Entah mengapa kepala Alexander terasa sakit, ketika mendengar potongan kalimat dari pesan suara yang diterimanya tempo hari. Ada juga bunyi denging yang tengah mengusik pendengarannya. Tangannya berubah kaku, sulit untuk digerakkan. Dadanya sesak. Jalan napas Alexander seperti tersumbat, bahkan ketika ia mencoba mengambil napas melalui mulut.
Jujur saja Alexander muak sekaligus takut. Ia tidak siap ketika dihadapkan dengan perpisahan. Hailexa sedang menangis, berteriak, mengatakan jika dia menyerah. Bagi Alexander ini adalah hal yang menyakitkan. Mereka sedang berjauhan, namun terasa begitu dekat dan nyata.
"Dia meninggalkanmu, sama sepertiku dulu."
Sial! Kalimat Hailexa berhasil mendatangkan Teresa di kepalanya. Gadis itu tertawa senang, mengucapkan rincian kata-kata penderitaan, sementara Alexander mencoba untuk bertahan. Seharusnya ia tak boleh kembali jatuh cinta. Jadi seperti ini 'kan, akhirnya?
Pergilah Teresa, aku mohon. Tidakkah cukup kau terus datang selama tiga tahun?
Bulir-bulir keringat mulai bercucuran, membasahi sebagian tubuhnya. Setiap kejadian yang ia alami dalam tiga tahun ke belakang, kini tersusun satu per satu. Tidak lagi, Alexander tidak ingin kembali.
Persetan dengan Teresa! Bisikan gadis itu tidak pernah nyata. Lalu kenapa dirinya selalu kalah? Alexander harus bisa mengendalikan dirinya, membawa kembali jiwanya yang tersesat bertahun-tahun.
"Parta. Parta. Alexander."
Alexander merasakan tubuhnya ditarik paksa untuk bangkit. Ketika matanya terbuka, hal yang pertama ia saksikan adalah tatapan Emma yang terlihat lega. Wanita itu memegangi sebelah lengannya, membantunya untuk duduk. Awalnya Alexander dilanda linglung, bersamaan dengan tarikan napasnya yang tidak stabil, serta perutnya yang mual. Persis seperti kelelahan karena olahraga berat.
Mulut Alexander terbuka lebar, ketika sesuatu dari dalam tubuhnya meminta untuk keluar. Ia pikir dirinya akan memuntahkan makan malamnya. Namun rupanya yang keluar hanya cairan bening yang sedikit kental.
"Keluarkan Nak, tidak apa-apa," bisik Emma sambil memijat tengkuknya. "Terry! Jangan diam saja! Ambilkan kaus baru untuknya," sambungnya dengan sedikit membentak.
Emma mengambil handuk dari atas nakas, kemudian mengusapkannya pada tubuh Alexander yang dipenuhi keringat terutama pada lengan dan wajah. Mata Alexander melirik cepat ke arah Emma, seketika ia tahu jika ibunya itu sedang menahan tangis.
"Mom, kenapa di sini?"
"Saat makan malam kau terlihat kurang sehat. Aku memutuskan untuk menengok kondisimu saat sedang tidur. Namun ketika datang, tubuhmu sudah berkeringat, dan seperti kesulitan bernapas. Kau bahkan meracau berkali-kali."
"Ini sudah masuk dini hari, Mom."
"Apa kau berpikir aku bisa tidur nyenyak sebelum kemari? Tidak Parta, aku cemas." Emma menarik napas, berusaha menetralkan suasana hatinya. "Ganti kausmu, itu pasti sudah tidak nyaman."
Alexander mengambil kaus baru dan menyerahkan yang lama pada Emma. Setelah dirasa lebih nyaman, ia meneguk air dari dalam gelas lalu kembali bersiap untuk tidur. "Aku baik-baik saja. Mom, Dad, tolong tinggalkan aku sendiri. Terima kasih karena sudah datang."
Emma mengangguk dan segera berjalan keluar dari kamar, sedangkan Terry menyusul tepat di belakangnya. Ketika keadaan kembali sunyi, Alexander menyalakan lampu di atas nakas. Kedua manik hazelnya menatap pada langit-langit, sambil membayangkan wajah Hailexa yang sedang tersenyum.
Apa gadis itu serius pada ucapannya? Demi Tuhan, Alexander bahkan tidak peduli sekalipun gadis itu tumbuh besar di panti asuhan. Yang ia cintai adalah Hailexa, bukan latar belakang atau keluarganya. Jika yang dia inginkan adalah kesetaraan dalam bentuk materi, maka Alexander tidak bisa mengabulkannya. Ia tidak mungkin membuat Peterson Holdings bangkrut 'kan?
Andai saja Hailexa tahu tentang perasaannya, mungkin yang terjadi tidak akan serumit ini.
***
"Sepi sekali. Ke mana yang lain?"
Alexander baru saja turun ketika waktu akan memasuki jam makan siang. Usai berpikir pada dini hari, ia baru kembali tidur saat matahari bersiap untuk terbit. Rumah dalam keadaan sepi. Alexander tak menemukan seorang pun kecuali Terry yang sedang duduk menatap televisi.
"Mereka pergi ke tempat Mike."
"Grandpa dan Grandma juga ikut?"
"Kau tidak lihat di rumah ini hanya ada kita berdua?" tanya Terry balik yang mulai kesal. "Ingin pergi menyusul? Kau lapar atau tidak?"
Alexander menipiskan bibir sambil menggaruk tengkuknya. Sejujurnya ia sedikit lapar sebab melewatkan jam sarapan, namun sepertinya jika ditahan sampai makan siang juga tidak masalah. "Ayo pergi, Dad. Kita susul mereka," ajak Alexander bersamaan dengan Terry yang melemparkan kunci mobil padanya.
Sepuluh menit pertama di dalam mobil, terasa seperti berada di pemakaman. Terlalu sunyi. Alexander yang suka bicara bahkan enggan untuk memulai percakapan. Auranya begitu canggung. Di saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, di situlah Terry mengawali percakapan.
"Kau masih minum obatmu? Obat yang itu."
"Sudah berhenti." Tanpa perlu disebutkan Alexander langsung tahu maksud dari kalimat Terry. Mana lagi jika bukan obatnya yang dikonsumsi rutin untuk menyembuhkan traumanya. "Aku sudah tidak membutuhkannya."
"Baguslah. Lalu gadismu itu, bagaimana?"
"Entahlah. Dia tampak ragu. Hailexa takut jika tidak diterima di dalam keluarga."
Terry memamerkan senyum tipisnya. "Begitu rupanya. Wajar saja, aku juga pernah berada di posisinya."
"Mustahil. Kita semua tahu jika keluarga Walter menyanyangi Daddy, terlebih lagi Grandma Stansie. Daddy juga pria yang menjanjikan. Sebenarnya aku malas mengakui ini, tetapi selain materi, wajah Daddy juga tidak buruk."
"Katakan saja jika aku tampan."
Alexander mengangguk menyetujui. "Berhubung Emma Walter adalah wanita yang cantik, keturunan mereka pasti punya gen yang baik. Kau harus mengakui ini, Dad. Aku lebih tampan darimu," ujar Alexander yang kemudian mendapat pukulan kecil pada bahunya.
"Aku pernah takut tidak diterima bukan karena fisik atau materi, melainkan sikapku. Aku ini bukan pria yang sepenuhnya baik. Cukup beruntung karena tampaknya Kakek dan Nenekmu tidak tahu banyak hal. Satu-satunya yang sulit menerimaku hanyalah Morgan, tetapi kau pasti tahu akhirnya. Aku mendapatkannya."
"Lalu apa keluarga ini akan menerima Hailexa?"
"Dia gadis yang baik. Emma juga menyukainya. Namun di balik itu semua, kami hanya ingin kau bahagia dengan pilihanmu. Aku tahu kau bukan orang yang perlu dikhawatirkan dalam mencari teman hidup. Berbeda dengan adikmu. Aku sedikit cemas dengan Nicholla. Sikapnya terlihat mirip denganku saat muda."
Tawa Alexander mengudara ketika Terry membicarakan tentang Nicholla. Ayahnya itu ternyata diam-diam memperhatikan, persis seperti yang ia duga. Selama ini Nicholla selalu menolak fakta jika Terry mengawasinya. Gadis itu sering berpikir jika Terry hanya sayang pada Alexander, padahal kenyataannya tidak begitu.
Tidak seperti dirinya yang mampu bertahan dalam suatu hubungan dalam waktu lama, Nicholla sedikit berbeda. Dalam satu tahun saja, sangat mungkin bagi gadis itu untuk mengenalkan tiga orang laki-laki sebagai kekasihnya. Selama ini Alexander tidak terlalu banyak ikut campur dalam hubungan asmara adiknya. Ia lebih sering menjadi pendengar yang baik, atau memberikan hiburan saat gadis itu mengalami patah hati.
"Jangan berlebihan, Dad. Nicholla bisa mengatasi mereka semua."
"Dia putriku, dia pasti bisa. Aku hanya tidak suka melihat cara mereka memandang Nicholla. Tidak semua, hanya beberapa saja yang membuatku ingin menyepak kepala mereka," lanjut Terry seolah penuh akan dendam.
"Kedengarannya mengerikan."
"Aku ingin tanya. Apa kau sungguh-sungguh mencintainya? Jangan katakan apa pun sebelum kau menjawab pertanyaanku."