Setelah kepergian Novita, Bagas menggiring Gavin untuk memasuki rumahnya. Dia mengeluarkan makanan ringan dari kulkas dan membiarkannya menoton tv. Karena terlalu terburu-buru dia belum membilas tubuhnya dengan sempurna dan masih ada busa di rambutnya, jadi Bagas harus kembali ke kamar mandi.
"Gavin kamu menoton tv dulu ya karena paman harus membersihkan rambut dulu," katanya sambil menunjuk rambutnya yang berbusa.
Gavin menganggukan kepalanya dan mengambil salah satu makanan ringan. "Baik paman." Dia mengedarkan pandangannya dan Bagas tahu apa yang dia cari.
"Ini remotenya." Bagas menyalakan tv lalu mengganti channel lain yang cocok untuk anak-anak.
"Terima kasih paman."
Ketika membalikkan tubuhnya Bagas melihat tatapan tajam dari balik pintu dan membuatnya sedikit ketakutan, dia mengelus dadanya lalu membalas tatapan Bayu dengan tajam. Dia memberikan isyarat supaya keluar dan menyapa anak kandungnya, tapi Bayu hanya menggelengkan kepala kemudian menutup pintu kamarnya.
"Dasar pengecut," dengus Bagas kemudian memasuki kamar mandi.
Bayu sekali lagi membuka pintunya dan mengintip Gavin dengan jantung berdebar, jarak mereka sangat dekat dan dia bisa mengamati setiap inci wajah putranya. Novita telah membesarkannya dengan baik dan tidak ada tanda-tanda kekurangan gizi, kulitnya putih dan halus serta masih ada lemah bayi di pipinya.
Putranya sangat tampan.
Bayu tersenyum puas dan itu terlihat oleh Bagas yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia memasuki kamarnya karena ada hal yang perlu mereka bicarakan. "Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan."
"Novita mendapatkan sift malam dan tidak ada orang yang bisa menjaga Gavin, jadi aku menawarkan supaya dia menginap di rumahku," jelasnya singkat langsung ke inti masalahnya.
Wajah Bayu terlihat tidak senang namun dia tidak menyangkalnya, bagaimanapun juga menitipkan Gavin pada Bagas adalah pilihan terbaik. Bukankah dia sudah menyerahkan istri dan putranya pada teman lamanya, jadi alasan apa yang membuat Bayu harus menentangnya?
"Terserah."
Melihat temannya naik ke atas ranjang membuat Bagas menaikkan sebelah alisnya. "Kau tidak ingin bertemu dengan Gavin?"
Bayu tidak menjawab pertanyaannya dan pura-pura tidur.
oOo
"Hei bukankah kau terlalu banyak makan cemilannya?" Bagas menatap bungkusan cemilan yang ada di atas meja.
"Hush …. Paman jangan bilang-bilang pada ibu ya, nanti dia marah jika mengetahui hal ini." Gavin menaruh jari telunjuknya di depan bibir dan meminta Bagas untuk merahasiakannya.
Bagas mendecakkan lidahnya kemudian duduk di sampingnya. "Jangan banyak makan cemilan ketika malam hari karena kau bisa gemuk." Karena gemas dia mencubit pipi Gavin yang empuk.
"Awwwww ….. paman jangan mencubit pipiku." Gavin menampar tangannya karena tidak suka jika orang lain menyentuh pipinya kecuali ibunya.
"Apakah semua lemak berpindah ke pipimu? Kenapa gemuk sekali hahahahaha..." Bagas tertawa kemudian melepaskan tangannya dia mengabaikan wajah Gavin yang cemberut.
Gavin mendengus kesal lalu mengabaikannya lebih baik dia fokus menonton tv saja.
"Hei Gavin!" Panggilan Bagas tidak mendapatkan jawaban dari Gavin dan mirip sekali dengan pria dewasa yang ada di dalam kamar.
"Paman ingin bertanya, apakah kamu pernah melihat ayahmu?" tanya Bagas hati-hati.
Mata Gavin terlihat kosong dan tidak fokus menonton tv. "Aku tidak tahu."
Bagas menaikkan sebelah alisnya kemudian tangannya terulur untuk menepuk kepalanya. "Apakah ibumu tidak pernah mengatakan siapa ayahmu?"
Gavin menggelengkan kepalanya. "Ibu terlihat sedih ketika aku bertanya tentang ayah jadi aku tidak pernah bertanya lagi." Hal yang paling di takuti Gavin adalah melihat ibunya sedih, jadi dia lebih suka memendam rasa penasarannya.
"Apakah kamu ingin seorang ayah?" Bagas melirik kamar Bayu yang sedikit terbuka.
"Ya, tapi jika itu membuat Ibu sedih maka lebih baik aku tidak memilikinya."
oOo
Bayu teringat dengan perkataan putranya dan membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Kepergiannya enam tahun yang lalu pasti meninggalkan bekas luka di hati Novita. Dia tidak meninggalkan rumah itu dan tetap menunggunya kembali, bahkan dia merasa sedih jika ada yang mengingatkan tentangnya.
'Dasar wanita bodoh,' batin Bayu.
Mereka menikah karena sebuah kecelakaaan dan Bayu sudah menekankan bahwa tidak mungkin jika dia mencintainya. Seharusnya dia langsung meninggalkan kota ini dan menjual rumahnya sebagai kompensasi darinya. Namun, Novita malah tetap tinggal dan merawat anaknya seorang diri.
Sejujurnya Bayu tidak tahu banyak hal tentang Novita kecuali dia datang ke kota ini untuk mencari pekerjaan. Dia telah putus kuliah karena kekurangan biaya dan Bayu tidak tahu apapun mengenai keluarganya. Ketika mereka menikah, saksinya hanya orang asing yang tidak mereka kenal.
"Kau membuatku menjadi khawatir," desahnya panjang dan mengusap wajahnya kasar.
Bayu tidak bisa tidur dan keluar dari kamarnya, ketika melewati ruang tengah dia melihat televisi masih menyala. Mungkin Bagas lupa mematikannya karena orang itu sering melupakan hal yang sepele. Namun, dia melihat tubuh kecil yang berbaring di atas sofa dengan mata terbuka lebar menatap televisi.
"Kenapa kamu tidak tidur?" tanyanya tanpa sadar.
Gavin mengangkat kepalanya dan melihat pria asing yang tidak pernah dia lihat. "Paman siapa?" tanyanya polos.
Bayu berdehem sejenak dan menghindari tatapannya. "Aku teman Bagas."
"Oh teman Paman Bagas." Gavin mengangguk mengerti kemudian menatap televisi kembali.
"Kenapa kamu tidak tidur?" tanya Bayu sekali lagi dan meliriknya.
"Aku tidak bisa tidur jika tidak ada ibu," jawab Gavin dengan suara kecil dan matanya memerah. "Aku merindukannya."
Bayu mendekati sofa dan duduk di sampingnya. "Kau harus tidur karena ini sudah larut malam." Jam dinding menunjukkan angka 11 malam dan tidak baik jika anak kecil tidak tidur.
"Aku tidak bisa tidur!" seru Gavin sekali lagi supaya dia mengerti maksudnya.
Bayu menghela napas dan tangannya dengan ragu menyentuh kepala Gavin, rasanya sangat lembut dan hangat sehingga dia enggan melepaskannya. "Paman akan menemanimu tidur." Dia mengambil selimut di kakinya dan menutupi seluruh tubuhnya.
"Tidurlah!" Bayu mencari posisi yang nyaman supaya Gavin bisa menggunakan pahanya sebagai bantal.
Tanpa sadar Gavin menguap lebar namun dia belum merasa mengantuk. "Paman bisakah kau bernyanyi untukku?"
Bayu menundukkan kepalanya dan melihat wajah putranya. "Suaraku jelek," ujarnya dengan suara serak.
"Tidak apa-apa, suara ibu juga tidak sebagus penyanyi terkenal." Dia membandingkan ibunya dengan orang yang salah karena tentu saja suara Novita akan kalah dengan penyanyi profesional.
Bayu membuka mulutnya ragu dan teringat dengan lagu yang dulu pernah dinyanyikan oleh ibunya. Dengan suaranya yang serak dia bernyanyi untuk Gavin dan melihat matanya yang perlahan menutup. Sepertinya anak ini akan tertidur jika ada orang yang bernyanyi untuknya.
"Gavin, selamat malam." Bayu menundukkan kepalanya dan mendaratkan ciuman pada dahinya.
"Ayah menyayangimu."
-TBC-