Masih di saat yang sama dimana Makaira berlari dengan tergesa-gesa, nafasnya memburu, seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya untuk terus maju tanpa henti. Kakinya menyusuri lorong dengan cepat, dan tanpa sadar ia menghantam pintu kayu besar di hadapannya. "Akh..." Sebuah rintihan kecil keluar dari bibirnya saat ia terjatuh, tangannya meraba kening yang kini terasa berdenyut-denyut nyeri. Saat ia berusaha untuk menguasai diri, terdengar derit pintu terbuka dari dalam, dan seorang pria berbaju putih, wajahnya mencerminkan keterkejutan, segera menghampiri Makaira yang tergeletak di lantai.
"Nona, Anda baik-baik saja? Kenapa Anda bisa di lantai?!" Pria itu bertanya dengan nada panik, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Ia bersimpuh di sebelahnya, berusaha memastikan bahwa Makaira tidak mengalami luka yang serius.
Makaira, meskipun sedikit terhuyung, segera berdiri dengan gerakan yang anggun. Matanya yang tajam memandang pria itu tanpa ekspresi, membuatnya merasa sedikit gentar dan berkeringat dingin. Sosok Makaira tampak begitu tegas dan tak tergoyahkan, bahkan dalam keadaan seperti ini.
"Aku baik-baik saja... (Aku hanya tak bisa berhenti memikirkan Katzuki yang terluka kemarin,)" gumamnya dalam hati, mencoba meredakan kekacauan emosinya.
Sambil menghela napas panjang, ia melirik pria berbaju dokter di depannya yang kini tampak gugup di bawah sorot matanya.
"Bagaimana keadaan Katzuki?!" tanyanya dengan nada yang tajam dan penuh otoritas, seolah tak ingin mendengar jawaban yang mengecewakan.
Pria itu sedikit tersentak, namun segera menguasai diri dan menjawab, "Tuan Katzuki baik-baik saja, meskipun banyak luka yang harus diobati... Anda harus tenang dan tidak mengganggu istirahatnya. Dia terluka sangat parah di bagian dada dan kepala. Tubuhnya banyak lecet." Suaranya terdengar cemas, ragu-ragu, sebelum akhirnya ia bertanya, "Sebenarnya, jika boleh tahu... apa yang dilakukannya?"
Makaira hanya memandangnya dalam diam, ekspresi wajahnya tak terbaca. Tatapannya berubah serius, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjawab dengan nada dingin dan datar. "Tak ada yang harus dijawab, kau bukan urusan, dan dia bukan urusan." Setelah itu, tanpa berkata-kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan pria itu yang hanya bisa memandangnya dengan wajah bingung.
Di bagian belakang ruangan, teras yang cukup luas menampakkan pemandangan seorang pria yang duduk dengan santai. Ia telanjang dada, namun tubuhnya dipenuhi dengan perban putih yang melingkar di beberapa bagian. Kepalanya juga terlilit perban, bahkan sampai ke leher. Cahaya matahari senja menerpa wajahnya yang tegas, menambah kesan keras dan misterius pada sosok pria itu.
Makaira berjalan mendekat perlahan, memandang punggung pria itu dengan tatapan yang penuh ketegasan. Ia menghembuskan napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada dingin namun penuh perhatian. "Kau benar-benar memaksakan hal ini pada tubuhmu... Katzuki," suaranya terdengar tenang, namun mengandung teguran yang tak tersirat.
Pria itu, yang ternyata adalah Leo, menyeringai tipis sambil menghembuskan asap rokok dari bibirnya. Sorot matanya yang tajam melirik sekilas ke arah Makaira, sebelum ia menjawab dengan nada penuh ironi. "Paling tidak kau harus berterima kasih padaku. Aku telah mewakili kediaman ini sendirian, dan kau hanya enak duduk menunggu pemberitahuan kemenangan di sini." Suaranya merendah saat ia melanjutkan, "Kau tidak tahu betapa sulitnya aku melawan banyak orang yang terus meningkat pesat pada levelnya, dan kau malah tidak mengirim bala bantuan padaku. Awalnya aku tidak mau kemari, tapi aku terpaksa, jangan salah paham jika aku kemari... Aku tak mengharapkan apapun untuk datang kemari..."
Makaira mendengarkan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan banyak ekspresi. "Kau tidak memintanya— untuk bala bantuan, jika kau minta, aku akan membantu mu juga... Ini semua salahmu karena tidak meminta," jawabnya datar, mencoba menahan nada yang berlebihan dalam ucapannya.
Leo mendengus, sorot matanya tajam. "Apa aku harus menghubungimu segala hanya karena aku masih memegang ponsel? Aku meninggalkan ponsel ku di sini, kau menemukan nya dengan kebetulan, dan masih berharap aku meminjam ponsel pada orang lain?!" Dia menekan setiap katanya dengan penuh emosi, "Kau seharusnya inisiatif sendiri mengirimkan bantuan padaku. Kau juga seharusnya tahu, aku saja hampir hancur, apalagi ponsel." Dia mengangkat tangannya, menunjukkan perban yang melingkar erat. "Aku menyerahkan kediaman ini juga karena tidak berat untukmu, tapi kenapa sikapmu tidak lebih dari kuda liar?!"
Nada bicaranya berubah menjadi lebih keras, hampir menyerupai teriakan. Matanya menyala dengan amarah yang selama ini tertahan, wajahnya memerah karena emosi yang bergejolak.
Makaira memandangnya dengan dingin, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Suaranya terdengar tegas saat ia membalas. "Ini semua salahmu sendiri memberikan kediaman padaku dan tidak menerima kediaman ini untuk mu sendiri!! Kau sudah tahu aku tidak bisa apa-apa, kenapa masih saja kau berikan? Dan sekarang kau malah menyalahkanku! Sudah jelas kau yang tak mau memegang kediaman ini! Dan kau membuat drama segala bertarung dengan yakuza lain hanya untuk mencari budak!!"
Leo menggelengkan kepala, matanya menyipit penuh kekecewaan. "Aku tidak menyalahkanmu!" suaranya meninggi, "Aku sedang meminta jawaban dari pertanggungjawabanmu dalam mengurus kediaman!"
Tanpa peringatan, Makaira menghentakkan tangannya, memukul Leo dengan hantaman keras hingga pria itu terjatuh dari kursinya, tubuhnya tersungkur ke rerumputan di halaman luar. "Uakh..." Leo mengerang kesakitan, matanya terpejam sesaat, merasakan sakit yang mendera tubuhnya.
Makaira berdiri di atasnya dengan ekspresi penuh kemarahan. "Jika kau tidak ingin memberikan kediaman padaku, maka ambillah semuanya! Jangan sisakan untukku! Masih lebih baik aku menolongmu saat itu... Kau seharusnya tahu tekanan yang aku terima di sini!" katanya dengan nada penuh kekesalan sebelum berbalik untuk pergi. Leo berteriak, "Kau pikir aku juga tidak sakit?!"
Hal itu membuat Makaira terdiam, berhenti berjalan, memberi kesempatan pada Leo untuk meneruskan perkataannya. "Aku lahir dan ditinggal begitu saja! Sebegitu egoisnya orang tuamu! Mereka meninggalkan aku dan berharap aku mati di sana?! Di distrik barat yang bahkan tak ada kehidupan sama sekali!"
Mendengar itu, Makaira menanggapi, dia juga ingin tegas. "Mereka melakukan itu karena ingin membuatmu kuat! Ketika kau kuat, mereka bisa mempercayaimu memegang kediaman!"
"Orang gila mana yang berharap bayi bisa langsung berjalan! Orang gila mana yang berpikir bayi bisa berlatih sendiri?! Jika tak ada keajaiban muncul saat itu, aku pasti sudah mati! Aku berjuang di luar sana, mati-matian demi mengembalikan harga diriku sebagai sosok yang terbuang. Aku seharusnya tidak salah! Kalianlah yang salah... Cara kalian yang kuno benar-benar menyiksa... Kau yang sebagai kakak juga seharusnya membelaku! Tapi apa yang kau berikan? Kau hanya diam, tertawa ketika penderitaanku muncul... Dan sekarang terus menyalahkanku," tatap Leo dengan tegas. Mereka seperti dua harimau yang tidak mau kalah bersaing.
Lalu Makaira mengepalkan tangan. "Jika kau tidak mau mengambil kediaman ini, maka jangan mempertanyakan keadaanku juga... Jika kau berharap hubungan kita adalah saudara, mari akhiri saja. Orang sepertimu memang pantas terbuang..." gumamnya yang bisa didengar oleh Leo. Lalu Makaira berjalan pergi, meninggalkan Leo yang kini hanya bisa terduduk lemas.
Leo menatap punggungnya yang semakin menjauh, wajahnya kini dipenuhi ekspresi kecut. Ia duduk kembali dengan tubuh terasa lelah, pikirannya dipenuhi kenangan dan alasan mengapa ia menyerahkan kediaman itu pada Makaira. "(Aku memberikan kediaman untukmu... karena kau tahu kondisi dalam keluarga kita. Kau pikir siapa yang selama ini menjadi garda depan jika mengurus kediaman sendiri...)" gumamnya dalam hati sambil menghela napas panjang, sorot matanya memancarkan kesedihan yang samar. Di saat itu juga Leo beristirahat di sana hingga bertemu Caise.
--
Setelah hal itu, Noah yang menunggu di sisi lain melihat Leo menggendong Caise yang memeluknya, dan dia tertidur di pundak Leo.
Noah terkejut melihatnya, seharusnya dia terkejut kenpaa Leo bisa membawa Caise saat tubuhnya terluka. Tapi bukan itu pertanyaan nya. "Kenapa gadis itu bisa tertidur?" tapi itu pertanyaan nya.
"Dia terlalu lelah... Itu saja, dimana wanita itu?" Leo menatap serius sambil masuk ke dalam pintu geser dan menidurkan Caise di kasur lipat di bawah.
Lalu Noah menghela napas panjang. "Entahlah, aku tak tahu dia kemana, tapi sebaiknya kau harus menenangkan hatinya... Dan juga... Aku mendengar semuanya," tatapnya lurus, nadanya datar namun ada ketegasan yang jelas.
Leo hanya mendengus kecil, menyeringai tipis tanpa menoleh. "Ya, aku tahu, tak perlu bilang itu. Terserah kau jika kau ingin mendengarnya atau tidak."
Noah menggelengkan kepalanya, suaranya terdengar tenang namun tegas saat berkata, "Kau harus bersikap layaknya kau dan Caise. Kau harus menghargai wanita yang lebih tinggi kodratnya."
Leo hanya menatap kosong, sorot matanya tampak meredup. "Itu akan sangat sulit untukku," gumamnya lirih, "Aku sudah tak percaya lagi dengan wanita kecuali aku bisa melihat apa yang ada di sifat wanita. Dia hanya tak bisa diandalkan saja dan hanya bisa menyalahkan orang lain...."
Noah memandangnya dengan tatapan penuh pengertian, mencoba menenangkan emosi yang tersisa dalam diri Leo. "Tapi paling tidak, Nona Makaira telah menyelamatkanmu... Dia tak mengirim bantuan karena dia tak tahu lokasimu saat ini di mana... Jadi kau harus memakluminya," ujarnya dengan lembut.
Leo menggeram kesal, menundukkan kepala. "Apa kau tidak tahu apa yang membuatku disebut sebagai pemeras seperti ini?! Kau pikir sopan santun tidak akan kalah dengan kematian?! Jika aku mati, aku sudah tidak bisa melakukan apa pun... Inilah yang membuatku berpikir bahwa mati itu sama sekali tidak menyakitkan, tapi meninggalkan orang terdekat itu sangat menyakitkan. Dia seharusnya tahu aku memiliki sifat seperti apa... Aku tak bisa lembut pada dua orang perempuan sekaligus," jawabnya, suara penuh rasa frustrasi yang terdalam.
"(Aku mengerti, Leo sedang lelah untuk hal ini... Ini dari masa lalunya sendiri... Dialah yang seharusnya memegang kediaman dan usahanya sendiri, dan dia berniat bersikap baik dengan memberikan hasil usahanya pada orang lain, termasuk Nona Makaira, tapi itu bukan usaha baik karena dia bermaksud untuk menolak memegang kediaman....)" pikir Noah dalam hatinya, menyadari bahwa beban yang dipikul Leo lebih berat dari yang terlihat.