Hari berganti, dan sinar matahari yang lembut mulai merambat masuk melalui jendela besar di kamar itu, menciptakan semburat hangat pada perabotan dan tirai sutra yang bergelayut anggun. Dalam cahaya yang menyinari ruangan, mata Caise perlahan terbuka, ia merasa terbangun di sebuah kasur yang begitu empuk, besar, dan bersih, dengan selimut tebal yang terasa begitu nyaman melingkupi tubuhnya. Sesaat ia tidak ingat di mana ia berada, tetapi ketika ia mendengar suara napas tenang di sampingnya, ingatannya mulai kembali. Dengan hati-hati, Caise melirik ke sebelahnya, dan di sanalah Lilian—tertidur pulas dengan wajah yang damai dan polos.
Rambut Lilian yang halus berjatuhan di pipinya, dan ekspresi wajahnya menunjukkan ketenangan seorang gadis kecil yang baru saja bermimpi indah.
Sekilas Caise mengingat kembali kejadian semalam. "(Oh benar, kami memasak dan makan bersama. Lalu aku bermain dengan Lilian... dan kami merawat kucing-kucing itu hingga malam. Ah, kami tertidur bersama di sini...)" pikirnya sambil tersenyum kecil, seolah membayangkan kembali keceriaan dan tawa mereka semalam.
Tetapi, kebahagiaan itu hanya sesaat. Begitu tersadar sepenuhnya, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik pikirannya. "(Tapi... kenapa Mas Leo tidak ada di sini?)" batinnya mulai bertanya-tanya. Keanehan itu membuatnya penasaran. Perlahan-lahan, dengan gerakan yang hati-hati, ia berusaha bangkit dari kasur, memastikan agar Lilian tidak terbangun. Ia menyelipkan selimut dengan lembut agar Lilian tetap merasa hangat.
Setelah memastikan Lilian tetap tidur dengan nyenyak, Caise mulai melangkah pelan keluar dari kamar. Lorong mansion itu terasa hening, sunyi. Caise menuruni anak tangga dengan hati-hati, melihat sekelilingnya, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan Leo di sana.
Sesampainya di lantai bawah, ia melihat pemandangan yang berbeda. Ruangan itu penuh dengan kucing-kucing yang bersantai di berbagai sudut. Kucing-kucing itu adalah makhluk cantik dengan bulu halus dan mata yang anggun. Beberapa di antaranya duduk sambil memandangi Caise dengan tatapan memelas, seolah meminta perhatian dan kasih sayangnya. Yang lainnya tampak malas-malasan, berbaring di atas sofa atau kursi mewah yang menghiasi ruangan itu. Pemandangan itu membuat Caise sedikit tersenyum, tetapi rasa penasaran dan khawatirnya tak bisa hilang begitu saja.
Ia terus berjalan menuju pintu depan, berharap bisa menemukan sesuatu yang menunjukkan keberadaan Leo. Di rak sepatu dekat pintu, biasanya ada sepasang sepatu milik Leo yang rapi, menjadi penanda bahwa ia sedang berada di mansion. Namun, kali ini rak itu kosong, dan tak ada sepasang sepatu yang menunjukkan tanda-tanda kehadiran Leo atau tamu lain. Kekosongan itu membuat hatinya semakin cemas. Ia meraih ponsel dari sakunya, menekan nomor Leo, dan menunggu sambil berdebar.
Dering ponsel terdengar panjang, tetapi tak ada jawaban dari Leo. Panggilan itu berdering terus, membuat perasaan Caise semakin tidak tenang, hingga akhirnya panggilan tersebut terputus. "(Mas Leo, di mana?)" pikirnya dengan perasaan tak menentu. Ada kegelisahan yang perlahan mulai tumbuh dalam hatinya, meskipun ia berusaha tetap tenang.
Suara lembut dan kecil yang memanggilnya membuatnya tersentak dari lamunannya. "Mama..." suara itu terdengar dari tangga belakangnya. Caise berbalik, melihat Lilian yang masih setengah mengantuk menuruni anak tangga, tangannya mengusap matanya dengan perlahan. Mata Lilian masih terlihat berat, namun senyuman kecil muncul di bibirnya ketika ia melihat Caise berdiri di sana. Langkah kecil Lilian membawa dirinya mendekat, dan begitu tiba di hadapan Caise, ia langsung memeluknya dengan erat.
"Bagaimana tidurmu? Kamu nyenyak kan?" tanyanya dengan suara yang penuh kehangatan. Lilian mengangguk kecil, kemudian menatap Caise dengan senyum cerah yang membuat hati Caise sedikit tenang.
"Aku sangat senang Mama ada di sini sampai aku bangun," bisik Lilian sambil menatap Caise dengan mata berbinar. Mendengar itu, hati Caise meleleh. Ia berlutut untuk menyejajarkan dirinya dengan Lilian, kemudian memeluknya erat, merasakan kehangatan tubuh kecil putrinya yang memberikan rasa nyaman. Ia mencium pipi Lilian, membuat Lilian tertawa kecil sambil memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang.
"Baiklah, sekarang mandilah ya, Mama akan memasakkan sarapan..." Caise berkata sambil mengusap rambut Lilian dengan lembut.
Namun, Lilian tampak sedikit kecewa, menundukkan kepala sambil mengerucutkan bibir kecilnya. "Tapi, aku ingin mandi bersama Mama, setelah itu masak bersama lagi... Aku belajar banyak dari Mama..." ucapnya dengan nada memohon, tatapannya begitu tulus dan polos.
Caise tak bisa menahan senyum dan akhirnya mengangguk pelan. "Haha, baiklah, ayo..." jawabnya lembut, menggenggam tangan kecil Lilian dengan hati-hati, kemudian mengajaknya ke kamar mandi untuk memulai pagi mereka dengan kebersamaan yang penuh kasih.
Di sisi lain, di tempat yang jauh, Noah sedang duduk di atas kasur dengan selimut melilit tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, tetapi bibirnya terbuka lebar ketika Inei, yang ada di sampingnya, menyuapinya sarapan.
"Bagaimana keadaan Lilian? Siapa yang menjaga Lilian?" Noah bertanya pada Inei, membuka percakapan dengan suara yang sedikit parau.
Inei tersenyum tipis, menatap Noah dengan ekspresi yang tenang. "Entahlah, mungkin diurus Caise. Dia seharusnya tahu Leo tidak akan pulang...." jawabnya singkat, namun kata-katanya penuh dengan kepercayaan pada Caise.
Namun, jawaban itu justru membuat Noah semakin terkejut. "Tidak pulang? Kenapa? Apa jangan-jangan dia... mengurus perlawanan itu sekarang?" suara Noah terdengar semakin serius, dan ekspresi terkejut tampak jelas di wajahnya.
Dalam sekejap, Noah mengibaskan selimut dan beranjak dari kasurnya. Dengan langkah yang tergesa-gesa, ia mengambil ponsel di meja dekat tempat tidur. Tangannya bergerak cepat menekan nomor Leo dengan ekspresi yang penuh kegelisahan. Meski tubuhnya masih lemah, tampaknya kekhawatiran terhadap situasi yang ada membuatnya bergerak tanpa berpikir panjang.
Noah memanggil Leo berkali-kali, namun panggilan pertama tidak terjawab. Tetapi ia terus mencoba lagi dan lagi, pantang menyerah. Hingga akhirnya, dering telepon tersambung, dan suara Leo terdengar di seberang.
"Noah... Apa yang kau lakukan?!" teriak Leo dengan nada yang terdengar sedikit kesal di ponselnya.
"Geng itu... Mereka meminta kau datang ke sana, kan? Karena kau mencari orang yang melawanku? Leo, kau harus memiliki persiapan jika ingin menaklukkan mereka," ucap Noah penuh kekhawatiran, suaranya jelas terdengar gemetar.
Di sisi lain, Leo hanya terdiam sesaat. "Aku sudah dalam perjalanan," jawabnya datar. Dari jendela mobil yang ia kendarai, dengan dirinya yang hanya mengenakan celana panjang, dada telanjangnya penuh bercak darah. Jika dilihat lebih dekat, darah itu bukan miliknya; mungkin darah lawan-lawannya yang ia hadapi sebelumnya di kantor polisi kemarin.
Namun, Noah semakin gelisah, ia merasa ada yang tidak beres dengan keberanian yang Leo tunjukkan. "Tapi, bagaimana jika kau disergap di sana? Apa yang akan terjadi pada Caise dan Lilian?" suara Noah semakin bergetar, memohon agar Leo mempertimbangkan kembali niatnya.
Leo terdiam sejenak di dalam mobilnya, memandangi jalan di depannya dengan tatapan tajam dan penuh tekad.
Saat Noah terus berbicara, mengingatkannya soal Caise, bayangan wajah Caise melintas dalam pikirannya. Leo menarik napas dalam, mencoba menyingkirkan kegelisahan itu. "Kau terlalu cerewet..." katanya dengan suara dingin yang seakan berusaha menutupi kekhawatirannya. "Aku sudah membantumu membalas dendam, balasannya kau hanya harus diam, apakah itu susah..."
Setelah berkata demikian, Leo menghentikan mobilnya dengan tegas di pinggir jalan, membuat suara rem berdecit keras di keheningan malam. Ia menatap lurus ke depan, lalu dengan cepat mengambil langkah tegas—membuka pintu mobil dan keluar dengan penuh keyakinan. Di seberang sana, di balik cahaya redup lampu-lampu jalan, tampak bayangan besar dari gerbang yang menjulang tinggi, gerbang yang mengarah pada sarang orang-orang yang ia incar. Tempat itu adalah pusat kegiatan yang ia ingin hancurkan, di mana banyak nyawa telah dijadikan alat oleh Direktur Geun untuk ambisi gelapnya.
Noah, yang masih berada di ujung telepon, segera merasakan perubahan suara dan langkah Leo yang terdengar jelas. "Tunggu! Kau sedang apa? Kenapa aku mendengarmu keluar dari mobil?... Aku mendengarmu melangkah berjalan?" Noah bertanya dengan suara cemas, seolah mencoba menghentikan Leo hanya melalui suara.
Leo tetap melangkah, tanpa ragu sedikit pun. "Aku sudah datang kemari," jawabnya tenang namun penuh arti. Ia menatap gerbang besar itu, di mana di baliknya tersembunyi banyak rahasia dan kekejian yang ia ingin hentikan. Saat tangannya menyentuh besi dingin di gerbang tersebut, ia merasakan amarah yang membara dalam dadanya. "(Dengan aku langsung ke sini, aku bisa menguasai tempat ini dan meminta mereka untuk tidak bekerja di bawah Direktur Geun... Aku akan memastikan orang-orang ini berhenti menjadi pion dalam perang yang tak berujung...)"
Pikiran Leo melayang pada sosok Direktur Geun, sosok berpengaruh yang selama ini menggunakan manusia-manusia di tempat ini sebagai alat untuk ambisinya. Setiap hari, orang-orang yang direkrut di tempat ini dikirim ke distrik barat untuk terlibat dalam konflik. Mereka hanya diiming-imingi uang, tanpa mengetahui bahaya yang sebenarnya. Dalam benak Leo, ia membayangkan semua rencana jahat yang dilakukan Direktur Geun: bisnis ilegal yang menjerat banyak korban, uji coba laboratorium yang membahayakan, dan pengorbanan orang-orang yang tak berdosa.
Namun, suara Noah yang terus berusaha mengingatkannya membawa Leo kembali pada kenyataan. "Leo, pikirkanlah Caise... Dia sudah berusaha membangun hubungan baik denganmu lagi, dan kau akan meninggalkannya?"
Kata-kata itu membuat Leo terdiam di depan gerbang besar, tubuhnya seakan membeku sesaat. Gambaran wajah Caise muncul kembali, dengan senyum lembut dan sorot matanya yang penuh harapan. "(Aku tak akan bisa memberitahu Caise,)" pikirnya. Ia tahu Caise akan terluka jika mengetahui kebenaran tentang misinya. Dengan napas berat, Leo menenangkan dirinya, lalu melanjutkan langkahnya.
Namun Noah tidak menyerah. "Leo... Kau serius ingin ke sana?!"
Leo menekan tombol di teleponnya, memutuskan untuk tidak memberi ruang pada keraguan. "Aku akan ke sana. Kau harus menunggu di tempat Caise. Ini perintah... Dia tak akan tahu aku di mana... Kau beritahukan yang sebenarnya juga tidak apa-apa, jaga dia dan Lilian..." Nada suaranya terdengar penuh ketegasan, seperti pria yang sudah memutuskan untuk menjalankan takdirnya, apa pun risikonya.
"Ha... Apa kau bodoh?" Suara Noah terdengar parau dan putus asa. "Caise pasti akan khawatir. Dia akan sakit jika kondisinya memaksa untuk khawatir...."
"Dia tidak akan sakit jika aku tidak berniat meninggalkannya," jawab Leo sambil menatap gerbang besar yang mulai terbuka di hadapannya. "Aku tak ada niat meninggalkannya... Aku masih ingin kembali..." ucapnya dengan nada yang lembut namun pasti, lalu tanpa ragu, ia menutup panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Langkahnya perlahan menjadi semakin mantap, seiring ia menapaki jalan yang gelap menuju sarang musuh.
Di sisi lain, Noah hanya bisa terdiam, menatap ponselnya dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Pikirannya dipenuhi bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada Leo. "Kawan... Kau akan mati di sana," batinnya bergumam, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "(Kau bilang aku harus bilang yang sebenarnya pada gadis itu... Memangnya kau sudah membangun hubungan yang sepenuhnya baik?)"
Inei yang berada di belakang Noah ikut terdiam, menyaksikan ekspresi Noah yang penuh kecemasan. Tatapan matanya mencerminkan ketidakberdayaan, seolah ia mengerti bahwa tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu.