Suara sirine ambulance memecah hening di dini hari yang dingin dan penuh kedukaan. Sebuah peti berwarna putih diturunkan perlahan, beberapa petugas dengan seragam loreng hijau telah bersiap untuk memindahkan peti dari ambulance ke ruang persemayaman.
Tangis tak henti mengguyur bagai hujan badai di bulan Desember, gelegar jerit juga ratapan seolah tercurah dari segala arah. Orang tua, saudara, tetangga, kekasih hati, semua menangisi kepergian seorang perwira pertama berpangkat kapten.
Moreno Sinclair, pemuda rupawan nan gagah yang telah memilih jalan hidup sebagai seorang abdi negara. Dua tahun mengemban tugas menjaga keutuhan bangsa di wilayah De Charlotte, akhirnya tumbang ketika terjadi baku tembak dengan para pemberontak. Tiga peluru bersarang tepat di kepala dan kaki, sang perwira meninggal dengan jasa tak terkira.
Kepergiannya menyisakan luka mendalam bagi semua orang yang mencintainya. Pribadi penuh kebaikan, kerendahan hati, ketaatan pada orang tua juga keakraban dengan para sahabat. Membuat Moreno menjadi sosok yang dicintai semua orang, terlebih adiknya, Deanca Sinclair. Hubungan keduanya begitu dekat perangai Moreno yang dewasa dan penuh kasih mampu merengkuh Dean, pemuda berusia 21 tahun yang masih sedikit labil dan berjiwa pemberontak.
Sebagai seorang laki-laki, pantang bagi Dean untuk menitikkan air mata, baginya tangis adalah tanda kelemahan. Sekuat tenaga ia menahan panas di kedua bola mata, tapi sia-sia akhirnya luruh juga air matanya. Kepergian sang kakak sungguh pukulan berat baginya, Moreno selama ini selalu mengerti dirinya, mendukung setiap keputusan yang bahkan ditentang oleh ayah mereka.
Dean tak kuasa melihat jenazah kakaknya, ia memilih untuk menepi dari riuh duka di ruang depan. Kembali ke dalam kamar dengan jendela yang masih tertutup rapat gorden. Tangisnya semakin menggila, tangan dan kakinya menghancurkan semua benda. Tanpa peduli luka yang ditimbulkan dari pecahan vas maupun kaca lemari yang menggores tangan.
Tubuh Dean kehabisan tenaga, lunglai di atas lantai dengan punggung bersandar tembok. Matanya masih merah, pipinya basah, pundak berguncang hebat. "Tuhan, kenapa harus kakak yang Kau ambil? Milyaran makhluk di dunia ini. Kenapa harus kakakku? Kenapa Tuhan!"
Dean meremas rambutnya, menghantamkan kening ke tembok berkali-kali, hingga cairan merah keluar, menetes ke wajah putihnya. "Dean benci kakak! benci! Kakak tega ninggalin Dean!"
Tangis dan teriakannya tak kunjung reda, seperti luka dalam dadanya yang terus bertambah parah setiap kenangan bersama Moreno melintas di benak.
Eve terus memeluk peti mati seolah sedang mendekap bayi yang 29 tahun lalu disusuinya. Tak ada yang bisa menghentikan tangis dan kesedihan wanita itu, kehilangan putra kebanggannya sungguh bagai tsunami yang tanpa ampun menerjang dunianya.
Sementara, William Sinclair tak kalah menyedihkan keadaannya. Seorang veteran dengan darah pejuang yang mengalir di sekujur tubuh gagahnya, kini tak berdaya. Menangis sesegukan di ujung ruangan mendekap erat foto sang putra.
Gadis bermata hazel dengan rambut pirang tebal tergerai, hampir pingsan berkali-kali tiap menyadari kekasihnya telah pergi untuk selamanya. Pria yang dalam hitungan bulan akan menjadi suaminya, kini terbujur kaku di dalam peti mati. Vallery terus mengelus sisi kiri peti, membisikkan kata cinta seolah dapat didengar oleh calon suaminya itu. "Honey, Aku udah pesan gaun yang paling indah, kamu pasti suka. Tujuh bulan lagi kita nikah. Bangun. Jangan tidur terus, ayo buka mata kamu. Katanya kangen aku, ini Vallery ada di depan kamu, bangun Honey."
Seperti sebuah pedang tajam, kematian sanggup memisahkah dua dunia pada satu waktu. Menyisakan luka koyak yang tak mudah disembuhkan bahkan oleh waktu yang sangat panjang. Kepergian Moreno adalah pancungan pedang paling menyakitkan bagi semua orang.
Tubuh sang kapten itu kini kembali ditutup rapat, tersimpan dalam sebuah peti pengap dan gelap. Serangkaian upacara penghormatan terakhir dilakukan, kenaikan pangkat diberikan sebagai tanda jasa terakhir dari kesatuannya. Moreno Sinclair, telah berpulang sebagai seorang ksatria.
Hari berjalan tanpa arah bagi Dean, panutan yang begitu dikagumi kini telah tiada. Sosok pengayom dan penengah setiap keributan antara dia dan sang ayah, tak lagi ada. Pergi membiarkan dunia kacau balau tanpa dirinya.
Mengadukan setiap kejadian di hari yang terlewati pada kuburan kakaknya, kini menjadi kebiasaan baru bagi Dean dan orangtuanya. Tak pernah jeda mereka datang ke makam, untuk sejenak mengirim doa atau sekedar melepas rindu dengan mengelus nisan Moreno.
"Mama harap Gabriel baik-baik saja." Eve mengusap basah di pipinya.
Dean yang sejak tadi duduk tertunduk di hadapan makam Moreno belum berniat untuk bicara.
"Papa akan ke kantor Gabriel, mendesak tanggung jawab mereka. Dean, kamu antar mama pulang." William yang masih terlihat gagah meski di usia yang tak muda lagi itu beranjak pergi dari makam anaknya.
"Kita pulang, Ma." Dean meraih tangan ibunya, menggandeng menuju parkiran.
Mata keduanya masih basah dan sembab. Kedukaan sebab kehilangan Moreno ditambah kekhawatiran akan keadaan Gabriel, kakak pertama Dean yang dinyatakan hilang ketika kerusuhan itu terjadi sungguh mengacaukan kedamaian keluarga kecil ini.
Gabriel seorang dokter muda dengan semangat pengabdian yang besar. Saat ada jeda dari kesibukan dia memutuskan untuk menjadi relawan di daerah yang terbelakang serta jauh dari jangkauan layanan kesehatan. Sayangnya pilihan Gabriel kali ini untuk mengabdi di wilayah De Charlotte harus dibayar mahal, dengan kenyataan bahwa saat ini dirinya dinyatakan hilang tanpa jejak.
"Awalnya, Mama pikir keputusan Gabriel untuk bertugas di De Charlotte tepat, karena Moreno juga ada di sana. Mereka bisa saling menjaga. Tapi Mama justru kehilangan keduanya sekarang." Tangis Eve kembali hadir, pundaknya yang ramping terguncang akibat sesegukan.
Dean yang sejak tadi berusaha fokus mengendarai mobil, menoleh pada wanita yang telah melahirkannya. Wajah cantik Eve kini sayu, lingkar matanya mulai menggelap membuat hati Dean semakin terluka.
Dean meraih tangan Eve, digenggamnya perlahan. "Kak Gabriel akan baik-baik saja. Mama jangan khawatir, Dean janji akan membawanya pulang."
Eve berganti meremas tangan Dean, mata indahnya yang basah menatap tajam pada putra terakhirnya. "Jangan berpikir untuk mencari Gabriel, serahkan pada pemerintah. Mereka sudah berjanji untuk menemukan, bagaimanapun caranya."
"Mama tidak ingin kehilangan lagi." Eve mengusap pipi Dean penuh kasih.
"Mama tidak akan kehilangan siapapun, Dean dan kak Gabriel pasti bisa pulang dengan selamat."
Eve menggeleng kuat. "Tidak. Mama tidak akan mengijinkan kamu pergi."
Bibir merah muda Dean yang tipis mengulas senyum meski dalam hati serta pikirannya tengah riuh oleh perkiraan juga perencanaan. Segala kemungkinan bisa terjadi pada Gabriel, seperti yang diketahui jika para pemberontak itu tak segan menghabisi pasukan keamanan . Itu artinya mereka juga bisa saja telah melenyapkan Gabriel juga beberapa orang lain yang dinyatakan hilang sejak penyerangan yang menewaskan Moreno itu.
Dean sungguh tak sabar menanti kabar dari pihak militer yang bertanggung jawab atas kasus ini. Berkali-kali orang tua Dean datang ke kantor Gabriel juga pusat komando militer di kota, tapi sama saja sudah satu minggu tak ada perkembangan sama sekali.