Di sekolah.
"Bunga!"
Seseorang memanggil namanya, tak salah lagi suara itu memang tidak asing bagi Bunga.
"Lidia?"
"Tumben sekali kamu berangkat pagi?" tanya Bunga heran. Biasanya, Lidia memang datang ke sekolah, sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi.
"Huft, seperti biasa orang tuaku. Pagi-pagi saja, mereka bertengkar. Aku pusing mendengar mereka bertengkar seperti itu. Yah, lebih baik aku berangkat lebih awal saja, supaya tidak mendengar dan melihat mereka bertengkar," jawab Lidia masih sedikit kesal.
Lidia memang anak orang berada. Namun, kehidupan rumah tangga orang tuanya tidak baik-baik saja. Keduanya selalu terlibat dalam perdebatan dan memicu keributan di rumah. Sehingga, Lidia selalu saja tidak betah di rumah. Lidia sendiri pernah mengatakan, bahwa dirinya ingin sekali mondok jika dirinya adalah seorang muslim.
"Kamu yang sabar, yaa …." ucap Bunga, mengusap bahu Lidia dengan lembut. "Oh, di mana Meitha?" tanyanya.
"Lah, kalian kan satu pesantren. Masa iya sih nggak bareng berangkatnya?" sahut Lidia.
"Tadi kata teman-teman di pondok, dia udah berangkat duluan lebih pagi, Li. Aku langsung nyusul kok, begitu Meitha keluar. Tapi nggak kesusul, kemana dia, ya?" Bunga celingukan mencari sahabatnya itu.
Kriiiinnnggg ...
Bel berbunyi, waktunya belajar mengajar akan segera di mulai. Namun Bunga dan Lidia masih tidak melihat adanya Meitha di depan gerbang. Setelah ada guru yang meminta mereka masuk, terpaksa Bunga dan Lidia meninggalkan gerbang.
"Kenapa Meitha belum datang, ya? Perasaanku sudah mulai tidak enak ini," ucap Bunga dalam hati.
Hingga istirahat dan sudah waktunya pulang sekolah, Meitha pun tak nampak batang hidungnya sama sekali. Bunga jadi sangat khawatir kepadanya. Apalagi, santri lain mengatakan jika Meitha sudah berangkat terlebih dahulu. Pikiran Bunga semakin kacau karena tak jauh dari pesantren, ada berandalan yang selalu mengganggu orang yang jalan di sana.
"Bunga, aku pulang dulu, ya. Supirku sudah menjemputku, entah kenapa supir menjemput. Pasti di rumah masih ada masalah, nih!" pamit Lidia tidak enak hati meninggalkan Bunga sendirian. "Jadi nggak enak hati aku sama kamu," sambungnya.
"Santai saja, aku baik-baik saja, kok. Tidak akan hilang jika hanya sendirian di sini," sahut Bunga dengan candaannya.
"Maaf juga aku tidak nawarin kamu tumpangan. Tapi kan besok paskah, jadi hari ini aku pasti sibuk banget, deh!" seru Lidia kembali meminta maaf.
Sebenarnya, Lidia juga tahu jika Jerry Yan akan menemui Bunga sore itu. Jadi, dirinya sengaja menelpon supir untuk menjemputnya. Alasan orang tua, paskah dan masalah di rumah, memang benar adanya. Tapi Lidia memang ingin sahabatnya itu memiliki kenalan laki-laki yang lain dari sekolahan saja.
"Santai aja, hati-hati yaa__" ucap Bunga
Bunga pun berjalan menuju ke halte dekat sekolah. Di sana, ternyata Jerry sudah menunggunya. Bunga terkejut karena melihat ada pria yang sama kemarin, yang telah membantunya dan katanya yang menelpon semalam. Bunga menghentikan langkahnya, kemudian melanjutkan dengan pelan menuju halte.
"Sore tuan putri," sapa Jerry Yan
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Bunga, menundukkan kepalanya sedikit, kemudian memalingkan wajahnya.
"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarokatuh, tuan putri," jawab Jerry Yan dengan senyuman.
"Lain kali, biasakan mengucap salam jika bertemu dengan seseorang. Kamu muslim, 'kan?" tegur Bunga.
"Iya, aku muslim. Maaf ya, aku memang dari kecil jauh dari didikan agama. Kalau boleh, kamu ajarin aku dong, mengenal agama. Kamu, mah nggak?" lanjut Jerry Yan semangat.
"Kamu harusnya belajar dengan mahramnya kamu. Contoh, Ayah, Ibu, saudara kandung, atau seorang Ustadz," jawab Bunga dengan suara lembutnya.
Jerry Yan hanya tersenyum melihat keanggunan yang dimiliki oleh gadis yang masih duduk di bangku SMA itu. Dia merasa, baru kali itu bertemu dengan seorang gadis yang baru saja bertemu, namun sudah mencuri hatinya dan membuatnya tidak bisa tidur tenang.
"Hem, baiklah tuan putri. Ini, ipod kamu aku kembalikan," kata Jerry Yan, menyodorkan ipod biru milik Bunga.
Ipod itu pemberian dari Abinya 2 tahun lalu. Bunga selalu menjaganya dengan sangat baik. Awal mengetahui jika ipod itu hilang, membuatnya sangat frustasi karena mencari dan tak kunjung ketemu. Tak tahunya, tertinggal di bus dan ditemukan oleh pria yang sudah pernah menolongnya.
"Terima kasih. Um, kalau begitu … Aku permisi. Itu busku sudah datang. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," Bunga langsung masuk bus sesaat bus sudah datang.
Jerry Yan ingin sekali mengantar gadis berseragam putih abu-abu itu pulang. Apa beb buat? Jerry Yan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Bunga.
***
Di pesantren, Bunga akhirnya bisa melihat Meitha sedang menangis di kamarnya. Bunga menjadi bingung dan panik saat itu. Bagaimana bingungnya dirinya seharian tidak bertemu dengan sahabat karibnya. Namun ketika pulang sekolah, malah menemui Meitha dalam keadaan menangis seperti itu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Loh, Mei … Kamu kenapa menangis?" tanya Bunga, langsung menaruh tas sekolahnya sembarangan.
"Jangan sentuh aku, Bunga. Jangan! Aku kotor, aku sudah tidak suci lagi!" seru Meitha, mendorong tubuh Bunga dengan pelan.
"Maksud kamu apa, sih, Mei?" Bunga menjadi semakin bingung dibuatnya.
Bukannya menjawab, Meitha malah terus saja menangis. Bunga menjadi ikut sedih, dia memandangi rok sekolah sahabatnya itu. Di mana serangan sekolahnya sangat kotor dan sobek di bagian dadanya. Bunga juga menemukan ada bercak darah sedikit di bagian belakang roknya.
"Mei, ada apa dengan seragam sekolahnya? Kenapa lusuh dan ada bercak darah seperti ini? Kamu haid?" tanya Bunga. "Mei, jawab aku, dong!" sambungnya sedikit kesal karena Meitha tidak mau menjawab.
Meitha terus saja menangis. Tak tega melihat kesedihan sahabatnya, Bunga pun memeluknya dengan erat. Bunga merasa, jika dirinya memeluk sahabatnya itu, maka Meitha akan merasa nyaman dan mau bercerita.
Setelah beberapa menit, barulah Meitha mau bercerita kepada Bunga jika dirinya mengalami insiden buruk ketika hendak berangkat ke sekolah.
"Aku di lecehkan oleh Mas Angga, Bung," ucap Meitha lirih.
"Mas Angga? Mas Angga siapa? Anaknya Pak Lurah?" tanya Bunga.
Meita mengangguk. Ia sangat terpukul saat itu. Mendengar kisah menyakitkan dari sahabatnya, membuat Bunga tidak tinggal diam. Ia ingin mencari keadilan untuk sahabatnya itu.
"Bunga, kamu mau kemana?" tanya Meitha.
"Kamu baik-baik di sini. Bertaubat sama dan minta petunjuk kepada Allah. Jangan pernah ceritakan kejadian ini kepada siapapun, paham?" jawab Bunga. "Aku pergi dulu!"
***
Sore itu juga, Bunga pun pergi mencari Angga untuk mempertanggung jawabkan atas apa yang ia lakukan. Benar saja, Angga masih ada di tempat dimana yang dikatakan oleh Meitha. Tempat itu adalah tempat yang digunakan Angga menodai kehormatan Meitha, sahabatnya.
"Widih, bidadari dari mana ini? Ada apa gadis manis? Lihat tubuhnya, wuiihhh__" kata-kata menjijikkan itu keluar dari mulut Angga, pria yang telah menodai Meitha.
"Menjijikkan!" teriak Bunga lantang.
"Apa yang sudah kamu perbuat kepada sahabatku itu sudah keterlaluan. Kamu harus tanggung jawab!" sambung Bunga dengan suara gemetar, tanda jika dirinya sedang emosi.
Angga kembali mengingat siapa yang dimaksud oleh Bunga itu. Tak peduli siapa gadis tersebut, Angga pun mendekati Bunga dan hendak melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap Meitha.
"Galaknya adik manis ini. Huft, sabar dong, cantik--" ucap Angga, mencolek dagu Bunga.
"Cihh, jauhkan jarimu itu dariku!" ketus Bunga.
"Apa yang sudah kamu lakukan itu harus kamu pertanggung jawabkan. Kau menjadi sahabatku, kini dia mentalnya terguncang gara-gara kamu!" Bunga menepis tangan Angga yang sebelumnya mencoleknya.
Terlihat, Angga memberi kode kepada dua temannya agar memegang tangan Bunga dan segera menggarapnya. Begitu patuh kedua temannya, hingga mereka segera menahan kedua tangan Bunga dan membentangkan tangannya.
"Lepasin aku!" Bunga meronta.
"Kamu mau merasakan apa yang aku perbuat kepada temanmu, 'kan? Baiklah, aku akan memberikan itu kepadamu. Kenapa malah berteriak? Nikmati saja, cantik," ucap Angga mulai membuka kancing bajunya.
"Apa yang ingin kamu lakukan? Lepaskan aku!" Bunga mulai panik. Ia memang ikut dalam pelatihan bela diri. Namun, tak mungkin Bunga melawan ketiga pria yang saat itu sudah membuatnya tak bisa bergerak.
Ingin berteriak saja, mulut Bunga mulai dibungkam oleh salah satu dari teman anak Lurah tersebut. Ketika Angga membuka bajunya sendiri, gadis manis itu pun memejamkan matanya agar pandangannya tidak melihat ke arah tubuh laki-laki yang belum mahramnya.
"Hey, cantik. Mengapa kau menutup matamu? Coba kau lihat lah," ucapan Angga membuat Bunga semakin jijik. "Hahaha, lihatlah dia. Dia bahkan sama dengan temannya tadi. Sombong sekali dia,"
Kembali Angga mengusap pipi Bunga yang mulus.
"Jangan menyentuhku!" tepis Bunga, memalingkan wajahnya.
"Aku akan lepaskan, tapi kita bersenang-senang dulu, ya, cantik. Um, minimal izinkan aku mencicipimu sebentar saja--" bisik Angga sudah mulai mendekatkan bibirnya ke pipi Bunga.
Namun saat Angga ingin mencium dan meraba dada Bunga, Jerry Yan yang entah datang darimana itu berhasil mencegahnya. Melihat Bunga yang sedang ketakutan, Jerry Yan langsung menarik tangan gadis manis itu. Tak sengaja, membuat Jerry Yan memeluk Bunga.
"Kalian berdua urus yang lain," perintah Jerry Yan.
"Baik, Mas," jawab orang yang berada di belakang Jerry Yan.
"Hey, siapa kamu! Cih, berani-beraninya kamu menganggu kesenanganku!" ketus Angga.
"Maaf jika aku menganggu kesenanganmu ini. Tapi yang kau ajak bersenang-senang ini adalah calon istriku. Jadi aku tidak akan berbagi apapun tentangnya bersamamu," jawab Jerry Yan dengan tenang.
Sontak, ucapan Jerry Yan itu membuat Bunga terkejut. Bagaimana tidak? Pria yang baru ia temui telah menyelamatkan dari pria brengsek seperti Angga.