"Dia bilang dia membiarkanku menamparnya ketika dia tak datang... dan sekarang dia tidak bertemu denganku sampai saat ini," kata Caise, suaranya terdengar lirih dan getir, menumpahkan perasaan putus asa yang terlihat dari cara ia duduk tertunduk di bawah Makaira. Tangannya gemetar sedikit, menahan emosi yang perlahan menyeruak ke permukaan, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk tenang, meski suaranya tersendat di setiap kata yang diucapkannya.
Makaira menatap Caise dengan sorot mata serius, memperhatikan setiap gerakan kecil dan raut wajah Caise yang berkecamuk dengan berbagai perasaan yang saling bertabrakan. "Kau merindukannya?" tanyanya lembut, tapi tajam, menembus ke hati Caise seperti sinar yang menerobos kegelapan.
"Entahlah... Jika dibilang begitu, aku juga tidak punya perasaan pasti..." Caise menatap jauh ke depan, seolah mencari jawaban dari kabut perasaannya sendiri yang pekat dan sulit dijangkau. "Aku juga belum tahu dan sangat bingung kenapa aku bisa bersama dengan lelaki sepertinya hingga seperti sekarang... bukan lelaki... tapi lebih tepatnya pria." Suaranya berubah menjadi lirih, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. "Pria yang aku kenal sebagai orang yang dewasa, berani melawan segalanya... Mengorbankan waktunya untukku..."
Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan pandangannya jatuh ke tanah. "Aku ingat pesan yang selalu ditinggalkannya ketika meninggalkanku karena kesibukan, padahal dia akan kembali tak lama lagi," katanya pelan, lalu memejamkan matanya sejenak, membiarkan kenangan akan pesan-pesan Leo berputar di dalam kepalanya.
Pesan itu selalu berbunyi: "Aku berjanji kapan pun kau memanggilku, tidak peduli di mana aku berada, aku akan selalu ada, seperti ketika kau pernah ke tempat yang sama. Jika kau membutuhkan aku lebih dekat, aku akan segera datang. Aku tidak memegang janji, tapi aku memegang sumpah. Setiap saat kau membutuhkan aku di sisimu, aku akan selalu datang, bahkan ketika kau tidak membutuhkanku sekalipun. Ketahuilah bahwa aku akan selalu ada untukmu."
Kata-kata itu menembus jauh ke dalam hatinya, membekas seperti goresan yang tak mungkin terhapuskan. Tiba-tiba, ia merasakan dadanya sesak, seolah pesan-pesan itu kini menjadi duri tajam yang menusuk, mengingatkan betapa Leo sudah tak lagi ada di sisinya. Air matanya perlahan mengalir, dan ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak yang perlahan pecah.
Makaira terdiam, menatap Caise dengan pandangan campur aduk, merasa ada kesedihan yang terlalu dalam untuk dijangkau. "Hiks... Kau lelaki yang sangat jahat... Kenapa kau meninggalkanku di saat seperti ini... Kau sudah bersumpah pada setiap pesan yang kau kirimkan selama beberapa tahun yang lalu hingga aku tak lupa kata mana yang sama dan kata mana yang berbeda..."
Makaira menghela napas, hatinya ikut terasa berat. "(Aku mengerti bagaimana perasaannya... dan aku tahu kenapa Katzuki melakukan ini... Dia sangat mencintainya... Jika dia tak mencintainya, maka Katzuki tidak akan pergi sendirian. Memiliki seseorang yang dituju dan dicintai. Memiliki keduanya tentu adalah berkah yang dikirim dari dalam permohonan hati. Aku ingat saat hati Katzuki mengatakan ke mana pun kau pergi aku akan selalu ikut dan tak akan pernah mengambil jalan yang berbeda,)" Makaira bergumam dalam hati.
Caise perlahan mendongak dan menatap Makaira dengan mata yang sembab dan penuh tekad. "Kau kakaknya, bukan? Aku mohon, aku ingin bertemu dengan Mas Leo." Suaranya terdengar penuh permohonan, tapi juga dibalut keteguhan yang kuat.
Makaira menatapnya dengan pandangan tenang, tapi tajam. "Aku tidak tahu dia mati atau tidak, jadi jangan meminta ku..." Ucapannya membuat Caise terdiam kaku, merasakan gelombang kecemasan yang semakin besar melandanya.
"Apa maksudmu?!"
"Aku tak peduli dia melakukan apa, dia bertingkah seperti apa, tapi jika kau terlalu khawatir pada pria yang tak mau bertanggung jawab itu, jangan mengharapkan apapun... Dia juga tidak pantas untuk mu..." Makaira menjelaskan dengan nada datar, tapi dalam setiap kata yang ia ucapkan terdengar kesedihan yang dalam.
"Apa maksudmu! Aku sudah bicara tadi!" suara Caise bergetar, tak mampu menerima kenyataan yang seperti mimpi buruk baginya.
"Mas Leo sangat pantas untuk ku! Aku sangat mencintai nya!! Dia berjanji untuk membuat ku menjadi milik nya setelah semua ini terjadi... Hanya dia, hanya dia yang bisa mengisi kekosongan hatiku, dia yang bisa membantu ku... Hanya dia, hanya dia..." kata Caise yang perlahan lirih dengan energi yang tak tersisa.
"Buktinya sudah jelas, dia tidak kembali dalam waktu lama, lebih baik kau tinggalkan ini, Caise... Katzuki adalah urusanku." Makaira berkata dengan dingin, seolah tak ingin memberi ruang untuk perasaan yang menyakitkan ini.
"Apa... Apa maksudmu... Mas Leo adalah urusanku!!" Caise berteriak menyela, suaranya penuh dengan amarah dan sakit hati yang tertahan.
"Kau bisa apa padanya?" Makaira melirik tajam, seolah menantang. Seketika Caise terdiam, merasakan ketidakberdayaannya sendiri yang menyakitkan.
"Lihat, bukan? Aku juga dengar kau memiliki hubungan baik dengan Tuan Oliver. Apa dia orang dekatmu? Pantas saja Katzuki meninggalkanmu tanpa pamit." Makaira menambahkan, tatapannya tetap dingin, namun sorot matanya sedikit melembut saat melihat bagaimana wajah Caise berubah.
Caise menunduk, bergulat dengan kenyataan yang begitu berbeda dari apa yang selama ini ia percayai. "(Mas Leo... Bukankah aku sudah mengatakan semuanya... Jadi dari awal dia sudah memutus hubungan kita,)" pikir Caise dalam hati, terdiam kaku, dengan hati yang semakin hancur.
Tapi Makaira menatap tegak pada sesuatu yang ada jauh di belakang Caise, wajahnya tampak serius menatap tajam layaknya sudah tahu siapa yang datang mendekat ke mereka.
Caise tidak mengetahui itu karena dia masih menatap ke bawah, tampak kecewa pada dirinya sendiri. "(Jika aku tak bisa bertemu dengan Mas Leo... Apa mungkin ini adalah jalan satu-satunya? Aku tak bisa mendapatkan kehidupan baikku?)" pikirnya dengan putus asa.
Tapi tiba-tiba dia merasakan ada seseorang yang berlutut di belakangnya. Caise terdiam, lalu dia langsung menatap ke Makaira yang berdiri di hadapannya. Makaira hanya diam, kemudian dengan cuek berjalan pergi melewati Caise, membuat Caise menatap ke belakang.
Siapa yang menyangka, itu adalah Leo, sosok pria yang berlutut di belakangnya. Dengan telanjang dada dan hanya menggunakan celana panjangnya, luka-luka basah serta perban berantakan menutupi luka parah di tubuhnya. Kepalanya juga terbalut perban, dan dia menatap Caise dengan tatapan yang campur aduk; dia ingin tersenyum, tapi tak bisa. Yang ingin dia katakan hanyalah, "Caise..."
Caise yang melihat itu dari tadi hanya bisa terdiam dengan mata lebar. Perlahan, air matanya menetes. Dia tak percaya bahwa selama ini Makaira menyembunyikan kenyataan bahwa Leo memang ada di kediaman ini.
Perlahan Caise tak bisa menahan tangisnya, lalu dia mendekat, membuat Leo membuka lengannya dan menerima Caise dalam pelukannya.
"Hiks... Hiks... Kau jahat... Kau keji... Kenapa kau melakukan ini... Hiks..." Caise menangis, meremas kulit Leo, membuat Leo hanya terdiam. Dia mencium kepala Caise beberapa kali dan terus meminta maaf. "Maafkan aku, maafkan aku... Aku sudah melakukan urusanku. Terima kasih sudah datang kemari, Caise," kata Leo.
Sebelumnya, saat Caise dan Makaira masih berada di halaman rumput hijau itu, Noah melihat ke belakang dan menatap tajam pada sosok Leo yang mendekat melewati lorong ke arahnya. Mereka saling menatap.
Namun Noah dengan beraninya mengatakan hal kasar dengan nada lambat, "Kau bajingan, Leo... Kau membuat orang sepertiku harus menanggung semuanya. Kau membuat orang seperti Caise sakit memikirkanmu, kau pikir kau hebat meninggalkannya begitu saja. Dari mana akal sehatmu? Hanya karena ingin urusan cepat selesai, kau gegabah melakukan semuanya sendiri... Sekali lagi, kau orang yang bodoh..."
Leo tak mengatakan apa pun, dia hanya melewati Noah, dan di saat itu juga dia bertemu Caise.
Sampai sekarang Noah masih menatap mereka. Dia melihat Makaira berjalan pergi melewatinya, tapi sebelum melewatinya, dia mengatakan sesuatu, "Gadis itu cukup tangguh... untuk mempertahankan cintanya." Mendengar itu membuat Noah menghela napas panjang, lalu mengikuti Makaira pergi dari sana, membiarkan Caise dan Leo di tempat itu.
Caise lalu menatap wajah Leo. Dia memegang kedua pipi Leo sambil masih terus menangis. "Kau bodoh... Kau bodoh... Aku sangat membencimu... Kenapa kau melakukan ini... Katakan padaku... Katakan padaku... Hiks..." tatap Caise.
"Caise... Sebelum ke distrik barat, aku harus membuat beberapa yakuza itu tunduk padaku... Tapi jangan khawatir, aku sudah melakukannya..."
"Dengan luka seperti ini?!" Caise menyela, mendengar itu membuat Leo terdiam.
"Kau sangat payah... Aku tak mau kau melakukan itu lagi... Mas Leo, aku mohon... Aku mohon tinggalkan itu... Jangan pergi lagi... Aku tak mau kehilanganmu lagi..." tatap Caise, dia benar-benar memohon.
Dia terus berbicara dengan tangisnya yang tak berhenti, membuat Leo mencium bibirnya. Itu membuat Caise terdiam sejenak, kemudian dia menutup mata, merasakan ciuman itu.
Di sisi lain, tepatnya Makaira yang berdiri di tempat lain sedang memikirkan hal yang serius. "(Malam itu... Aku tidak pernah membayangkan, akan bertemu dengan adik ku yang sudah lama di anggap mati....)"
Saat itu, di kediaman Choi, Makaira selesai mandi dan mengenakan yukata yang longgar, membiarkan udara malam menerpa kulitnya. Ia berjalan perlahan melewati teras, menikmati dinginnya malam yang tenang, tapi tiba-tiba telinganya menangkap suara samar dari arah gerbang.
"Siapa di sana?" gumamnya, kecurigaan terlihat di wajahnya. Instingnya mengarahkan pandangannya ke arah pintu gerbang. "(Ini sudah sangat malam... sudah jelas ini orang yang akan membuat keributan,)" pikirnya seraya meraih pedang kayu yang selalu disiapkannya di pinggang untuk berjaga-jaga.
Petir tiba-tiba menyambar dengan keras, disusul hujan deras yang tiba-tiba turun tanpa peringatan. Makaira mengernyit, tapi segera melangkah ke arah gerbang dan membuka pintu dengan tegas. "Siapa!?" serunya dengan nada tegas.
Namun, begitu pintu terbuka, matanya membulat terkejut, napasnya tertahan. Di depannya, Leo berdiri dengan banyak luka dan darah yang menetes dari kepala dan tubuhnya, membasahi pakaian yang sudah kusut dan sobek di beberapa bagian.
"Katzuki!" Makaira menengadah memandang nya yang lebih tinggi darinya bahkan yang terluka sangat parah, bibirnya gemetar, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Aku... Suda... Kembali," bisik Leo dengan suara serak dan lemah, sebelum akhirnya tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah yang basah. Tak sadarkan diri, ia tergeletak di tengah hujan deras yang mengguyur.
"Katzuki!!" Makaira berteriak penuh kepanikan, suaranya bergema bersamaan dengan suara petir yang membahana, seolah langit ikut berteriak bersama kegelisahannya. Dari sanalah bagaimana Leo memutuskan untuk melarikan diri pada luka nya di kediaman.