Hailexa menelan ludah. Dari informasi ini ia langsung menyimpulkan jika Alexander dalam keadaan tidak baik. "Begitu ya? Aku memang salah karena sudah berbohong padanya. Wajar saja jika dia kecewa kemudian pergi untuk menenangkan diri," gumamnya.
"Bukan Hailexa, pasti ada hal lain. Satu hari setelah malam itu terjadi, kami bertemu dan aku menjelaskan segalanya. Alex tidak marah padaku, begitu juga padamu. Katakan padaku apakah ada hal lain yang belum aku ketahui?"
"Ada Austin. Aku mengirim pesan suara padanya, dan dia belum membalas pesan itu hingga detik ini." Hailexa menyerahkan ponselnya, membiarkan Austin mendengarkan apa yang ia ucapkan pada Alexander tempo hari.
Di awal ekspresi lelaki itu terlihat normal, hingga pada akhirnya berubah drastis. Terlihat sedih, kecewa, aneh, semuanya bercampur jadi satu.
"Hailexa, kurasa pesan ini penyebabnya. Kau tidak seharusnya bicara seperti itu. Ini omong kosong. Semua ucapanmu adalah kesalahan. Maaf jika aku bicara dengan frontal, namun kenyataannya memang begitu. Pantas saja Alexander langsung pergi ke Seattle."
Sungguh, Hailexa tidak pernah menyangka jika pesan yang ia kirim adalah awal mula dari permasalahan baru. Ia pikir dengan bicara seperti itu keadaan akan jadi lebih baik.
"Alex tidak akan mempermasalahkan siapa dirimu. Dia menerimamu apa adanya. Kenapa kau justru mencoba menendangnya, Hailexa? Dia bahkan sudah mengaku jika mencintaimu."
Mendengar kalimat Austin, rasanya seperti disiram dengan satu ember air dingin pada saat hujan salju. Hailexa langsung membeku di tempat. Alexander mencintainya? Ia tak salah dengar 'kan?
"Dari ekspresimu sepertinya kau tidak percaya. Biar kutunjukkan sesuatu." Austin merogoh ponsel dari kantung celananya, kemudian menatap serius pada sesuatu di layar. "Alexander memutuskan untuk menutup seluruh akun sosial medianya dikarenakan kondisi yang memburuk. Namun kemarin malam dengan tiba-tiba dia mengaktifkan kembali akun Instagramnya."
Hailexa menerima uluran ponsel dari Austin, yang sudah menampilkan akun Instagram milik Alexander. Ada tiga unggahan terbaru yang berhasil membuat Hailexa menggigit bibir. Pertama, foto es krim yang pernah mereka beli di Orta San Giulio. Kedua, video di mana Alexander sedang bermain skateboard. Ketiga, adalah dua foto dirinya yang dicetak kemudian difoto ulang. Masing-masing dari caption yang ada, seolah ditulis sebagai gambaran dari perasaan Alexander. Hailexa bahkan dibuat tertegun ketika lelaki itu menuliskan mia bella signorina—gadisku yang cantik, sebagai potongan caption pada foto ketiga.
"Terakhir kali Alex mengunggah foto ketika kembali dari Washington tiga tahun lalu. Dia sudah dalam keadaan baik dan bahagia seperti sebelumnya. Sayangnya Teresa merusak kebahagiaan itu. Sekarang kau lihat sendiri. Alex sampai berani bermain skateboard. Siapa lagi jika bukan karenamu?"
"Sebenarnya apa yang Teresa lakukan?" tanya Hailexa yang masih mengamati setiap foto pada Instagram Alexander.
"Untuk masalah itu, ada baiknya jika Alex saja yang menjelaskan."
Hailexa menyerahkan kembali ponsel milik Austin. Ia bangkit dari duduknya, berjalan mendekati salah satu rak, melihat-lihat buku apa saja yang menjadi koleksi Austin. "Foto saja tidak bisa menjadi bukti jika dia mencintaiku, Austin. Itu hanya foto dan video, dia bisa mengunggah apa pun tanpa mengaitkannya dengan perasaan. Aku dengannya tidak akan pernah cocok. Kami berbeda."
"Omong kosong! Kau terlalu berpikiran negatif."
"Aku bicara sesuai kenyataan. Dia berasal dari keluarga terpandang yang punya segalanya, sedangkan aku jauh dari kata itu. Seharusnya dia bisa mendapat yang setara atau bahkan lebih baik."
"Kau pernah dengar kisah Cinderella? Dia saja bisa mendapatkan pangeran."
Hailexa menoleh, kemudian menampilkan seringainya pada Austin. "Hidup Cinderella mulai kekurangan sejak ayahnya meninggal. Sebelum itu dia lahir dalam keluarga serba berkecukupan. Hal yang serupa juga terjadi pada Rachel Chu 'kan?" Hailexa meraih buku 'Crazy Rich Asians' dari rak dan menunjukkannya pada Austin. "Awalnya Rachel memang diceritakan bukan dari keluarga kaya. Namun setelah kebenaran terungkap, ayah Rachel bahkan lebih kaya dibandingkan keluarga Nick."
"Rupanya kau tahu buku itu." 'Crazy Rich Asians' merupakan buku trilogi, di mana salah satu bukunya sudah diadaptasi dalam bentuk film. "Aku terkejut saat tahu kebenaran tentang Rachel."
"Dalam pemahamanku, mereka yang ditakdirkan bersama setidaknya punya sesuatu yang bisa dianggap setara. Harta, kekuasaan, kecantikan, atau kecerdasan. Aku tidak memiliki apa pun. Mungkin nilaiku semasa sekolah selalu bagus, tetapi aku tetap tidak sepintar dirimu, Austin.
"Kau benar, memang kebanyakan yang terjadi seperti itu. Namun dalam pemahamanku, Alexander tidak akan peduli. Dia hanya peduli bahwa kaulah yang sudah membuatnya jatuh cinta."
"Kalimatmu terdengar seolah-olah hanya ada satu gadis di dunia ini. Aku memang menyukainya, mungkin sudah mencintainya." Perkataan Hailexa menggantung. Ia tersenyum, terbayang-bayang akan kenangan manisnya bersama Alexander. "Namun ini belum terlambat untuk mundur. Dia belum mengetahui perasaanku. Andai ada kemampuan untuk melihat masa depan, aku tidak akan membiarkannya pergi dari apartemen sehingga kekacauan ini tidak pernah terjadi."
"Tampaknya ada sesuatu yang menarik sebelum kalian sama-sama tertangkap basah," tebak Austin sambil terkekeh. Meski Hailexa belum mengungkapkannya, dia sudah bisa mengira apa yang sudah terjadi.
Hailexa kini duduk di hadapan Austin, kembali melihat-lihat isi dari buku sketsa. "Ya. Aku seperti melihat berbagai macam versi kepribadian dari Alexander. Dia bahkan bercanda dengan bicara tentang bulan, padahal belum memasuki malam hari." Telapak tangan Hailexa mengarah pada ceruk lehernya, tempat di mana Alexander pernah meninggalkan jejak kemerahan.
"Bulan? Apa yang dia katakan padamu?" tanya Austin. Namun belum sempat Hailexa menjawab lelaki itu kembali buka suara. "The moon is beautiful, isn't it?"
Kepala Hailexa langsung mengangguk. Mengapa Austin bisa mengetahuinya?
"Hailexa, apa kau tahu maksud dari kalimat itu?"
"Dia bicara tentang bulan 'kan?"
Austin menggeleng sebagai jawaban. Laki-laki itu langsung menarik buku sketsa dari tangan Hailexa, kemudian mengambil alat tulis dari meja seberang. Austin menuliskan sesuatu di atas sana, sebuah kalimat yang ditulis menggunakan huruf jepang.
"Tsuki ga kirei desu ne," ucapnya membacakan setiap huruf yang tertulis. "Jika diterjemahkan maka artinya sama dengan kalimat yang Alex katakan padamu. Aku yang memberitahunya tentang hal ini. Tidak disangka jika dia mengatakannya padamu."
"Ada yang salah dari kalimat itu?
"Ini adalah cara lain untuk mengatakan 'aku mencintaimu'. Kalimatnya dibuat lebih puitis. Bukti apa lagi yang kau inginkan? Jika tidak percaya, coba saja cari di internet.
Seketika Hailexa meraih ponselnya yang diletakkan di atas meja. Ia tidak ingin menelan mentah-mentah informasi tadi. Nyatanya Austin benar, lelaki ini tidak berbohong. Sekarang Hailexa merasakan tubuhnya memanas, jantungnya berdetak secara gila-gilaan. Ia langsung menyesali perbuatannya yang dilakukan pada Alexander, di mana pesan suaranya hanya berisi omong kosong
Sial! Kenapa dia harus mengungkapkan perasaannya dengan cara yang tidak aku pahami?
Dirimu terlalu bodoh, Hailexa. Seharusnya kau tahu. Sekarang kau sukses membuatnya kecewa.