Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 70 - Chapter 70 What Exactly

Chapter 70 - Chapter 70 What Exactly

Beberapa hari berlalu di mansion megah milik Leo, yang tetap tenang dan sunyi meski masih dihuni oleh Lilian dan Caise. Cahaya matahari pagi menembus jendela besar ruang tengah, memandikan ruangan dalam kilauan hangat yang terpantul pada lantai marmer putih. Lilian dan Caise duduk di sofa dengan bantal beraneka warna, ditemani beberapa ekor kucing yang tampak nyaman meringkuk di sekitar mereka. Lilian sesekali mengelus lembut bulu kucing yang terlelap di pangkuannya, sedangkan Caise memandangi jam dinding antik yang berdetak perlahan, menambah keheningan dalam suasana yang tampak damai tetapi menyisakan kegelisahan di hatinya.

Caise sesekali menghela napas panjang, tatapannya menerawang dengan pikiran yang terbungkus kekhawatiran. Dalam benaknya, bayangan Leo terus berkelebat, seolah ada pertanyaan-pertanyaan yang menunggu jawaban. Biasanya, sosok Leo dengan tenang dan penuh perhatian ada di sekitar mereka, dan kini, ketidakhadirannya menciptakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Meski Caise berusaha tampak tenang di depan Lilian, ada tanda-tanda kecil yang menunjukkan keraguannya, seperti sesekali melirik ke arah pintu dengan harapan Leo akan segera muncul.

Lilian, dengan kepolosan seorang gadis kecil yang selalu ceria, akhirnya menangkap perubahan raut wajah Caise. Dia memandang ke arah nya dengan mata beningnya yang penuh perhatian, seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang salah. "Mama... Kenapa? Apa Mama mencari Papa?" tanya Lilian dengan suara lembutnya, mencoba membangunkan Caise dari lamunannya.

Caise tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu, meski jelas tergurat sedikit kebimbangan di wajahnya. "Ah, em... Mungkin..." jawabnya dengan nada ragu, tak ingin menambahkan beban pada Lilia yang masih begitu muda. Namun, di sisi lain, dia merasa perlu untuk memahami perasaan Lilia juga.

Dengan senyum menenangkan, Lilian meyakinkan Caise, "Papa kuat, kan? Biasanya Papa memang sibuk. Aku juga sering dibawa ke kantornya ketika dia sibuk." Suaranya terdengar yakin, seolah mampu memahami dunia orang dewasa lebih dalam dari usianya. Kata-kata Lilian yang sederhana, namun menenangkan, membuat Caise merasa sedikit lebih lega, dan ia pun membelai lembut kepala Lilian.

Setelah itu, Caise bangkit dan mengambil ponsel dari atas meja kayu berukir klasik, lalu segera mencoba menghubungi Noah. Detak jantungnya meningkat saat menunggu panggilan tersambung, pikirannya dipenuhi harapan untuk mendapatkan sedikit kepastian mengenai keberadaan Leo. "Halo?" suara Noah terdengar di ujung telepon, tenang dan penuh perhatian.

"Mas Noah... Apa Mas Leo sudah kembali? Mungkin ada tempat lain yang kau ketahui?" tanya Caise dengan nada lirih, suara yang menunjukkan kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikannya lagi. Di seberang, Noah terdiam sejenak sebelum menghela napas panjang, seolah memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.

"(Dia masih khawatir... Seharusnya kemarin aku tidak mengatakan hal itu. Sebenarnya, beberapa hari sebelumnya, aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan tinggal di rumah Leo yang satunya...) Jika ingin tahu, kemarilah, temui aku di tempat Leo," jawab Noah akhirnya, dengan suara yang dalam dan penuh kesungguhan.

Namun, jawaban itu membuat Caise semakin bingung. "Tapi... Aku sudah di tempatnya Mas Leo... Di mansion-nya, kan?" tanyanya ragu, mencoba memastikan bahwa dirinya memang berada di tempat yang benar.

"Ah, bukan di sana... Apa Leo tidak pernah memberitahumu soal rumah yang satunya...?" balas Noah, suaranya terdengar semakin misterius.

Perasaan ragu muncul di wajah Caise. "Aku tidak tahu..." katanya pelan, menatap ponselnya seolah jawaban akan muncul dari sana.

"Em.... Aku tidak tahu..." Caise tampak ragu. "Aku tak tahu tempatnya," tambahnya.

"Hah! Serius?" Noah terkejut, membuat Caise terdiam. "(Pantas saja Caise tak pernah tahu apa saja yang ada di sini... Haiz... Mungkin tak apa jika aku menunjukkannya nanti... Dia juga ingin tahu soal Leo.) Aku akan membagikan lokasinya, Caise, datanglah kemari," kata Noah.

"Baiklah, terima kasih, Mas Noah. Eh, tapi bagaimana dengan Lilia?" tanya Caise.

"Oh iya, benar juga...." Noah baru ingat. "Begini saja, aku titipkan Inei... Dia akan ke mansion Leo... Jadi tunggulah dia, setelah itu kemarilah," kata Noah.

"Baiklah, terima kasih..." Caise kembali mengangguk. Lalu, ia menutup panggilan.

Noah pun menurunkan ponselnya, lalu menoleh ke belakang, di rumah yang sangat gelap itu. Tepat di sana ada besi seperti sel besi di bawah tangga. Apa itu kandang? Keadaan rumah di dalam sana gelap tanpa adanya lampu maupun gorden yang terbuka.

Saat ia menutup telepon, mansion itu kembali terasa sunyi, seolah memantulkan kegelisahannya. Caise berbalik memandangi Lilian yang tampak asyik bermain dengan kucing-kucing itu.

"(Aku benar-benar khawatir... Sebaiknya aku segera ke sana... Aku ingin tahu soal Mas Leo di sini.)" Karena khawatir, ia berniat ke rumah Leo. Dia juga telah mendapatkan lokasinya dari Noah yang sudah mengirimkannya.

Ketika Inei akhirnya tiba di mansion untuk menjaga Lilian, Caise merasa lega melihat kedatangan wanita itu. Inei menyapanya dengan tatapan lembut, membawa suasana hangat yang sejenak membuat kecemasan Caise mereda.

"Hai, Caise...." tatapnya dengan canggung.

"Mbak Inei, terima kasih sudah datang..." tatap Caise. Lalu, Lilian menyusul. "Mama...."

"Ah, Lilian, ini—

"Panggil aku Inei saja, ya," kata Inei kepada Lilia dengan senyum ramah.

Hal itu membuat Caise terdiam bingung. "Kenapa memanggil dengan nama begitu? Bukankah itu tidak sopan?" tatap Caise.

Inei pun tersenyum, menjelaskan, "Noah memintaku untuk melakukan ini... Biar lebih mudah bagi gadis kecil seperti Lilian untuk merasa nyaman," katanya dengan lembut.

"Baiklah, terima kasih... Aku akan pergi.... Sampai jumpa, Lilia...." Caise akhirnya berjalan pergi, meskipun Lilian tampak kecewa.

"Ke mana Mama pergi?"

Mendengar itu, Inei berlutut dan menatapnya. "Lilian, di sini ada aku. Jika sebelumnya kamu sangat akrab dengan Noah, aku adalah kekasihnya.... Aku akan memperlakukanmu sama seperti Noah memperlakukanmu dengan baik, jadi jangan khawatir ya...." kata Inei, membuat Lilian tersenyum senang dan mengangguk.

Akhirnya, setelah berpamitan dengan Lilian yang tampak sedikit kecewa karena ditinggalkan, Caise meninggalkan mansion itu dengan pikiran penuh tanya.

---

Saat tiba di tempat yang ditunjukkan oleh Noah, Caise benar-benar takjub melihat rumah yang bahkan mungkin lebih besar dari mansion Leo. Rumah itu dikelilingi pagar besi hitam yang menjulang tinggi, menciptakan kesan angker tetapi juga misterius. Gerbang besar di depannya berdiri kokoh, tampak tua namun megah, dan dipenuhi oleh ukiran rumit yang memberikan kesan menakutkan sekaligus mengundang penasaran.

"Ini benar-benar besar... Tapi kenapa aku tidak pernah tahu tentang tempat ini sebelumnya?" batin Caise sambil memandangi gerbang yang terasa mengintimidasi. Ia melihat sekeliling, mencoba memastikan kalau ini memang tempat yang dimaksudkan oleh Noah. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, bahkan suara burung pun nyaris tidak terdengar. Mendadak, gerbang itu terbuka perlahan dengan sendirinya, menghasilkan bunyi deritan yang membuat Caise mundur sedikit dengan perasaan terkejut.

Dari kejauhan, Noah berjalan mendekat. Sosoknya muncul dari bayang-bayang taman besar yang penuh pepohonan rindang, menambah kesan misterius. "Caise," dia menyapanya dengan suara rendah namun ramah, seolah memahami kebingungan di wajahnya.

"Oh... Halo, Mas Noah... Apa Mas Leo ada?" tanya Caise dengan nada pelan, meski matanya tak bisa menyembunyikan kecemasan yang membayang.

"Ada hal yang ingin kutunjukkan kepadamu dulu," ujar Noah sambil mengajak Caise memasuki rumah besar yang seolah tak berpenghuni itu. Di dalam, rumah itu tampak gelap dan sunyi, tidak ada tanda-tanda kehidupan, namun setiap sudut ruangan menunjukkan kemegahan yang suram—lantai marmer yang dingin, tangga kayu besar yang meliuk ke lantai atas, serta perabotan antik yang dipenuhi debu. Ruangan itu seolah terjebak dalam kesunyian yang tak terganggu oleh waktu.

Akhirnya, Noah membimbing Caise menuju sebuah ruang tersembunyi di bawah tangga, yang dilapisi pagar besi. Saat Noah menyalakan lampu kecil di ruangan itu, tampak seekor leopard yang terbaring di dalam sel besi tersebut, bulunya berkilauan dalam cahaya yang redup. Caise terkejut, menatap binatang buas itu dengan mata lebar. Jantungnya berdebar kencang, merasa bingung dan takjub dalam waktu yang sama, bertanya-tanya tentang sisi kehidupan Leo yang mungkin belum pernah diketahuinya.

"I... Itu?!" Caise tampak tak percaya melihat hewan buas itu.

"Itu adalah leopard milik Leo," kata Noah, suaranya serak namun tenang, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Di balik sel besi yang dingin dan lembap itu, Leolard itu berdiri terpaku. Tubuhnya besar dan berotot, dengan bulu yang mengilap berhiaskan bintik hitam pekat, tanda khas dari leopard yang kuat dan buas. Namun, di balik tubuh gagahnya, Leopard itu tampak ketakutan dengan gerangan kejam nya. Mata tajamnya yang biasanya penuh keberanian kini menyiratkan ketegangan. Pupilnya melebar, mencerminkan kecemasan yang terpendam di dalam hatinya. Setiap gerakannya lambat, nyaris tak terdengar, seakan ia menahan napas agar tidak menarik perhatian sesuatu yang ditakutinya.

Kalung pengikat berwarna hitam tampak membebat lehernya dengan erat, membuat Leopard itu tampak seperti tawanan dalam tubuhnya sendiri. Kalung itu bukan sekadar hiasan, melainkan tanda dari masa lalunya—mungkin sesuatu yang gelap, sesuatu yang membuatnya menjadi pendendam. Di ujung kalung itu tersemat nama "Loyal," mungkin simbol ironi dari kesetiaan yang tersakiti atau pengingat akan kepercayaan yang dikhianati.

Caise terdiam, mengamati Leopard itu dengan perasaan tak menentu. Ia merasa ngeri sekaligus penasaran. Perlahan, ia mendekati sel besi itu, langkah-langkahnya hati-hati, seolah takut menakuti makhluk besar di hadapannya. Mata Caise menyiratkan ketakutan sekaligus simpati yang mendalam.

"Kenapa... kenapa dia ketakutan?" Caise menatap sambil tak berani mendekat ke sell kandang itu.

"Biar kuberitahu padamu, Leo adalah tipe pendendam. Dia akan melakukan balas dendam, entah kepada hewan maupun manusia. Ada kisah di balik kenapa leopard ini bisa sampai di sini," kata Noah.

"Ceritakan padaku, Mas Noah," tatap Caise.

"Maaf, Caise, aku tak bisa. Yang mengalaminya adalah Leo, bukan aku. Dia juga tak pernah bercerita. Tapi yang pasti, sesuatu telah membuatnya sangat marah hingga menjadikannya seperti ini," kata Noah.

"Sayang sekali..." Caise tampak kecewa.

Hal itu membuat Noah tidak nyaman sehingga dia menghela napas pajang dan memutuskan untuk memberitahu nya. "Ketika kalian putus hubungan saat itu, Leo memutuskan untuk berburu hewan buas, di hutan Sahara... Dia juga mengajak ku... Ada hal berat jika aku tak mau ikut, jadi aku di paksa ikut, harus kau tahu.... Ketika sampai sana, dia memiliki izin legal memburu hewan hewan di sana sehingga dia dengan sadis membunuh hewan hewan itu dan memutuskan membawa pulang leopard penuh luka itu untuk di buat oleh oleh... Mau heran tapi itu Leo... Mungkin dia tidak menceritakan nya padamu..." kata Noah.

Caise merasa terdiam, dia tak percaya dia tak pernah diceritakan hal itu oleh Leo. "(Kenapa bisa begitu kejam... Dia memutuskan untuk tidak membunuh manusia lagi, tapi kenapa mengganti nyawa manusia dengan hewan yang tak bersalah juga...)"