Chapter 2 - 01

Keira Alata berjalan di tengah gelapnya malam. Gadis berusia 19 tahun itu baru saja selesai bekerja di sebuah kedai makan yang cukup terkenal di kota itu. Berjalan seorang diri di malam yang sepi bukan hal yang baru bagi Keira. Gadis itu terlampau biasa dengan kesendirian.

Kota yang kini dia tinggali bukanlah kota dimana dia dilahirkan. Setahun yang lalu, tepat setelah kelulusannya dari sekolah menengah atas, Keira langsung pergi meninggalkan rumah. Dengan berbekal uang yang dia kumpulkan dari kerja paruh waktu yang dia lakoni, akhirnya Keira sampai di kota ini. Keluarganya? entahlah, Keira bahkan tidak yakin kalau keberadaannya masih diinginkan oleh mereka. Selama setahun inipun tak ada tanda-tanda kalau mereka mencarinya.

Keira membuka pintu flatnya. Iya, dia tinggal di sebuah flat sederhana yang memiliki harga sewa rendah. Tempat tinggalnya itu berada di lantai 3, hanya berupa ruangan sepetak dengan tambahan sebuah kamar mandi dan dapur kecil di dalamnya. Namun, Keira mampu membuat flat itu jauh lebih nyaman daripada tempat tinggalnya sebelumnya.

Setelah masuk dan kembali mengunci pintu flat, gadis dengan mata bulat menggemaskan itu meletakkan tasnya di atas meja dan langsung membersihkan tubuhnya. Mandi di tengah malam sudah menjadi rutinitas yang tidak bisa gadis itu lewatkan.

Lima belas menit kemudian, Keira sudah bergelung di atas kasur lantai miliknya dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Posisinya sudah terlewat nyaman untuk segera menyapa alam mimpi tapi Keira masih ingin memainkan ponselnya. Dia rindu pada Austin, idolanya dari negeri seberang.

Austin Grey, lima tahun lebih tua dari Keira, begitulah yang media katakan. Pemuda rupawan dengan segudang talenta yang dimiliki. Austin merupakan seorang penyanyi solo yang namanya sedang berada pada puncak kesuksesan akhir-akhir ini. Pemuda itu terkenal dengan kepribadian hangat dan sikap ramahnya pada semua orang. Meski namanya sering disebut di sana sini, tapi tak membuat pemuda itu mengubah dirinya. Austin tetap sama seperti sebelumnya. Austin tetap solois yang rendah hati dan dicintai oleh banyak orang.

Keira mengenal Austin dari ketidaksengajaannya menonton sebuah iklan yang muncul di salah satu situs web berbagi video. Entah atas dasar apa, alih-alih melewati iklan itu, Keira justru tertarik dan mencari tahu hingga berakhir mengidolakan pemuda itu. Kini dia sudah hampir satu tahun menjadi penggemar Austin dan mengenal Austin sejauh apa yang dia temukan dari ponsel pintarnya. Meski kesulitan dalam mengidolakan Austin karena perbedaan bahasa yang mereka pakai, tapi Keira tidak bisa berhenti untuk mengidolakan Austin.

Tak ada kabar terbaru dari pemuda itu, belum ada. Biasanya Austin akan menyapa para penggemarnya di platform komunitas, tapi hari ini sepertinya Austin sibuk, karena tidak ada satupun pesan yang pemuda itu bagikan di sana.

tok.. tok.. tok..

Ketukan di pintu flat Keira membuat Keira mengerutkan kening.

'siapa yang mengetuk pintu flatku malam-malam?' batin Keira bertanya bingung.

"Keira.. kau di dalam?" tanya seseorang dari luar. Suara pemuda yang terdengar familiar di rungu gadis itu.

Keira bangkit dari posisi nyamannya. Gadis itu berjalan ke arah pintu, menyempatkan mengintip siapa pelaku yang tengah mengetuk pintu flatnya malam-malam dari jendela di samping pintu.

seorang pemuda tengah berdiri membelakangi pintu, sepertinya ia sedang membalas sebuah pesan di ponselnya. Meski Keira tak dapat melihat wajah orang itu, tapi dari perawakannya, familiar bagi Keira.

Gadis itu akhirnya memilih untuk membuka pintu. Keira tak khawatir jika seseorang itu adalah orang yang memiliki niat buruk, karena gadis itu memiliki keahlian bela diri yang cukup mumpuni.

Suara pintu yang terbuka membuat pemuda itu berbalik.

"ah.. akhirnya kau membuka pintu, mari pulang."

Belum sempat Keira melihat dengan jelas pemuda itu atau sekedar bertanya siapa dia dan kenapa mengetuk pintu flat Keira malam-malam, tangan kiri Keira sudah digenggam dan ditarik lembut untuk mengikuti langkah pemuda itu.

Kini Keira berada dalam kebingungan. Otaknya berhenti bekerja dan dia malah mengikuti langkah pemuda itu yang semakin menjauhi pintu flatnya. Mereka tengah berjalan dengan si pemuda yang memimpin jalan dan tangan kanan sang pemuda menggenggam lembut tangan kiri Keira. Tangan pemuda itu terlihat pas menggenggam tangan Keira.

"Hei.. kita mau kemana? kau menarikku kemana?" Keira menatap punggung pemuda yang tengah menariknya. Akhirnya otaknya kembali bekerja setelah mereka berjalan terlalu jauh. bahkan kini mereka telah sampai di lantai dasar bangunan itu.

"Pulang, aku sudah mengatakannya tadi 'kan?" Pemuda itu menjawab tanpa menoleh.

"Tapi aku sudah berada di rumah, pulang kemana lagi?" Keira masih bertanya, kakinya masih saja mengikuti kemana pemuda di depannya ini membawanya.

"Pulang ke rumah kita." jawab pemuda itu tenang.

'rumah kita' Keira mengulangi ucapan pemuda itu dalam hatinya.

'rumah kita'

'rumah kita?'

'kita?'

"Hah? rumah kita?!" Gadis itu menyentak tangan kirinya cukup kuat, membuat genggaman pemuda itu terlepas. Hampir saja dia berteriak saat mengatakan kalimat itu.

Mereka menghentikan langkah mereka. Keira sadar bahwa kini dia telah berada di luar gedung flatnya, tepat di koridor jalan.

Keira sedikit menggigil karena rasa dingin yang menerjang tubuhnya. Keira hanya memakai baju tidur yang tergolong tipis. sedangkan pemuda di depannya terlihat hangat dengan hoodie tebal yang dipakainya.

Pemuda itu membalikkan badan untuk menatap Keira. Namun, gadis itu masih tidak bisa melihat jelas siapa pemuda di depannya.

Penerangan yang temaram akibat posisi mereka yang jauh dari lampu jalan serta tudung hoodie yang pemuda itu pakai membuat tangkapan netra Keira tak maksimal.

"Iya rumah kita, aku menjemputmu untuk kembali pulang ke rumah kita."

Keira semakin tak mengerti dengan ucapan pemuda itu. "Omong kosong macam apa ini?"

"Bukan omong kosong, sayang. Kita hampir mencapai mobilku yang kuparkir di ujung jalan ini. Kau akan semakin kedinginan jika kita terus berdiam di sini." Pemuda itu hendak menggenggam kembali tangan Keira, tapi gadis itu menolak. Dia mundur selangkah untuk menghindari si pemuda.

"Kau memanggilku apa? sayang?" tanya Keira memastikan pendengarannya. Persetan dengan rasa dingin yang semakin menusuk kulitnya. Dia ingin tahu siapa pemuda ini.

"Iya, sayang. Apa aku salah?" pemuda itu bertanya ragu.

Keira menghela nafasnya dalam. Dia harus akhiri ini segera mungkin dan kembali ke flatnya.

Keira mendongak untuk menatap pemuda itu. Tinggi badan mereka yang berbeda membuat Keira harus mendongak untuk bisa menatap wajah pemuda itu.

"Kau, siapa? kenapa aku harus ikut denganmu? dan kenapa kau memanggilku sayang?" tanya Keira bertubi.

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan cincin yang tersemat di jari manisnya. "Lihat tangan kananmu, tepat di jari manismu." perintah si pemuda.

Keira langsung mengikuti apa yang pemuda itu katakan. Sebuah cincin yang sama dia temukan di jari manisnya, yang membedakan hanya pada hiasan tambahan di cincin itu.

si pemuda melangkah mendekat, memangkas jarak yang ada diantara mereka. "sudah mendapatkan jawaban?" tanya pemuda itu. nada bicaranya masih lembut sama seperti sebelumnya.

Keira kembali mengalihkan pandangannya pada wajah si pemuda. Tangan pemuda itu bergerak untuk menurunkan tudung hoodienya.

"K-kau.." Ucap Keira terbata, semua yang nampak di depannya sungguh tidak masuk di akal.

Pemuda itu tersenyum, "Iya, ini aku. Austin Grey. Suamimu."

.

.

.

Deru nafas Kiera terdengar begitu acak. Gadis itu terengah-engah. Masih dalam posisi berbaringnya, dia mengangkat tangan kanannya. Matanya menyapu ke jari manisnya. Masih kosong, tidak ada cincin di sana.

"Hanya mimpi, tapi kenapa terasa senyata ini?"

-bersambung-