Setelah mendengar kabar yang sangat buruk dari INF, Rain semakin terpuruk. Gadis cantik itu benar -benar dalam kondisi tertekan karena masalah yang sedang menimpa calon suaminya.
Dua tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk dilalui dalam sebuah hubungan. Gabriel adalah lelaki baik dan selalu mengerti setiap keadaan Rain. Lelaki itu tak pernah menyakitinya, kata -katanya selalu lembut serta penuh kasih.
Rain tak akan pernah sanggup kehilangan Gabriel, tidak akan.
Gadis dengan tangis yang kembali merebak itu berjalan cepat ke parkiran, segera menyalakan mobil dan meninggalkan gedung INF. Berharap semua kesedihannya luntur seiring laju mobil yang semakin kencang, namun tetap saja perasaan hancur dalam hatinya masih sama besar meski pedal gas yang diinjak semakin dalam.
Rain mengurangi kecepatan mobilnya, menginjak pedal rem perlahan ketika sampai di sebuah taman kecil.
Bougenville park, tempat paling sering Rain dan Gabriel kunjungi dulu. Taman yang tidak terlalu luas namun memiliki pemandangan sangat indah karena terletak di sebuah bukit kecil. Bunga Bougenville berbagai warna menghiasi setiap sisi, pohon palem yang menjulang serupa tiang kokoh di antara bunga warna warni juga kamboja.
Rain berjalan perlahan ke pinggir tebing yang dibatasi pagar besi setinggi satu meter. Ini adalah tempat pertama Gabriel menyatakan perasaannya pada Rain, di sini juga pria bertubuh jangkung itu melamar Rain.
"Aku merindukanmu, Gabriel. Apa kamu baik -baik saja di sana? Tahun depan kita akan menikah, jangan berani -beraninya membuat rencana itu berantakan. Atau aku akan sangat marah padamu." Genggaman tangan Rain pada pinggir pagar semakin kuat, hingga buku jarinya memutih.
"Kenapa harus kesana dasar konyol! Kamu tahu tempat itu berbahaya, aku sudah melarangmu. Gabriel! Aku membencimu! Aku benci karena kamu tidak mendengarkanku!" Tangis Rain semakin hebat, bahunya berguncang.
Dadanya terasa amat sesak, beban berat seolah menimpanya tanpa ampun. Baru satu bulan Gabriel bertugas ke tempat itu tapi sebuah musibah besar harus dihadapi. Sebelumnya Rain tidak pernah melarang kemanapun Gabriel pergi untuk menjadi relawan, tapi saat pria berwajah tirus itu mengutarakan niatnya untuk pergi ke perbatasan De Charlotte, Rain memang tidak setuju.
Keadaan wilayah itu yang sedang tidak kondusif dan jauh dari Neopolis menjadi alasan calon istri Gabriel itu menolak. Tapi demi kemanusiaaan dan pengabdian seorang dokter muda, Gabriel bersikeras tetap berangkat karena Moreno, adiknya juga bertugas di sana.
"Hanya tiga bulan, Sayang. Setelah itu aku akan kembali ke Neopolis," janji Gabriel waktu itu.
"Tidak, aku tetap tidak ingin kamu kesana. Pilihlah tempat lain atau negara lain yang aman. Jangan De Charlotte." Rain berusaha menghentikan niat Gabriel yang sudah sangat kuat.
Gabriel mengusap kepala kekasih yang sangat disayanginya itu, membetulkan beberapa anak rambut Rain yang berantakan karena tertiup angin. "Aku akan baik -baik saja. Jangan khawatir."
Rain menghentikan gerakan tangan Gabriel, meraih dan menggenggamnya. "Pilih tempat lain atau jangan pergi kemanapun."
Pria yang telah mengenal Rain bertahun -tahun itu tersenyum, mencium punggung tangan gadis yang sudah ditaksirnya sejak awal kuliah. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Tapi percayalah Tuhan akan menjaga kita, semua pasti berjalan lancar. Moreno juga ada di sana."
Rasa khawatir tetap saja menguasai hati Rain, bagaimana mungkin dia mengijinkan orang yang dicintainya pergi ke tempat yang tidak aman, meski memang penyerangan pemberontak berpusat pada desa terjauh sekitar lima puluh kilometer dari tempat Gabriel akan melakukan bakti sosialnya tetap saja tempat itu sarat bahaya.
Gabriel melingkarkan tangan kirinya ke pinggul Rain yang duduk di sampingnya, mencium ceruk leher jenjang gadis itu. Menghirup dalam -dalam aroma sweetbarries yang akan sangat dirindukannya tiga bulan kedepan. Bibir pria berwajah menawan itu menyusuri leher bawah hingga ke dekat telinga Rain, kemudian berbisik pelan. "Aku sangat mencintaimu."
Rain menarik tubuhnya yang sejak tadi saling menempel dengan kekasihnya. Mata indah gadis itu menatap dalam, penuh cinta pada Gabriel. "Berjanjilah untuk pulang dengan selamat, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Gabriel mengangguk, kembali merengkuh tubuh ramping gadisnya dan mendekapnya sangat erat. Sangat berat perpisahan ini bagi keduanya, dan kali ini perasaan Rain masih belum sepenuhnya rela untuk melepas Gabriel. Seperti ada sesuatu yang gelap di depan sana saat gadis itu melihat jauh ke dalam tatapan Gabriel.
Tapi rasa cinta yang besar di sanubari Rain membuatnya tak kuasa melarang lebih keras lagi keinginan tunangannya. Rain ingin pria yang dikasihinya itu bahagia dan bisa melakukan hal yang membuatnya senang.
"Tempat ini selalu indah saat aku datang bersamamu, tapi sekarang ini hanya tepi jurang mengerikan. Sepi dan suram," gumam Rain pada semilir angin yang menerpanya, seolah gadis itu sedang berbicara dengan Gabriel.
"Bertahanlah, aku akan mencarimu. Tidak peduli betapa sulitnya keadaan di sana nanti. Aku pasti bisa menemukanmu, Gabriel. Bukankah kita harus menikah? Aku tidak mau berdiri sendirian di depan altar. Kamu harus menepati janji, untuk baik -baik saja dan menemuiku lagi."
Rain telah memantapkan diri dengan keputusannya untuk pergi ke perbatasan De Charlotte dan mencari calon suaminya. Segala persiapan segera dilakukannya, berbekal informasi dari berbagai sumber di internet. Rain mulai membeli barang kebutuhan untuk perjalanan satu minggu.
Rain belum pernah pergi menjelajah alam terbuka, selama ini hanya berkunjung ke hutan kota atau tempat wisata alam yang tidak terlalu jauh dari ibukota. Ada rasa ragu dengan pilihannya pergi ke De Charlotte tapi keinginan untuk mencari Gabriel dan memastikan keadaannya baik -baik saja telah menumbuhkan rasa yakin dan memupuskan keragu -raguan.
Demi kemudahannya pergi, Rain sengaja tidak meminta izin secara langsung pada orang tuanya. Gadis itu memilih untuk meninggalkan sebuah surat yang dititipkan pada pembantu.
"Anda mau kemana Miss?" Tanya Kimi ketika membantu Rain mempersiapkan barang bawaan.
"Mencari tunanganku. Kimi tolong ambilkan sepatu."
Pembantu yang sudah bekerja cukup lama pada keluarga Rain segera mengambil beberapa sepatu. "Tapi, Miss. Tuan tidak akan mengijinkan anda pergi ke sana."
Rain memakai kaos kakinya sambil memperhatikan wajah Kimi yang tegang. "Kimi, berikan saja surat ini setelah papa pulang dari kantor. Jangan telpon papa, kau mengerti?"
"Miss, saya mohon. Jangan pergi, demi keselamatan anda. Tempat itu sangat berbahaya," suara Kimi mulai bergetar, ketakutan bercampur kesedihan memenuhi hati dan pikirannya. Dia sangat khawatir dengan keselamatan majikan yang begitu baik padanya selama ini.
"Aku tidak punya waktu lagi Kimi. Tolong ambilkan makanan yang bisa bertahan beberapa hari. Cepat Kimi!"
Kimi yang sudah berjalan beberapa langkah ke arah pintu tiba -tiba berhenti dan hendak berbalik lagi. "Tapi, Miss– ."