"Pulanglah sana! Jangan sok perhatian padaku! Aku tak membutuhkan belas kasihanmu!" tukas Leoner risih.
Aurora menatap Leoner tanpa ekspresi. Lagi, Leoner kembali bersikap dingin lagi, seperti biasa. Meskipun Aurora berjuang untuk melupakan semua perlakuan buruk lelaki itu padanya, tapi Leoner tetap saja tak berubah. Dasar manusia batu! Ingin sekali Aurora meneriakkan kata itu.
"Ada kecelakaan beruntun di depan. Kecelakaannya parah sekali, banyak sekali korban yang terluka. Aku hanya takut Kak Leoner terluka karena tak sengaja terkena pecahan kaca saat berada di dekat kejadian perkara," ungkap Aurora. "Aku rasa, kecelakaan parah ini mungkin ulah sesuatu. Aku tak tahu pasti, tapi akhir-akhir ini aku mendengar bisikan aneh. Di kamarku, bahkan saat aku berjalan sendirian," lanjut Aurora.
Leoner refleks melirik Aurora saat gadis itu berkata demikian. "Bisikan?" tanyanya tanpa sadar. Tapi sesaat kemudian, Leoner langsung berpaling dan melangkah menjauhi Aurora. Leoner rasa, ia tak boleh berbicara banyak pada Aurora, meskipun untuk hal yang membuat lelaki itu penasaran.
"Pulanglah, jangan membuatku kerepotan karena dirimu lagi." Hanya itu yang Leoner ucapkan sembari berlalu.
"Kenapa?" tanya Aurora tiba-tiba, sukses menghentikan langkah Leoner. Aurora berbalik menghadap Leoner yang memunggunginya. "Kenapa Kak Leoner selalu menatapku dingin seperti itu?"
"Kenapa Kak Leoner tak pernah mau menatap mataku, atau sekedar berbicara terus terang padaku? Apa yang aku lakukan selama ini padamu? Apa aku menyakitimu? Tolong terus teranglah!" lanjut Aurora serius, menuntut.
"Aku hanya mengkhawatirkanmu, Leoner! Aku memanggilmu kakak karena aku menghormatimu! Sudah cukup, aku tak bisa diam dan hanya tersenyum pahit mendapatkan tatapan seperti itu darimu. Aku hanya ingin kejujuran darimu! Kenapa kau selalu bersikap seperti itu padaku?!" tekan Aurora, melayangkan pertanyaan bertubi-tubi. Tidak, ini bukan pertanyaan, melainkan protes dari Aurora yang sudah tak tahan dengan Leoner.
Leoner tak berbalik. Ia terdiam mendengar protes yang dilayangkan oleh Aurora. Bagus, gadis itu sudah merasa muak dengan sikapnya sekarang. Setelah sekian lama akhirnya Leoner dapat mendengar penderitaan itu dari mulut Aurora. Dengan itu, Leoner semakin yakin untuk melampiaskan semua kebenciannya pada gadis itu.
"Kenapa aku selalu bersikap dingin padamu?" Leoner tak tertarik menatap Aurora, lelaki itu hanya menatap ke arah depan dengan tatapan dingin. "Sederhana saja, karena aku membencimu," lanjutnya.
"Sangat membencimu."
Aurora terhenyak mendengarnya, perkataan Leoner barusan sukses menembus pertahanan hatinya. Leoner selalu saja berhasil membuat benak Aurora berdenyut hanya karena ucapan sederhana, namun maknanya begitu menampar Aurora habis habisan.
"Dari semua yang telah kualami, kebencian ini terjadi karena dirimu sendiri. Kamu yang menyebabkannya sendiri di masa lalu," ungkap Leoner lagi. Aurora menginginkan Leoner jujur, dan inilah kejujuran darinya.
"Melihatmu saja sudah membuatku muak sekali. Wajah tanpa dosa itu ... selalu membuat kebencianku meningkat setiap hari."
Aurora terbelalak. Jarum-jarum terasa menusuk hatinya bersamaan, ia tak menyangka Leoner akan begitu membencinya, padahal Aurora selalu berusaha menebus kesalahannya. Tapi hati Leoner tak sedikit pun terbuka. Mulut Aurora bergerak, hendak mengatakan sesuatu. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan manik memanas. "Kamu tau? Aku hampir menyerah sekarang. Aku—"
"Jadi kapan?" potong Leoner cepat. Aurora mengangkat kedua alisnya, tak mengerti dengan pertanyaan Leoner. "Kapan kamu pergi dari rumahku? Aku hanya ingin ada kebahagiaan, bukan dipenuhi kesialan seperti saat-saat kau tinggal di rumahku." Kali ini, Leoner melirik ke arah Aurora, menatap tepat ke arah retina gadis itu, menyalurkan semua perasaan bencinya.
DEG!
Manik Aurora langsung mengalirkan air mata. Perkataan lelaki itu kembali menyayat hatinya. Apalagi, tatapan Leoner tak sedikit pun terlihat menyesal karena telah mengatakan hal menyakiti hatinya. Jahat sekali. Sudah cukup, Aurora tak tahan lagi. Semakin Aurora mencoba bersikap baik pada Leoner, semakin lelaki itu melukis luka kelam dalam di hatinya. Selama ini, Leoner selalu membuat Aurora menderita, namun selama itu juga Aurora selalu berusaha dan pantang menyerah untuk membuat Leoner kembali baik padanya. Namun, usaha dan perjuangannya sia-sia, tanpa hasil yang bisa membuat hubungan mereka membaik sedikit pun.
Dengan cepat, Aurora berbalik. Gadis itu berlari kencang sembari mengusap air matanya, seperti yang ia lakukan tadi pagi. Air mata yang menetes oleh luka yang sama dari orang yang sama.
"Aku membencimu!" teriak Aurora sembari berlari kencang.
Leoner lalu melirik punggung Aurora, yang berlari kencang, membelah jalanan gang, semakin menjauh. Rambut coklat gadis itu berkibar indah karena tertebas angin. Tubuh mungilnya terlihat rapuh, dengan isakan keras yang bisa Leoner dengar dari jaraknya sekarang.
Perlahan tubuh Aurora ditelan jarak dan samar-samar cahaya senja. Sementara itu, Leoner masih berdiri di sana, menatap jejak kepergian Aurora.
"Satu-satunya orang baik yang terlihat menjijikkan."
"Ya, aku membencimu juga."
***
Pagi menyingsing. Mentari mulai menyapa bumi dengan udara khas pagi yang cukup dingin. Banyak umat manusia terbangun untuk memulai aktivitas mereka pagi ini.
Di sisi lain, seorang Leoner masih terbaring di atas kursi di dalam sebuah minimarket. Malam ini, lelaki itu memilih menginap di tempat kerjanya. Kebetulan bos-nya mengizinkan Leoner tidur di sana sebab ia memilih kerja shift malam. Hari ini, sudah tiga hari sejak Leoner bertengkar dengan Aurora. Leoner tak kembali ke rumah sejak saat itu.
Entahlah, Leoner merasa tak memiliki keinginan pulang sebelum Aurora pergi. Mendengar namanya saja sudah membuat Leoner muak. Ia tahu bahwa ia telah membenci Aurora terlalu dalam, namun Leoner tak peduli sebab gadis itu layak mendapatkannya. Perlakuan baik gadis itu tak akan membuat hati Leoner terbuka untuk sekedar melupakan konflik yang dibawa oleh Aurora di keluarganya. Ditambah lagi, bayangan kejadian kecelakaan beruntun itu, terkadang menjadi mimpi buruk baginya.
Menjauh dari rumahnya berhasil membuat Leoner tak lagi mendapatkan gangguan berupa bisikan yang suka mengusiknya. Manik lelaki itu kini masih menatap langit-langit. Sebentar lagi ia seharusnya sekolah, tapi Leoner sudah bolos hampir seminggu. Lelaki itu lalu merogoh saku jaketnya dan menyalakan ponsel yang sudah ia matikan selama tiga hari. Saat ponselnya menyala, notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab langsung menyerang. Hal itu membuat Leoner kesal. Terpaksa ia membaca pesan tersebut satu persatu.
Aurora pembawa sial :
--
Kamu di mana?! Mama jatuh sakit!
Dia syok karena kamu tak pulang pulang!
Pulang sekarang, Kak Leoner! Lupakan kebencian di antara kita demi kebaikan Mama!
Gawat! Mama ingin mengakhiri hidupnya jika kamu tak pulang sekarang!
--
"Ck!" Leoner berdecak. Lelaki itu bangkit sembari menghela nafas. Dalam hati Leoner mengutuk Aurora, mengapa gadis itu masih saja tinggal di rumahnya?! Ia berharap Aurora pergi dan tak pernah menampakkan dirinya lagi, selamanya pun ia tak keberatan.
***
-Bersambung-