Terbaring lemas gadis bertubuh ramping memakai pakaian rumah sakit.
Sendiri di keheningan malam, di dalam ruangan bercat putih selang infus menancap di tangan kiri.
Kebahagiaan yang sementara, kini berbalik menjadi kepedihan yang mendalam.
Sementara di ruangan lain, seorang dokter pria paruh baya tengah sibuk melihat dengan teliti pasien dengan luka di kepala namun belum juga sadar.
"Pasien mengalami kehilangan penglihatan akibat dari benturan yang sangat keras," Tutur dokter kepada tiga orang perawat yang mendampinginya.
Pukul 01.00 AM.
Untuk sekedar membuka mata masih terasa sulit.
Perlahan Farra membuka matanya, sebuah lampu di kamar rawat inap adalah benda yang pertama kali ia lihat.
Farra mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, hal yang membuat dia berada di ruang rawat dan mengalami traumatis.
"Tunggu… Tidak mungkin, pasti tadi aku cuma mimpi," Batinnya sendirian.
Air matanya turun deras membasahi kedua pipinya, seakan tak percaya dengan musibah yang baru saja menimpa dirinya.
Dengan kaki yang masih saja gemetar, gadis itu berusaha turun dari ranjang dan melepas selang infus yang menancap di lengan kiri dengan paksa hingga setetes darah segar mengalir namun tak menghiraukan.
Tubuh gontai dan kaki gemetar tak membuatnya gentar, gadis itu berusaha melangkahkan kaki dengan cepat, mencari keberadaan kakaknya.
Berjalan gelisah menelusuri gedung Rumah Sakit, menilik pintu kaca dari satu ruangan ke ruangan lainnya.
Perasaan gusar terus saja mengikuti langkah kemanapun dia pergi.
Setelah berputar, ia kedapatan bertemu dengan polisi yang berjaga di depan UGD.
"Pak, dimana kakak saya?" Tanya Farra dengan mulut bergetar. Semua mata memandang Farra iba, namun ada yang menghiraukan saja.
"Mba tenang saja, semua akan baik-baik saja," ujar polisi dengan badan tegap sedikit gemuk.
Farra memohon lirih, perasaan tak tenang jika belum mengetahui keadaan Kevin.
"Saya harus lihat kakak saya, Pak," Pintanya.
Pak polisi akhirnya tak tega melihat kondisi Farra yang kalang kabut. "Baik, mari saya antar," Ajaknya.
Menuju ruang ICU, Farra bertemu dengan perawat yang mengurusnya tadi "loh mba kenapa keluar? Mba masih butuh perawatan."
"Enggak usah, Sus. Saya udah gak apa-apa. Yang terpenting sekarang adalah kakak saya. Permisi," Farra pun pergi mendahului suster, mengikuti langkah kaki pak polisi.
Gadis itu menangis tanpa henti tepat di depan ruang ICU, menyaksikan wajah pucat dengan banyak alat medis yang ia tak tahu apa namanya menempel di tubuh Kevin. Tangisnya pecah, hatinya tak tenang lalu tenggelam dalam kesedihan.
Setelah beberapa jam setelah pemeriksaan, dokter keluar memberi kabar mengejutkan.
"Pasien mengalami kritis, terjadi pendarahan di organ dalam," tutur dokter.
Kepala Farra langsung berdenyut, jantung melemah seakan bakal berhenti, menghentakkan badan ke tembok dekat pintu lalu duduk jongkok.
Malam seperti terlalu lelah untuknya.
Rembulan pun terlihat kelabu.
Hampa seperti terlalu sepi, dan semakin menjadi kosong.
Dingin pun seakan memeluk, bergumam diatas diam dan resah.
"Ya Tuhan, saya bukan manusia sempurna, tapi tolong selamatkan kakak saya."
Perasaan takut menerobos dada, ditinggal oleh Kevin adalah ketakutan terbesar dalam hidupnya. Ia tak bisa membayangkan jika harus hidup sebatang kara.
Setelah tengah malam, Farra merasa kantuk. Ia mengangkat pantatnya dari kursi, berjalan menuju ruangan senyap bersuhu rendah tempat pertama kali tersadar. Matanya kembali terjaga, mencari handphone di dalam tas. Berusaha menghubungi teman dekatnya di kampus, Erika.
Tubuhnya menggigil, netra sudah terasa mengantuk tapi tubuh enggan untuk tertidur.
***
Pagi sudah tiba, saatnya Kevin diperiksa kembali. Dokter mengecek kelopak mata yang masih terpejam namun belum ada tanda-tanda kondisi membaik.
Diluar, Farra gelisah menunggu kabar dari dokter, raut khawatir tak pernah lepas dari wajahnya.
Tiba-tiba Erika datang bersama Alden, keduanya ingin menanyakan kabar Farra dan kakaknya.
"Gimana, Ra?" Tanya Erika saat pertama datang.
"Ini lagi nunggu diperiksa dokter, Er. Alden ikut juga?" Tanya Farra.
"Iya tadi pengen ikut tau kalo lo abis kecelakaan," sahut Erika.
"Emm.. Lo gapapa kan, Ra?" Tanya Alden memulai pembicaraan.
"Gue gapapa, yang terpenting sekarang adalah kakak gue sadar dulu."
Tak berapa lama dokter datang,
Farra buru-buru menghampiri.
"Bagaimana kakak saya, dok?"
"Sepertinya tidak akan lama lagi," tutur dokter.
"Maksud dokter apa? Gak lama lagi Kakak saya sadar, kan?" Tanya paksa Farra.
Dokter hanya menggelengkan kepala, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga begitu saja.
Tubuh Farra seketika lemas, lututnya tersungkur di lantai. Bulir bening menetes cepat dari ujung mata.
"Yang sabar Ra, apapun yang terjadi, gue yakin lo kuat," ujar Alden.
"Iya bener kata Alden, Ra. Kita pasti bantu lo, apapun yang terjadi," timpal Erika.
Farra dan Erika memang sudah bersahabat sejak SMA. Sementara Alden adalah teman satu jurusan, sepertinya Alden menyimpan rasa lebih kepada Farra.
Mengingat selama ini Alden banyak membantu ketika Farra mengalami kesulitan.
***
Seminggu berlalu, Farra melalui hari-harinya di rumah sakit. Menunggu kakaknya keluar dari masa kritis.
Pada hari itu, Farra masuk ke ruang ICU tempat kakaknya dirawat, mengenakan pakaian steril yang disiapkan oleh rumah sakit.
Ketika di depan Kevin, tangis Farra pecah.
"Kak, udah seminggu. Kakak nggak kangen sama aku?" Duduk di samping lalu memegang tangan Kevin.
"Aku kangen banget, Kak. Kakak satu-satunya yang aku punya, hiks… hiks… "
Melepas genggaman, menutup mata lalu berusaha mengusap air mata.
Tangan Kevin bergerak, membuka mata pelan. Sepertinya Kevin bisa merasakan yang Farra rasakan. Farra terkejut melihat hal itu, lalu bergegas memanggil dokter.
"Dok, Kakak saya sadar."
Dokter serta perawat bergegas masuk ke ruang ICU.
"Permisi Nona, tolong keluar dulu biar saya periksa."
"Baik, Dok."
Ketika Dokter memeriksa, Kevin berusaha berbicara walaupun terlihat sulit.
Yang terpikir untuk pertama kalinya adalah kerugian material akibat kecerobohan dirinya.
"Dok, bagaimana keadaan mobil... yang saya tabrak?" Tanyanya dengan suara pelan dan sedikit kesulitan.
"Pengendara mengalami kehilangan penglihatan penuh, kalau keadaan mobil saya tidak tahu karena bukan wewenang saya," tutur dokter.
Dengan terbata-bata, Kevin bertanya tentang keadaannya saat ini,
"Lalu bagaimana kondisi saya… Dok?"
"Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa usia Anda tidak akan lama lagi."
Dengan nafas berat, Kevin memohon kepada Dokter,
"Tolong izinkan saya untuk bertemu dengan... pasien itu, Dok."
Dokter melirik ke arah suster, memberikan isyarat yang tidak diketahui oleh Kevin.
"Mohon maaf pak, harus ada alasan logis untuk bertemu dengan pasien," tutur suster.
"Saya mohon, tolong izinkan saya, saya ingin meminta maaf untuk yang terakhir kalinya," Pinta Kevin.
Suster berpikir cukup lama. Namun, Kevin terlihat sudah tak sabar mendengarkan jawaban dari suster berkacamata itu.
"Baik, saya akan meminta izin dulu kepada pasien," ujar suster setelah sekian lama.
Kevin masih diberi kekuatan untuk melihat, bernafas, dan berbicara di sisa-sisa akhir hidupnya.
Semua itu bukan tanpa arti.
Hanya ingin memastikan Farra berada di tempat yang aman setelah dia pergi.
Tubuh Kevin bergetar, tak bisa berbuat apa-apa. Air matanya menetes deras seiring dengan pikiran yang semakin kacau oleh sakit yang diderita.
Mengapa ini begitu sakit dan sangat menderita rasanya?
Layaknya mentari yang kini kian meredup, hanya waktu yang bisa menjawab.