Dalam perjalanan, Noah rupanya tak bisa menghindari orang-orang yang mengincarnya. Bahkan ada tiga orang bertubuh besar seperti kemarin menghadang Noah yang berjalan di jalanan gelap dan sepi karena itu adalah jalan satu-satunya yang harus dilewati.
"(Sial, kenapa harus lagi?)" Noah tampak kesal melihatnya. Bahkan dia mencoba untuk diam hingga mereka akhirnya mendekat.
"Wah, wah, ternyata orang yang sudah hampir kita bunuh belum mati sepenuhnya, ya? Dia juga sama tangguhnya seperti Leo..."
"Leo sialan, hanya bisa sombong. Pastinya orang-orang suruhan sepertimu itu adalah orang yang akan ikut sombong, jadi tak apa jika kita hajar...." tatap mereka.
"Oh, hanya bisa mengejek. Jika perlu, maju satu-satu dan jangan curang..." Noah tiba-tiba menendang wajah salah satu dari mereka, membuatnya terpental, dan itu tampak membuat mereka kesal.
"Sial kau..." Mereka saling menyerang dengan cepat. Noah bahkan bisa bertarung dengan sangat baik. Dia dengan kuat dan cepat bertarung melawan mereka yang satu per satu tumbang. Hanya saja dia terlalu malas untuk menjadi seperti Leo, di mana dia tidak menghabisi sampai mati, hanya membuat mereka tidak kuat untuk bangun.
"Sial kau, padahal belum ada beberapa hari kamu bisa sembuh dari lukamu..." mereka menatap kesal.
Dengan bangga, Noah bahkan membuka bajunya, memperlihatkan perutnya yang tertutup perban. "Maksudmu ini, luka yang masih basah? Tentu saja luka ini sembuh karena aku diobati oleh seseorang yang profesional, tidak seperti kalian yang terlihat lemah sekarang, hahaha...." kata Noah.
Tapi siapa yang menyangka, di belakangnya ada banyak orang dari kediaman yang sangat banyak mengepungnya, membuat Noah menatapnya dengan kesal. "Cih, main curang rupanya..." Terpaksa dia melawan mereka semua. Bahkan dia hampir menyelesaikannya saat sore tiba. Dia sudah terengah-engah dan baru setengah menghabisi mereka.
"Hoi hoi, sudah lelah, kawan? Sepertinya energimu terbatas ya, untuk seorang pengacara figuran milik Leo?" kata salah satu dari mereka.
Tapi siapa yang menyangka, tubuh Noah tertahan dari belakang, membuat Noah terkejut tak bisa bergerak dengan energi yang tersisa, apalagi lukanya terbuka. Itu terlihat di bagian perutnya yang basah karena darah. "Sial, bunuh saja aku..." dia menatap penuh dendam.
"Tentu saja, kami akan membunuhmu..." Salah satu dari mereka menyiapkan pukulan dan dengan cepat memukul perut Noah, membuat Noah terkejut dan langsung memuntahkan darah. Dia bahkan langsung jatuh ke bawah. "Akh... cough.... sial, aku akan membunuh kalian..." Dia bahkan masih bisa merangkak.
"Selesaikan saja ini," mereka membawa pisau dan menatap ke Noah.
"Ya, bunuh dia di sini..." Mereka setuju akan membunuh Noah yang berusaha untuk berdiri.
Tapi salah satu di antara mereka menghentikan. "Hei, tunggu. Jika kita membunuhnya, kita tidak akan bisa selamat dari Leo juga. Lebih baik biarkan dia mati sendiri, itu pun jika dia tidak selamat dari kesakitannya..." kata dia yang membuat mereka terdiam, hingga tak lama kemudian Noah merasakan mereka tidak ada di sana dan meninggalkan dirinya sendiri. "Sial, aku seperti orang payah saja..." Dia terbaring dengan darah yang terus mengalir, lalu menatap langit yang hampir malam.
"(Leo, aku dulu hanyalah seorang lelaki yang pengecut. Aku ingin bisa kuat sepertimu, jadi aku mati-matian untuk menjadi bawahanmu. Kau menerima aku dengan mudah karena kau juga membuatku tertarik dengan bayaranmu. Jadi aku rela melakukan apa pun demi bayaran tinggimu, termasuk kita yang dianggap selalu bersama. Meskipun begitu, hubungan kita hanya sebatas bawahan dan atasan. Kau mengajariku bagaimana cara bertarung, dan mungkin jika aku tak selamat di sini, pekerjaanku sampai sini saja untukmu....)" pikirnya. Lalu dia mencoba meraih ponselnya dengan tangan gemetar di sakunya dan menghubungi Inei pertama kali. Lalu Inei mengangkat. "Halo, Noah? Kenapa tidak kembali? Leo bahkan menghubungiku untuk mencarimu? Kemana saja kamu?" tanya Inei.
Noah hanya diam, pandangannya kosong layaknya dia hampir mati. "Inei..." suaranya serak memanggil.
"Noah? Kenapa?" Inei sudah mulai tahu situasinya, dia ingin memastikan dengan bertanya.
Pandangan Noah mulai menghitam. "Inei, sebenarnya, aku tak ingin cepat mati... Jika aku tak selamat dengan ajalku ini, aku hanya ingin mengatakan padamu, terima kasih sudah mencintai pria pengecut sepertiku...." kata Noah.
Seketika Inei terkejut tak percaya. "Noah!! Di mana kau sekarang!!? Katakan saja, aku akan menyusulmu...." dia panik.
Tapi Noah tertawa kecil. "Kau ke sini juga akan terlambat...." Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup teleponnya, membuat Inei bahkan langsung bergegas pergi. Dia pergi buru-buru.
Tapi siapa yang menyangka, ada yang memanggil Noah. "Mas Noah?" tatapan serak membuat Noah hanya bisa mendengar suara itu. "(Suara ini, Caise?)" Pandangannya buram hingga ia melihat sekilas Caise yang buru-buru mendekat dan berlutut menatap. "Mas Noah!! Bertahanlah!! Astaga... aku mohon bertahanlah dulu...." Caise langsung membuka baju Noah dan melakukan penanganan sama seperti saat dia mengobati Leo dengan peralatan atau keterampilan sederhana.
"Caise, percuma, aku tidak kuat sama seperti Leo, jangan samakan aku dengannya..." Noah menatap.
Tapi Caise mendadak menamparnya, membuat Noah terkejut merasakan rasa sakit itu.
"Kau masih bisa merasakan sakitnya tamparan, kan?!" Caise mendadak menatap tegas. "Jika kau masih merasakan, jangan menganggap terlalu cepat mati! Jangan khawatir, ada aku, aku bisa melakukannya..." Caise terus fokus mengobati. Dengan buru-buru dia menumpahkan alkohol dan menjahit luka Noah, bahkan menyuntikkan sesuatu dari benda yang dia keluarkan di tas kecilnya.
"Caise, kenapa? Kenapa kau mau menolongku? Bukankah aku bukan siapa-siapa di kehidupanmu?" Noah menatap.
Lalu Caise terdiam dan menjawab dengan lembut. "Mas Noah, jika tak ada kamu, aku tidak akan bisa memiliki keberanian untuk memperbaiki hubungan bersama dengan Mas Leo. Mas Noah juga layak mendapatkan kehidupan yang sama seperti Mas Leo, jadi, jangan khawatir, masih ada yang ingin kau cintai dan masih ada orang yang cinta padamu..." tatapnya. Kata-kata Caise itu membuat pandangan Noah tidak lagi suram dan kosong, layaknya jiwanya tidak jadi keluar dari tubuhnya.
Caise juga menghubungi ambulans di sela-sela dia menolong Noah yang meskipun masih lemah, setidaknya bisa bergerak.
"(Aku tadi pulang tanpa mengabari Mas Leo karena sebelumnya Mas Leo bilang akan sibuk, jadi dia mungkin tidak perlu menjemputku, dan aku kebetulan bertemu Mas Noah yang terluka...)"
Tengah malam yang sunyi, hanya terdengar langkah kaki tergesa Leo yang semakin mendekat ke rumah sakit. Wajahnya tegang dan napasnya sedikit memburu. "(Sial, Noah... Aku diberitahu Caise bahwa kau hampir mati... Sialan...)" pikirnya, rahangnya mengeras menahan amarah dan kekhawatiran yang bercampur aduk. Jemarinya terkepal erat di sisi tubuhnya, seakan siap meledak sewaktu-waktu.
Di lorong rumah sakit yang dingin dan remang, ia menangkap sosok yang tak asing baginya. Di sana, berdiri Inei dengan wajah pucat dan cemas, menatap ke arah ruang operasi. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti sejenak. Mata Inei yang merah karena lelah dan khawatir, berubah menjadi sorot penuh kemarahan ketika melihat Leo. Tanpa ragu, dia langsung menghampirinya dengan langkah cepat.
Leo yang tak mengerti situasi hanya bisa menatap Inei, dan di tengah keheningan malam, pertanyaannya pecah, "Apa yang terjadi?"
Namun, yang ia terima adalah tamparan keras dari tangan Inei. Suara tamparan itu menggema di lorong rumah sakit yang sunyi, diiringi dengan teriakan Inei yang penuh amarah, "Kau sialan! Kenapa kau membuat Noah harus terluka!" Suaranya penuh getaran emosi yang membuat Leo tertegun. Dia berdiri diam, memegang pipinya yang terasa panas, hanya bisa menatap Inei dengan pandangan penuh suram. Kata-kata Inei menusuk hatinya seperti pisau.
Kerumunan kecil orang-orang mulai melirik mereka dari jauh, mengamati Inei yang kini tak lagi bisa menahan perasaannya. Suara Inei yang melengking membelah keheningan lorong, "Kenapa kau terus membuat masalah pada pihak lain, sementara kau tak pernah memikirkan orang-orang yang akan terluka! Berhentilah mencari masalah!" Jeritan itu menggantung di udara, membawa suasana berat yang menusuk di sekitar mereka.
Tepat saat itu, Caise keluar dari ruang operasi. Melihat Inei yang tampak histeris dan Leo yang terdiam penuh rasa bersalah, dia segera mendekati mereka. "He, tunggu... Mbak Inei, tunggu dulu..." Suara lembut Caise mencoba meredakan ketegangan yang membara. Mata Inei yang penuh amarah beralih pada Caise, terlihat jelas kecemasan yang mendalam saat dia bertanya dengan suara gemetar, "Caise... Bagaimana keadaan Noah?"
Rasa iba terlihat dari tatapan Caise yang penuh kehati-hatian. "Tenang dulu, jangan khawatir. Mas Noah sudah dioperasi. Dia baik-baik saja. Mungkin, untuk sementara... dia koma," jawabnya dengan nada hati-hati, berharap tak menambah kekhawatiran.
Inei tertegun, wajahnya berubah menjadi pucat pasi. "Apa?! Koma?!" Napasnya tercekat mendengar kata itu, membuat tubuhnya melemas. Dalam sekejap, dia ambruk ke belakang, tak sadarkan diri.
Caise yang kaget segera berusaha menangkapnya, namun tangan Leo lebih dulu menangkap tubuh Inei, mengangkatnya dengan lembut di dadanya. Dalam diam, Caise hanya bisa menatap Leo yang menggendong Inei, tertegun melihat sisi lembut dan perhatian yang jarang terlihat darinya.
Di lorong itu, Leo menatap serius pada Caise dengan mata yang tajam, "Sampai kapan Noah akan bangun?" Nadanya penuh ketegasan, namun di balik itu tersirat kecemasan yang dalam.
Caise menghela napas berat, sedikit ragu sebelum menjawab, "Aku... tidak tahu. Tapi, orang koma sulit diprediksi... kapan dia akan bangun." Raut wajah Caise berubah sendu, seolah ada beban yang menekan hatinya.
Kemudian, dalam keheningan yang melingkupi ruangan tempat Noah beristirahat, Caise mendapati Inei terbaring di sofa dengan wajah lelah dan pucat. Caise menyelimuti Inei dengan hati-hati, berusaha memberinya sedikit kenyamanan. "Kamu terlalu terkejut... Jika aku jadi kamu, aku juga akan histeris..." gumamnya pelan, lalu perlahan dia meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang campur aduk.
Saat keluar dari ruangan, matanya menangkap sosok Leo yang terduduk di kursi tunggu dengan kepala tertunduk. Sinar lampu lorong menyinari wajahnya yang penuh dengan penyesalan dan kepedihan. Mendekat, Caise menyapa dengan lembut, "Mas Leo?"
Leo menengadah menatap Caise, matanya tampak lelah namun dalam tatapan itu ada kehangatan yang menenangkan.
"Apa kamu tidak ada pekerjaan?" tanya Caise dengan nada tenang, mencoba mengalihkan suasana yang penuh kepedihan.
Leo terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, "Ada..." sambil berdiri perlahan. Dalam momen hening itu, tiba-tiba Leo merangkul Caise dalam pelukan yang lembut, membuat Caise terkejut. Dalam pelukan itu, Leo menepuk punggungnya dengan lembut, seolah ingin menguatkan.
"Kau sudah bekerja keras, Caise... Aku akan pergi sebentar..." bisiknya lembut. Leo menatap Caise dalam-dalam, lalu perlahan mencium kening dan bawah mata Caise, membuat perasaan tenang sekaligus cemas menghampiri Caise.
Dengan penuh perasaan, Leo melepas pelukan itu dan berbalik pergi meninggalkan lorong, sementara Caise hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Hatinya diliputi kecemasan yang samar. "(Mas Leo...)"