Chereads / INHARMONIOUS ROUTE / Chapter 2 - Ini Cowok Apa Kulkas dah?

Chapter 2 - Ini Cowok Apa Kulkas dah?

"Apa cuman gue yang gak pernah bosen lihat ketos kita? Kayak..." Aku tidak begitu mendengarkan perkataan Gura. Mana mungkin dia doang yang merasa seperti itu. Maksudku, pacarku itu benar-benar idola semua orang. Dia sangat dingin, pintar, tampan, dan pastinya dipandang baik oleh semua guru.

Ya. Kalian tidak salah. Ketua OSIS yang dibicarakan temanku adalah pacarku. Aku tidak begitu tahu alasannya, akan tetapi Badu ingin merahasiakan hubungan kita. Mungkin dia ingin tetap menjaga imagenya yang sangat dingin kepada siapapun dan image anak baik di mata para guru.

Sudah menjadi risiko murid yang menjadi sorotan utama di sekolah harus menjadi teladan bagi murid yang lain. Mungkin jika dia mengungkap hubungan kita, dia khawatir kalau murid-murid lain juga akan melakukan pacaran dan hal yang lebih jauh lagi.

Lalu, karena di depan orang lain kami tidak bersikap selayaknya orang berpacaran, jadi aku memutuskan untuk bergabung dalam jajaran OSIS. Niat awalnya sih agar aku bisa bermesraan di ruang osis saat tidak ada siapapun. Jadi, apapun jabatanku tidak terlalu kupedulikan, asal aku dapat dekat dengan pacarku.

Baru berumur 3 bulan pacaran, aku semakin terpesona melihat dia berkomunikasi ketika rapat. Semua yang dia utarkan dan bahkan gestur tubuhnya terasa sangat meyakinkan. Itulah kenapa waktu rapat tidak pernah lama karena sebagian besar anggota OSIS setuju dengan ide dia. Sedang aku.. Sepanjang rapat aku terus saja tersepona olehnya. Aku terus berusaha mencuri pandangannya ketika dia sedang melihat ke arah lain.

"Kalau rapat jangan ngelamunin gue." Katanya sambil mencubit pipiku. Meski dia sangat dingin, bahkan kepadaku, tetapi aku tahu kalau dia sebenarnya orang yang sangat perhatian. Aku merasa senang karena dia juga memperharikanku.

"Hari ini kita pulang bareng, kan?" Meskipun mustahil dia mengiyakan ajakanku, tapi aku tidak pernah berhenti mengatakannya. Jika bukan hari ini, mungkin esok hari dia akan berkata ya. Itu yang selalu kupegang.

"Gak bisa." Seperti perkiraanku.

Aku sudah terbiasa dengan hal itu. "Ya udah, aku duluan, ya." Pertemuan kami memang selalu berakhir seperti ini, jadi aku sudah sangat terbiasa.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengerjakan segala pekerjaan, karena malamnya selalu kucurahkan untuk dia. Malam minggu menjadi satu-satunya hari yang kutunggu-tunggu sekaligus satu-satunya malam kita berdua dapat berkencan.

Aku berdandan lebih awal. Aku tahu kalau dia tidak suka menungguku terlalu lama, jadi aku bersiap-siap lebih awal. Waktu menunjukkan pukul tujuh malah ketika aku selesai bersiap.

Tapi, tepat ketika aku ingin mengabari Badu, dia sudah terlebih dahulu mengirimiku pesan kalau dia tidak bisa pergi. Tugas-tugasnya menumpuk katanya.

Padahal aku sudah berada di kursi tamu agar cepat menyambut kedatangannya. Padahal aku sudah berpamitan dengan ibu kalau aku main denganmu. Tapi kenapa kamu malah membatalkan janji di waktu yang mepet?

Kugigit bibirku dengan keras agar aku tidak merasakan sakitnya hatiku.

Yaudah. Kamu semangat ya ngerjainnya. Kuputuskan untuk tetap ke luar meski itu hanya berjalan-jalan di taman dekat rumah. Sepanjang jalan aku terus mengingat apa yang telah kulakukan dengan Rio dan kenapa aku bisa menyukainya.

Sudah menjadi kebiasaanku berpikir seperti itu ketika aku kecewa dengan perlakuannya, sehingga aku dapat menahan diri dan terus mendukungnya. Bagaimanapun, sudah menjadi kewajiban seorang siswa untuk belajar.

Kupandangi langit malam yang tidak terlalu banyak bintang. "Anda saja aku bisa menjadi buku. Pasti kamu jadi sangat memperhatikanku." Tangisanku mengalir deras. Bodoh sekali aku cemburu dengan buku. Tapi tidak dapat kupungkiri jika Badu memang menghabiskan hari-harinya untuk membolak-balik lembar demi lembar, bahkan ketika selesai rapat, di sela-sela berbincang denganku, pacarnya sendiri.

Pasti aneh, bukan, jika aku menyuruhnya untuk berhenti belajar dan fokus pada hubungannya denganku. Aku merasa jahat ketika memikirkan hal itu. Kuseka air mataku.

Kubuka kembali pesan-pesan kami. Semua terasa hangat pada awalnya. Entah sejak kapan menjadi sedingin ini. Sepertinya aku merindukan sosokmu yang dulu. Meski kamu tetaplah kamu, tapi saat itu kamu memiliki waktu denganku. Tidak seperti sekarang yang waktumu tersita banyak untuk hal lain. Mungkin ini juga yang membuatku menyesali keputusanku yang mendukungmu menjadi ketua OSIS. Semuanya menjadi terasa sangat berat bagiku.

Tiba-tiba aku berpikir tentang bagaimana nasib para istri yang suaminya hanya pulang satu tahun sekali selama dua hari. Tak dapat kubayangkan seberapa besar rasa rindu sang istri ketika suaminya datang. Tapi, jika suaminya kelelahan bagaimana? Lalu, apakah waktu yang singkat itu dapat mengobati kerinduan mereka? Apa saat berjauhan cukup hanya dengan berkirim kabar dan saling menelfon?

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan. Semua itu menimbulkan satu kesimpulan bahwa aku tidak ingin lagi berhubungan dengan lelaki yang berjauhan denganku.

"Setidaknya nasibku masih lebih baik dibanding mereka." Aku menghibur diriku sendiri.

Kata demi kata yang kubaca membuat emosiku berganti-ganti. Kadang bahagia, kadang sedih, kadang marah. Aku mencoba mencari-cari di mana letak kesalahanku. Tapi aku yakin jika aku selalu mengatakan maaf atas kesalahan yang telah kuperbuat.

Maaf. Kata itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku. Ku coba mengiangat dan mencari dalam pesan kami, tapi semua kata maaf hanya ada dalam pesan yang kukirim. Padahal dalam hubungan kami tidak hanya aku yang selalu berbuat salah.

Berkat itu, aku berpikir ulang tentang...

Andai saja dia berkata maaf, mungkin aku sedikit lebih baik sekarang. Tapi, bahkan ketika dia membatalkan janji di waktu seharusnya bertemu saja dia tidak berkata maaf.

"Aku baru ingat banyak tugas yang belum kukerjakan. Belum lagi cek laporan keuangan sama laporan kegiatan OSIS. Kalau gak jadi ketemu gimana?"

Sering kali dia mengeluh padaku, tapi tidak pernah aku merasa dia ingin mendengar keluhanku. Ketika kuceritakan keluhan tentang temanku yang menjahiliku, dia hanya memberikan respon "jahil, ya?" Atau hanya mengirimkan stiker yang aku sendiri tidak paham dia ingin mengatakan apa melalui stiker itu.

"Andaikan aku bisa bercerita langsung, aku penasaran bagaimana responmu." Aku sering berandai-andai jika hubungan kita diketahui oleh semua orang di sekolahan. Lalu, kami dapat dengan bebas saling bercerita di ruang kelas. Lalu, Rio menanggapi ceritaku dengan antusias. Lalu... Lalu....

Air mataku kembali menetes. Aku tau harapan itu mustahil terjadi. Aku tidak akan pernah memiliki kesempatan itu. Aku sadar kalau hal yang seperti itu tidak akan pernah terjadi pada kami.

Aku kembali ke rumah setelah memastikan mataku tidak terlalu kelihatan sembab. Sudah dua jam aku duduk sendirian seperti orang bodoh di taman. Maksudku, mana ada orang yang duduk sendirian, malam-malam, di tempat ramai, menangis pula.

Padahal kamu pujaan semua orang. Perkataanmu saja dapat meyakinkan siapapun. Tapi kenapa ketika berbicara biasa kamu sangat dingin?" Memkirikan perbedaan sikapnya membuatku pusing sendiri.

Tapi, seberapa besar aku marah, aku terus saja memaafkanmu. Apalagi tadi kamu memperhatikanku yang melihatmu di sela-sela rapat. Hal sekecil itu sudah cukup untuk membuatku tetap bertahan disampingmu.

"Sebelum mengakhiri upacara, saya ingin memanggil Badu, Figo, dan Urane untuk menerima penghargaan atas kemenangan dalam Olimpiade matematika tingkat kota." Dahiku berkerut mendengar perkataan kepala sekolah. Beliau sedang bicara apa sebenarnya?

Kugigit bibirku sambil mencubit tanganku dengan keras agar aku tidak menangis. Ini terlalu berat bagiku. Aku tidak sanggup lagi melakukannya. Mataku sedah berkaca-kaca, namun aku tetap mencoba menahan tangisku denganenghadap ke atas. Tidak keren sekali saat seorang perempuan menangis di lapangan upacara.

Setelah mereka bertiga kembali ke barisan dan aku mulai dapat mengendalikan diriku, aku berpura-pura mengaduh kesakitan. Temanku langsung tanggap mengantarkanku ke kelas yang memang khusus digunakan untuk istirahat para siswa yang tidak kuat melaksanakan upacara. Di dalam ada beberapa orang yang sendang duduk santai menikmati segelas teh manis hangat sambil mengoleskan minyak kayu putih di pelipisnya.

Aku duduk di deretan kursi tengah dan langsung menenggelamkan mukaku di dalam tangan. Kilasan perkataan kepala sekolah masih terus terngiang-ngiang. Kondisi mentalku saat ini sedang tidak stabil, jadi keputusan yang kubuat tidak kudasarkan pada pertimbangan pemikiran dan perasaanku. Tapi, aku merasa untuk tetap mengambil keputusan itu meski aku tahu kalau nanti aku akan menyesalinya.

"Aku perlu bicara." Seusai rapat aku langsung mengajaknya berbicara. "Sebelumnya apa ada yang ingin kamu sampaikan padaku?" Dalam hati aku ingin sekali berkata agar kamu meminta maaf karena tidak memberitahuku tentang turnamen.

"..." Keheningan menjadi mencekam karena kamu tidak menjawab pertanyaanku. Jadi, aku memutuskan untuk tidak bicara apapun lagi dan pergi ke luar. Tapi, sesat sebelum membuka pintu, kamu berkata, "Aku gk bisa bilang soal turnamen itu ke kamu. Aku gak pengen dianggep kebayakan alasan."

Masih saja kamu tidak berkata maaf. "Sakit loh rasanya bukan jadi org yg pertama tahu.

Apa.. Aku spesial bagimu? Siapa yang kamu beritahu terlebih dahulu soal itu? Dia lebih spesial daripada aku ya? Aku nomor berapa sih di hidupmu? Kamu... Kamu beneran suka aku gak sih?" Aku berlari menjauh setelah mengatakan semua yang selalu kupendam selama ini. "Aku tak ingin lagi bertemu dengannya."

Hatiku benar-benar sakit memikirkan dia yang sama sekali tidak bisa membantah kata-kataku. Padahal aku tahu kalau aku juga bersalah karena terlalu egois untuk selalu ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Mungkin aku tidak ada bedanya dengan dia. Atau mungkin aku yang terburuk.

Tapi, setelah yakin kalau dia sama sekali tidak mengejarku, aku memutuskan untuk tidak lagi bersinggungan dengannya. Kata maaf yang sempat tercetus di pikiran kukubur dalam-dalam karena aku merasa dia tidak membutuhkan itu. Berbeda denganku yang merasakan sakit begitu mendalam setelah masalah yang selalu kupendam tidak muat lagi.