"Hah ... Prily bukanka kamu tidak punya ayah?" Tanya Angel sambil mengunya makanan yang sudah penuh dimulutnya.
"Tidak, aku punya ayah. Kata ibuku ayahku adalah orang hebat, dia adalah seorang Tentara." Ujar Prily bangga sambil tersenyum melirik Angel yang sedari tadi sudah tercengeng itu.
Angel terjejut karena dia selalu mendengar dari teman-temannya, kalu Prily tidak punya ayah.
"Putriku Diana yang cantik, bagaimana hasilnya kamu pasti juara satu,kan?"
Seorang Wanita yang baru saja masuk bertanya dengan suara keras pada putrinya. Dia berkata sambil melirik sinis siswa dan guru-guru lain.
"Ibu, pemanangnya belum di umumkan." Kata Diana kepada ibunya.
"Oh ... tidak masalah. Ibu yakin kamu pasti Juaranya."
Karena suaranya sangat keras ucapan wanita yang baru masuk itu terdengar jelas di telinga para orang tua serta guru guru TK yang hadir.
Beberapa orang tua murid menatapnya dengan sinis, namun ada juga yang sama sekali tidak peduli dengan wanita itu.
"Ibu, aku belum tentu juara, soalnya gambarku kurang bagus."Ujar Diana spesimis.
Dia merasa gambarnya kurang bagus. Dia belum selesai sepenuhnya karena waktunya yang sangat singkat.
"Hah ...kamu tidak boleh berkata sperti itu, Ibu sangat yakin kamu pasti juaranya." Ujar Wanita itu meyakin kan putrinya.
"Hah, apakah orang ini sangat tidak tau malu, bahkan jika harus memuji anak sendiri, bukankah tidak perluh seyakin itu. Sampai harus yakin dan memastikan kalau putrinya yang akan juara." Kata salah satu orang tua murid mencibir.
Mendengar ada orang yang berani menyela ucapannya, seketika wanita itu geram.
Dia menatap ibu yang mengatainya tak tahu malu dengan tatapan benci.
Saking marahnya dia pun bergegas ke arah Ibu itu dan berkata, "Hei, kamu, apakah ini ada hibungannya denganmu?
Terserah aku mau bicara apa, itu tidak ada urusannya denganmu, kamu urus sajah putrimu yang bodoh itu!" Ucapnya geram sambil melirik anak kecil di depan ibu yang saat ini di maki olehnya.
Ibu yang dimaki itu bernama Mira hendriawan. Ibu dari Sinta, siswa TK Teratai Merah.
Sedangkan wanita yang memaki itu bernama Erna Javari. Ibu dari Diana.
"Apaa?
Wanita itu benar-benar sangat tidak sopan, kata katanya sangat arogan!"
"Iya betul, dia bahkan mengatai anak orang lain bodoh. Icsh sangat tidak beretika juga sangat sombong!"
Sumua hadirin kesal dan berbisik-bisik membicarankan sikap Erna yang di anggap sangat sombong itu.
Tidak ada satupun orang yang senang mendengar kata-kata yang sangat terdengar kasar barusan.
ketika Mira mendengar pihak lain memaki anaknya dan juga mengatai anaknya bodoh seketika marah.
"Hei wanita gila, jaga ucapanmu, kamu boleh saja memaki aku, tapi jangan coba-coba mengatai putriku bodoh!" Geram Mirna sambil menunjuk muka Erna."
Melihat pihak lain berani berkata kasar dan menunjuk wajahnya, Erna juga naik pitam, dia juga tidak mau kalah.
"Hei, kamu wanita tidak tau diri, memangnya kenapa kalau aku bilang anakmu itu bodoh, apa yang bisa kamu lakukan!"
PLAKK!!!
Sebuah tamparan akhirnya mendarat di pipi Erna.
Mirna benar-benar marah dibuatnya.
Tanpa memikirkan konsekuensi, dia langsung menampar wajah Erna yang dia anggap sudah sangat kelewatan itu.
Semua hadirin sangat terkejut dengan tindakan Mirna barusan.
hadirin spontan memegang pipi masing masing.
Mereka merasa ngerih melihat adegan yang terjadi barusan.
Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau Mirna akan bertindak inplusif hingga menampar wajah pihak lain.
Erna yang baru saja di tampar kini terbengong. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Dia tidak percaya pihak lain benar-benar berani bertindak padanya.
Dia baru sadar ketika merasa kesakitan diwajahnya.
Dia pun sangat marah. Dia mendekat mengangkat tsngan menunjuk wajah Mirna dan berjata, "kamu ... kamu berani menamparku! Ucap Erna sambil mengusap wajahnya yang sakit akibat terkena tamparan.
Dia menatap Mirna dengan tatapan membunuh!
Dia tidak terima di tampar dan di permalukan di depan umum.
Tidak ingin dipukul sepihak, Erna mengangkat dan membuka telapak tangannya guna membalas tamparan Mirna tadi.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah panggung menghentikan niat Erna yang ingin menampar pihak lawan.
Tangannya tertahan di udara dan tidak jadi menampar akibat terkejut.
"Ada apa ini?"
"Mohon para ibu-ibu untuk tidak membuat keributan. Ini bisa berakibat buruk bagi anak anak." Ujar juri yang bernama Hermanto itu.
Hermanto merupakan pegawai dan bekerja di kantor Dinas pendidikan dan kebudayaan Kota Amora.
Dia hadir dan menjadi juri atas perintah langsung dari Wali kota Amora.
Karena perlombaan kali ini memang murni di adakan oleh Pemkot Amora, guna memberi semangat dan motifasi bagi anak anak dalam mengembangkan kreatifitas dan moral sosial.
Hanya saja Hermanto tidak menyangkah, orang tua yang seharusnya mendukung dan memberi contoh yang baik, justru memperlihatkan sesuatu yang sangat buruk untuk disimak oleh anak-anak.
Hal seperti ini tentu dapat menjadi pengaruh buruk untuk anak usia dini.
"Pak Hermanto, orang ini lah yang datang dengan tidak sopan. kami awalnya tenang dan baik baik saja dengan para guru dan juga orang tua murid. Tapi sejak ibu ini datang, kami menjadi resah dan tidak tenang." Ujar Mirna mengadu.
"Apa maksudmu dengan mengatakan aku datang mengacau,?" Aku hanya ingin memberi semangat Pada Putriku. Apakah itu salah.?" Ujar Erna menyela tuduhan Mirna.
Dia berkata dengan ekspresi kasian, seolah-olah dialah yang di rugikan dan di fitnah.
"Pak Hermanto, jangan dengarkan omong kosongnya. Dialah yang lebih dulu bertindak kasar. Dia bahkan bermain tangan dan menamparku." Ucap Erna meyakinkan sambil mengusap wajahnya yang merah akibat di tampar.
"Cukup! ... Aku tidak ingin mendengar alasan lagi. Kalian para orang tua sebaiknya duduk dengan tenang. Ini adalah kompetisi anak-anak.
"Jika kalian para orang tua mau ribut, maka silahkan keluar, jangan menganggu di acara ini, Apa kalian mengerti! "Bentak Hermanto menatap Mirna dan erna kesal."
"Iya kami mengerti." Ujar Erna dan Mirna bersamaan.
"Baiklah, lima menit lagi akan di umumkan pemenang lomba menggambar. Aku harap kalian tidak ribut lagi." Kata hermanto tegas. Lalu kembali ke ruang Juri.
Setelah Hermanto pergi, Erna menatap Mirna dengan ekspresi dendam.! Sedangkan Mirna hanya senyum sinis menanggapi isyarat ancaman dari tatapan Erna.
"Awas saja kamu, kamu sudah berani memukulku. Kamu tunggu saja suamiku datang, aku pasti akan mengadukan hal ini." Ancam Erna menyebut nama suaminya.
"Silahkan saja, aku tidak takut." Ucap Mirna ketus. kemudian berbalik bergegas ketempat duduk.
"Ibu Guru, aku tidak peduli apa aku juara atau tidak. Siapapun juaranya bagiku sama saja. Aku sudah cukup senang bisa ikut dan ketemu teman-teman dari sekolah lain." Kata Prily.
"Ibuku juga bilang juara tidak penting, yang paling penting adalah, kita melakukan sesuatu dari hati dan bekrja dengan senang serta sungguh-sungguh."
Saat ini, semua mata melirik ke arah Prily. Kata- kata Prily barusan terdengar jelas di telinga para hadirin. Mereka sangat terharu mendengar ucapan Prily yang begitu dewasa.
Bukan hanya para guru dan orang tua murid yang mendengarnya, tapi juga salah satu juri yang kebetulan melewati kerumunan anak anak.
Juri itu bernama Fadly. Dia sangat terharu mendengar kata-kata Prily barusan. Dia bahkan hampir meneteskan air mata haru. Fadly juga pernah memiliki seorang Putri. Putrinya tahun ini harusnya seumuran dengan Prily. Hanya saja Tuhan sudah lebih dulu memanggilnya.
"Prily, yang dikatakan Ibu mu benar. Juara atau tidak itu sama saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita selalu berusaha melakukan yang terbaik. Tidak peduli apa kata orang atau teman, kita harus mengikuti kata hati kita.
"Seperti gambarmu contohnya, kamu menggambar tiga orang berdiri di sebuah pantai sedang melihat matahari terbenam.
"Ibu guru tidak bertanya karena ibu guru sudah tahu siapa ke tiga orang itu.
Karna kamu mengambar apa yang ada didalam hatimu saat itu." Ujar Naomi mengingatkan dan membebarkan apa yang dikatakan Prily barusan.
"Ibu guru benar, banyak temanku mengatakan aku tidak punya Ayah, tapi aku tidak peduli juga tidak marah. karena aku percaya kalau Prily juga punya Ayah.
"Ibuku salalu berkata, kalau aku punya Ayah. Suatu saat Ayah pasti akan datang menemuiku.
"Ibuku juga bilang kalau Ayahku adalah seorang pahlawan dan aku sangat percaya sama ibuku.
"Ibuku orang baik, dia tidak mungkin bohong sama Prily." Ucap prily dengan bangga dan dengan sejuta kerinduan terhadap ayahnya.
Kata demi kata yang terucap dari mulut Prily membuat Para guru dan beberapa orang tua murid menangis haru dan sedih.
Seorang anak yang memiliki pemikiran dewasa ini ternyata belum pernah sekalipun melihat ayahnya.
Sebagai seorang ibu tentu saja sangat kasihan melihatnya. Beberapa di antaranta sudah sibuk menyeka air mata di pipinya.
Bahkan Fadly saat ini juga ikut diam-diam menyeka airmatanya.
Dia juga seperti ibu-ibu yang lain.
Sangat sedih mendengar kisah Prily yang sangat merindukan ayahnya.
Lalu kemudian pergi dan masuk kedalam ruang juri dengan ekspresi sedih.