Pipi kanan dan kiri Sanum mendadak ketarik ke samping, tanpa ia sadar senyumnya sudah kelewat batas minimum orang senyum.
" Hihihi.." Suara cengingisan Sanum terdengar Wardah yang sedang melipat baju tepat di samping Sanum
" Sanum? Sehat Kan?" Tanya Wardah penasaran Sambil meneliti muka Sanum yang aneh.
" Sehat lah, buktinya masih bisa bilang kalau kamu Cantik" Nyinyir Sanum dengan mengangkat satu alisnya ke atas.
" Ah masa?" Jawab Wardah kegirangan.
" Enak ya jadi istri " Kata Sanum, sambil berusaha menahan cengingisanya. Kepala Wardah hanya bisa bergedek sambil berkali-kali manapuk dahinya. Wardah dan Sanum memang sudah lama sahabatan, mereka dekat sejak Pertama kali masuk Pesantren. Meski hari-harinya sibuk dengan kegiatannya masing-masing, bagi mereka harus ada waktu luang untuk sekedar bertukar cerita, bergurau, atau ghibah karena itu adalah kegiatan Paling asyik.
Piket, adalah tugas yang di bagi rata untuk menyelesaikan sesuatu. Khusus di kamar Sanum, kamar A3 membagi 3 kelompok untuk piket ndalem bagian sore. Ini yang di tunggu-tunggu Sanum, dia terlihat paling semangat. Sanum kegirangan karena Hari ini adalah jatahnya, bagai medali emas bisa di raih Sanum jika ada kang-kang berlalu lalang di belakang dapur.
" Cepat num, ini belum selesai !" Protes Wardah sambil menata piring di rak. Lagi-lagi Sanum ngelantur tidak jelas, entah itu obrolanya, atau pekerjaanya. Sore menjelang Mahgrib, Setelah di rasa cukup Wardah dan Sanum bergegas Mandi dan mengikuti kegiatan sampai pukul 10:30 malam.
TAHAJUD di sepertiga malam, membuat Sanum mengerti satu hal. Dalam hidupnya, dan keluarganya, adalah peran penting baginya untuk memberikan sepucuk kebahagiaan. Dia mencari usuk, berupa apa yang harus Sanum wujudkan?
Kantuk mulai menyerang Sanum saat meletakkan jidadnya di sejadah. Do'a yang seharusnya di langitkan malam itu, hangus bersama dengkuran berisiknya Sanum.
"Hrrrrr pohh..!!" Bunyi aneh itu berkali-kali berbunyi nyaring dari mulut Sanum. Wardah dan Nay yang saat itu tidur bersebelahan dengan tempat sholat Sanum, terbangun karena risih mendengar dengkuran.
" Ih Sanum, Kita gak bisa tidur nih!" Nay mecoba menarik mukena Sanum dari belakang, namun ia Tak berkutik. Dengkuranya mereda, Setelah Nay melempar bantal ke muka Sanum.
Nay, Teman sekamar Sanum. Dia salah satu keponakan Ibu Nyai dari Blitar, umurnya selisih 2 Tahun lebih muda dari Sanum, tetapi kepintaranya melebihi siapapun yang usianya lebih dewasa dari Nay. Memang buah jatuh Tak jauh dari pohonya, Nay mewarisi keahlian abahnya dalam hal Fiqih, otaknya encer, sehingga se malas-malasnya dia, tetap Saja pintar.
Pagi sekali, para Santri sudah di hebohkan dengan pengumuman ujian ahir Tahun, biasa di laksanakan satu bulan sebelum bulan Ramadlan. Yang bikin heboh bukan pelaksanaan ujian, melainkan jadwal kepulangan yang semakin dekat.
" Gimana num, Pulang juga? " Nay menepuk pundak Sanum, wajah Nay menyeringai ketika melihat Sanum mendadak cemberut.
"Nggak mau pulang, di rumahku gak ada Kang-kang, adanya cuma Kang-kung" sambung Sanum manja.
"Mwahahaa..!!" Tawa mereka terbahak-bahak. Sanum memang paling pandai ngelawak, tapi juga pandai menangis. Masalah kecil pun, kalau tanpa ada teman di dekatnya, bisa menangis histeris dia. Sanum dan Nay mulai fokus dengan obrolan teman-teman di sekililingnya, tidak ada tema lain selain besok pas pulang main kemana Saja, toko baju yang trendy dimana, dan selalu Begitu saat santri sudah keluar sarang.
Berbeda dengan pemikiran Sanum saat itu. Belum tentu dia bisa pulang Tahun ini, karena jarak rumahnya cukup jauh, sehingga ongkosnya lumayan banyak untuk sewa travel, Sedangkan uangnya sama sekali tidak mencukupi. Kerinduan dengan keluarganya sudah tidak bisa Sanum tahan lagi, Sanum ikut nimbrung untuk melupakan banyak kesedihanya.
Bukankah sudah di katakan sebelumnya, kelalaian itu bagai api yang menyambar rumput yang kering. Cepat sekali melahab apa Saja yang ada di sekitarnya. Lalu itu yang terjadi pada Sanum Setelah mengikuti ujian hari Pertama, soal rumit yang membuat Sanum garuk-garuk tanda tidak mengerti.
" Suutt, bagi dong..!" Ujung kaki Sanum mencoba meraih kaki Wardah. Namun zonk tanpa reaksi, Sanum mendesus panik. Lalu di isi dengan jawaban apa Saja yang ada di kepalanya.
Ujian berlangsung selama satu minggu, suasana Pesantren sudah ramai dengan segala màcam persiapan Haflah akhirusannah, mulai mempersiapkan isi acara, hiburan, konsumsi, dekor dan lain-lain. Semua terbagi rata dengan tugasnya masing-masing.
"Itu pojokan di taruh bunga tapi di gantung, biar kelihatan hidup" Ujar Sanum yang kebetulan dia mendapat jatah bagian per dekoran.
" Tapi jangan di setiap pojokan, nanti terlalu ramai" Suara laki-laki asing itu mendadak muncul di samping Sanum, suara yang tegas penuh wibawa. Kali ini Sanum enggan menoleh, rasanya takut juga malu. Ia hanya melirik sarungnya, sarung BHS, yang katanya sarungnya para Sultan. Dalam hati Sanum bertanya-tanya sejak kapan ada Santri putra pakai sarung BHS.
Sanum tak hentinya di bikin penasaran, ia terpaksa sedikit mengangkat kepalanya kasamping. Eh jantungnya bak kesambar petir, Tak taunya beliau adalah Gus, Putra dari Abah yai. Sanum faham karena ada khodam yang nderekne ( mengawal ) dari belakang.
"Inggih…" Jawab Sanum spontan sambil membungkuk kan badan, kedua tanganya mangapit rapat di depan. Kepala Sanum terus menunduk sampai Gus meninggalkan tempat.
Butuh waktu ber jam-jam untuk menyelesaikan tugas Sanum dalam menata panggung, bayangan Gus masih ada di mana-mana. Vas bunga ada Gus, poster ada Gus, bahkan Wardah sekalipun.
"MasyaAllah itu pangeran dari mana?" Sanum ribut dalam hati, ia tetap melanjutkan menyusun kaligrafi dalam bentuk tulisan Haflah akhirusannah itu. Sanum memang menonjol dalam hal kesenian, sangat mudah bagi Sanum untuk membuat kaligrafi yang terlihat begitu rumit, di setiap Tahunya ia menjadi langganan andalan Pondok, tulisanya lumayan masyhur karena keindahanya.
Wardah yang dari tadi mengamati Sanum, sedikit penasaran. Kenapa dia senyum-senyum begitu.
" Kamu kehabisan kapsul ya num? Kok senyum-senyum mirip orang sinting" Ledek Wardah terheran-heran.
" Masih waras dong, buktinya, masih bisa bilang kalau kamu Cantik" Jawab Sanum menggoda.
" Ah masa?" Wardah terlihat kegirangan manja.
"Tapi bohong haha..!!" Sanum meledek puas.
Mereka kejar-kejaran layaknya anak kecil, sampai ada pengurus yang memberi peringatan. Mereka diam sejenak, lalu kambuh lagi. Barang-barang seperti sound atau yang berat lainya, tidak mungkin Sanum dan Wardah jika ikut andil, tugas dilanjutkan esok hari, karena acara berlangsung di malam harinya.
"Pulang yuk, pegel nih" Tangan Wardah sibuk dengan punggungnya yang pegal, meleot Sana sini untuk melenturkan otot.
Sanum meng iyakan, mereka kembali ke kamar. Kamar Paling pojok atas, ruanganya terlihat sempit di banding kamar di sebelahnya. Belum lagi temboknya yang ramai dengan coretan update status para penghuni. Entah itu sebuah pesan : Mak, pengen di sambang. Atau lagi Mas, adek rindu. Dan masih ada banyak màcam keluhan, iya memang begitu Santri, tidak ada media selain tembok. Tembok yang awalnya ber cat mulus, sudah di sulap menjadi majalah cover, dengan banyak sekali tema, model, tapi sayang di situ tidak ada give away