasa bahagia dan rasa sakit yang kurasakan di waktu yang sama."