Leoner tak tahu harus percaya pada pesan Aurora atau tidak. Tapi setaunya, gadis itu tak pernah berbohong tentang apapun. Jika ia tak ke rumah sekarang, Leoner takut terjadi sesuatu dengan ibunya.
Akhirnya Leoner menyerah. Sebaiknya lelaki itu pulang saja untuk mengantisipasi hal terburuk terjadi. Sembari keluar dari minimarket, ia menelpon atasannya untuk mengabarkan bahwa ia akan pulang sekarang.
"Halo, Pak. Aku pulang sekarang. Sepertinya di rumah ada urusan mendadak yang harus diselesaikan," ucapnya cepat.
Leoner berlari mencari kendaraan umum. Beberapa menit setelah ia menaiki kendaraan, akhirnya Leoner sampai di kompleknya. Lelaki itu berjalan tergesa, hingga akhirnya sampai di halaman rumah yang memiliki pagar berkarat. Saat melangkah masuk, Leoner dengan refleks menghentikan langkahnya.
Maniknya langsung terbelalak dengan jantung yang terasa berhenti berdetak. Lelaki itu melihat Erina tengah berbaring di samping sumur tua, sendirian. Dengan cepat lelaki itu berlari menghampirinya.
"Mama!" teriak Leoner terkejut sembari duduk jongkok di samping Erina. Leoner berusaha membangunkan Erina sembari menepuk pelan pipi ibunya. Ia terkejut saat merasakan rambut dan kulit wanita berumur itu cukup basah, ditambah wajah Erina sangat pucat pasi, bibirnya pun memutih. Hal itu membuat benak Leoner bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Ma! Bangunlah! Kenapa Mama bisa di dekat sumur ini?!" tanya Leoner. Walaupun ia sudah tahu Erina tak mau membuka matanya. Leoner lalu melirik ke arah sumur tua itu, sumurnya terbuka. Apa ibunya hendak masuk ke sana? Untuk apa?! Apa yang dikatakan Aurora itu benar? Dan kemana gadis sialan itu sekarang?
Tak ingin memusingkan dirinya sendiri, Leoner lebih memilih membawa tubuh ibunya ke dalam rumah yang sangat sepi sekali. Ia membaringkan tubuh Erina di atas sofa. "Keterlaluan sekali Aurora membiarkan ibuku seperti ini!" tekan Leoner dengan suara rendah. "Aku akan memarahinya jika bertemu dengannya! Aurora! Kemarilah! Ambilkan handuk dan selimut!" teriak Leoner kencang sembari berjalan ke arah dapur untuk mengambil air hangat.
"AURORA!" teriak Leoner lagi saat Aurora tak kunjung menjawab. Leoner langsung mengeryit. "Di mana dia?!" tanyanya. Leoner kesal, ia tak tahu Aurora kemana. Gadis itu tengah dalam bahaya sekarang karena berani-beraninya membiarkan Erina sendirian. Akhirnya Leoner sendiri yang membawa selimut dan handuk kecil untuk ibunya.
Leoner mulai mengompres Erina dengan air hangat. Ia memeriksa denyut nadi Erina dengan jarinya, denyutnya melemah. Nafasnya juga terlihat dangkal. Hal itu membuat Leoner khawatir. "Aku harus membawanya ke dokter!"
***
Matahari mulai turun ke singgasananya. Warna langit berubah oranye tanda bahwa malam akan datang. Leoner kini berjalan masuk ke dalam area rumah saat beberapa jam lalu menemani Erina di rumah sakit.
Dokter bilang, Erina baik-baik saja. Tapi pernafasannya melemah. Dokter tak tahu apa penyebabnya. Hal itu makin membuat Leoner khawatir. Ia juga bingung, Aurora tak bisa dihubungi, nomornya selalu di luar jangkauan. Leoner lalu menatap kembali pesan berderet yang dikirim Aurora.
Aurora nampaknya panik sekali, gadis itu bilang Erina ingin mengakhiri hidupnya? Jika itu benar, berarti keberadaan Erina di samping sumur tadi adalah percobaan mengakhiri hidup? Tapi mengapa sekarang Aurora tidak sekali pun menampakkan batang hidungnya?
Tiba-tiba, angin dingin berhembus kasar, menerbangkan beberapa daun kering hingga menimbulkan suara gemerisik. Leoner terusik, lalu melirik ke arah sekitar. Lelaki itu baru sadar bahwa rumahnya sunyi sekali. Sangat sunyi. Tiada tanda-tanda kehidupan di sana. Rasanya kegelapan seolah akan datang menghampiri.
AAAAAAAAA~
Angin kembali berhembus, namun entah mengapa terdengar seperti bisikan halus yang menembus ke telinganya. Leoner langsung terbelalak. Ia melirik ke arah sumur tua yang belum ditutup, aura bisikan itu semakin terasa kuat. Terlihat dari mencekamnya aura rumahnya. Leoner berjalan mendekat dengan langkah perlahan.
Leoner menatap air sumur itu, entah kenapa terlihat gelap sekali, berbeda dari air biasanya. Leoner menatapnya secara lekat, dengan kening mengerut. Hembusan angin dengan bisikan halus itu kembali terdengar, membuat Leoner semakin hanyut dalam pikirannya.
Jika cerita tentang sumur ini adalah benar, apa yang ada di dalam sumur ini? Mengapa ibunya terlihat ingin masuk ke sana? Ini hanya terlihat seperti sumur biasa, yang memang tak boleh diusik ketenangannya. Namun, Leoner merasa ingin menguji hal tersebut. Rasa penasaran datang. Mungkin saja di dalam sumur itu ada ular besar, atau ikan hiu yang menjadi penunggunya. Memikirkannya membuat Leoner langsung tertawa.
"Hhh! Bodoh!" desis Leoner sembari menendang salah satu kerikil yang ada di tepi sumur hingga kerikil itu masuk ke dalam sumur.
[Datanglah ... Kemarilah ... Wahai hati dan jiwa yang lemah ...]
[Datanglah ke tempat di mana kekuatan akan selalu menjadi milikmu ...]
[Duniamu itu memang menyedihkan ... Datanglah ... Temani aku .... ]
[Temuilah aku .... Iblis KEGELAPAN!!]
DEG!
Leoner terbelalak saat ilusi suara yang tadi ia dengar mendadak kencang, lelaki itu hendak mundur namun tatapannya yang seakan menghipnotis membuat Leoner tak bisa berkutik. Tatapan lelaki itu fokus pada satu titik, kemudian perlahan tubuhnya terhuyung ke depan, menuju air sumur itu tanpa perlawanan.
BYURRRRR!
Tak bisa dicegah lagi, tubuh Leoner tercebur ke dalam air sumur. Tubuh lelaki itu membeku, tak bisa berkutik sedikit pun. Yang ada hanya terdengar sayup-sayup suara gelembung nafasnya dan bisikan jahat yang terus menerus masuk ke telinga.
[Datanglah .... ]
[Ke dimensi di mana duniamu ini adalah sampah ... Hukuman bagi jiwa yang lemah ... DATANGLAH!]
Leoner berusaha menggerakkan tubuhnya. Sesak! Sesak sekali. Ia kesulitan bernafas, tangannya berusaha bergerak untuk mencapai permukaan. Namun, sulit sekali, tubuhnya perlahan turun seolah gravitasi bumi tengah menariknya. Kondisi air pun, rasanya tidak memiliki ujung, hanya kegelapan tiada batas yang menyelimuti, membuat Leoner tak bisa mendapatkan apapun dari usahanya.
[DATANGLAH! KEMARILAH! TEMUI AKUUUUU!]
'Siapapun! Tolong aku! Mama! Papa! AURORA! Aku membutuhkanmu!'
Tubuh Leoner sampai di dasar. Gelap, hanya kedinginan yang nenusuk. Secercah cahaya muncul, Leoner membuka matanya. Cahaya itu melebar, berusaha ia raih dengan sisa ingatan yang ada.
"Tolong aku ...."
Setelah itu, dinginnya air yang menembus tulang, berhenti. "Hahhhhh!" Leoner mengempas nafas dengan kasar.
"Hey, kau tak apa-apa ...?"
Suara yang pertama masuk ke telinganya begitu pelan, samar-samar. Sesak masih mendera dada Leoner, lelaki itu mengernyit, membuka matanya. Cahaya matahari yang terik menjadi penyambut. Matanya memicing.
"Hey! Jawab aku! Kau tidak apa-apa?!"
"Bangun!"
Tubuh Leoner terguncang. Dengan tubuh yang terasa melemah, Leoner berusaha bangkit. Ia memijat pelan kepalanya. Ia teringat akan kejadian barusan, ia tenggelam. Bahkan rasa sesak dan jejak basah masih ia rasakan.
"Aurora?" tanya Leoner dengan suara lemah.
***
-Bersambung-