Sebelah alis Alexander terangkat, namun mau tak mau ia harus menjawab pertanyaan Terry. "Hm. Aku mencintainya. Kenapa?" tanya Alexander balik.
"Maka ambil tindakan serius. Dapatkan dia, jangan sampai dirimu menyesal. Jika kau butuh bantuan, bicaralah padaku."
Bantuan? Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide cemerlang di benak Alexander. Idenya satu ini bisa dibilang penuh risiko, Terry juga pasti akan berpikir berkali-kali. Akan tetapi demi membawa gadis itu ke pelukannya, Alexander siap untuk melakukan berbagai cara.
"Bantuan ya? Baiklah. Jika waktunya sudah tepat, aku akan bicarakan hal ini. Terima kasih, Dad," balas Alexander disertai senyumnya yang lebar. "Dad, apa tidak sebaiknya telepon Mommy saja? Bisa saja mereka sudah dalam perjalanan pulang."
Terry tidak menjawab apa pun, namun langsung bertindak dengan mengambil ponselnya. Meskipun fokus Alexander terpusat pada jalanan, samar-samar ia juga ikut mendengarkan pembicaraan yang dilakukan oleh Terry.
"Emma. Kau masih di sana?"
"Sudah akan makan siang rupanya. Di mana? Kami bisa menyusul."
Ada jeda yang lumayan lama setelah kalimat terakhir Terry terucap, padahal Alexander yakin jika ibunya sudah menjawab pertanyaan tadi. Tiba-tiba saja Terry menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Kau tahu. Mereka akan makan siang di The Italian Parlour."
Seketika bahu Alexander merosot. Mereka jauh-jauh datang ke Seattle hanya untuk kembali merasakan makanan Italia? Itu akan jadi momen yang membosankan.
"Sepertinya kita punya pikiran yang sama. Ada restoran Jepang tak jauh dari sini. Mereka punya udon, sushi, ramen, donburi, dan entah apa lagi. Kau ingin makan di sana?" tanya Terry.
"Aku tidak akan berpikir dua kali, Dad. Jadi, tunjukkan rutenya."
"Emma." Terry kembali berbicara melalui telepon, mengatakan jika mereka tidak akan datang ke restoran. "Aku dan Alex makan siang di tempat lain. Kau tidak ingin menyusul kami?"
"Hm. Tamu? Apa katamu? Yang benar saja. Kenapa tidak memberi tahu sejak awal? Aku akan datang. Jangan dekat-dekat dengannya."
Alexander menelan ludah. Tampak ada sesuatu buruk yang terjadi. Jika tidak, mana mungkin Terry langsung kesal dan membanting ponselnya?
"Kita ganti tujuan. The Italian Parlour," ujarnya tegas.
"Tidak jadi makan ramen?"
"Persetan dengan ramen! Isaac sialan sedang bertemu dengan Emma di restoran. Aku tentu tidak akan diam saja."
Ternyata, Isaac Castillo penyebabnya. Mantan kekasih ibunya itu memang kerap membuat Terry jadi berapi-api. Meski sebenarnya pria itu tahu jika dirinya telah menang, namun tetap saja hal seperti ini tidak akan dibiarkan terjadi dengan lancar. Terkadang Alexander menertawakan Terry atas sikap posesifnya. Pria itu sudah punya dua anak yang kini telah dewasa, tetapi tingkahnya seperti baru menikah lima tahun. Lucu sekaligus menyebalkan.
***
"I know you think about laying side by side, on the Goodwill couch."
Alexander bernanyi pelan—menjurus pada berbisik, diiringi suara dari petikan gitar. Ia duduk di kamar seorang diri, kedua kakinya ditekuk dengan gitar yang entah milik siapa, berada di pangkuannya.
Malam ini suasana rumah cukup sepi. Selain karena sudah lewat jam makan malam, di luar hujan juga baru saja reda. Hawa yang dingin seperti ini sangat cocok jika digunakan untuk tidur. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi Alexander. Dirinya memang suka tidur, namun menurutnya ini sedikit buang-buang waktu sebab ia ada di masa liburan. Lebih baik digunakan untuk menonton film sampai larut, sebab saat kembali ke Italia nanti ia yakin tidak akan punya banyak waktu untuk bersantai.
"Ma—" Terdengar suara ketikan pada pintu. Ucapan Alexander terjeda usai mendapati pintu kamar yang langsung terbuka, padahal ia belum selesai bicara. "—suk. Seharusnya tunggu aku selesai bicara."
"Aku sungguh tidak peduli. Kau tahu karena apa? Karena kau juga suka seenaknya. Masih baik aku mengetuk pintu. Kau selalu langsung masuk."
"Ada apa Nicholla?" tanya Alexander sambil menepuk sisi kosong di ranjangnya.
"Ayo keluar! Hujannya sudah reda."
Alis Alexander terangkat. Kenapa mendadak? Baik Emma, Terry, kakek atau neneknya tidak ada yang membicarakan hal ini. "Sekarang? Ke mana?" tanya Alexander sedikit berteriak.
Nicholla yang mendengar pertanyaan Alexander langsung membungkam mulut lelaki itu. Dia mendesis, meminta untuk memelankan suara. "Sekarang. Sudah jangan banyak tanya. Nanti saja akan kujelaskan."
Alexander pikir, Nicholla sudah meminta izin dan mereka akan pergi menggunakan mobil. Namun ketika gadis itu menariknya hingga ke sisi lain pagar rumah, apa yang sempat ia bayangkan luntur dalam sekejap.
"Kau gila? Siapa yang mengajarimu? Bagaimana jika—"
Nicholla kembali mendesis, mengisyaratkan Alexander untuk diam. Matanya melirik pada jendela yang sudah ditutup dengan tirai, sebelum akhirnya berniat untuk memanjat. "Jika lewat gerbang, orang rumah akan tahu kita ke luar. Kamar Grandpa dan Grandma sudah gelap, jadi ayo segera pergi. Kita akan kembali setelah satu sampai dua jam," bisiknya.
Alexander menurut kemudian mengikuti Nicholla yang mulai memanjat pagar. Setelah berhasil turun, ia langsung berjalan di samping Nicholla, mengikuti setiap langkah gadis itu.
"Aku pernah melakukan ini sebelumnya, tetapi tidak sering. Jangan beri tahu siapa pun oke?"
"Hm," gumam Alexander.
Setelah lima belas menit berjalan, Alexander dan Nicholla kini tiba di depan sebuah minimarket. Nicholla mengatakan jika ini bukan sekadar minimarket. Selain makanan ringan, minuman, dan kebutuhan rumah, di dalam sana juga tersedia berbagai macam makanan berat. Mirip seperti kedai-kedai yang ada di sekolah.
"Kau cari tempat duduk. Aku akan pesan makanan," pinta Nicholla.
Alexander memilih tempat yang nyaris berada di ujung, dengan tujuan agar tidak terganggu dengan orang-orang yang sedang lalu lalang. Kedua tangan Alexander bersedekap, sementara matanya menatap persis pada pintu masuk minimarket, menanti Nicholla untuk keluar. Namun lima belas menit sudah berlalu, tetap tidak menunjukkan perubahan. Orang yang masuk setelah Nicholla saja sudah keluar sejak tadi.
Akhirnya Alexander memutuskan untuk menyusul, mungkin gadis itu butuh bantuan. Lagi pula masih banyak meja kosong di sini. Ditinggal pun tak akan jadi masalah.
Ketika membuka pintu, Alexander melihat Nicholla sedang berdiri di depan kasir. Kening adiknya itu berkerut, kedua tangannya ditekuk, sama seperti bibirnya. Ekspresi Nicholla menunjukkan jika sedang tidak senang. Alexander tak langsung menghampiri, melainkan berjalan menuju rak minuman dingin dan mengambil dua kaleng minuman dengan rasa buah.
"Kau membuatku buang-buang waktu," ujar Nicholla yang terdengar kesal dan ingin marah.
"Aku sudah katakan permintaanku. Andai kau langsung berikan, maka masalah selesai."
"Joelle! Sungguh itu bukan kewajibanku."
"Minggir dulu!" teriak gadis bermata sipit yang berjaga di balik kasir. "Selamat malam. Ada lagi yang Anda butuhkan?"
Alexander tersenyum kecil. "Bukankah seharusnya dia dulu?" tanya Alexander sambil menunjuk pada Nicholla. "Aku tidak ingin menyela. Silakan selesaikan masalah kalian."
"Itu bukan apa-apa. Dia bisa menunggu. Lagi pula kami berteman. Benar 'kan, Nicholla?" balasnya dengan senyum lebar, dan membuat Alexander jadi meletakkan pesanannya.