Chereads / CEO's Desire / Chapter 1 - Bagian Satu

CEO's Desire

🇮🇩C_I_N_D_Y
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bagian Satu

"Menangislah. Meski kamu menangis darah sekalipun, tidak akan ada yang bisa menolongmu."

***

AKU mendongak, menyadari kehadiran sosok lain di kamar ini. Seorang pria asing telah memasuki kediamanku tanpa izin. Dia sedang berkutat dengan laptop di atas meja sambil menyesap secangkir kopi.

Sejuta kata tanya berputar-putar dalam benakku. Tentang siapa pria ini, semuanya berakhir buntu. Sosoknya baru pertama kali kulihat. Bayangannya tidak pernah singgah sekali pun di memoriku.

Tanganku semakin erat menggenggam benda berbentuk pipih ini. Bagaimana jika dia orang jahat? Apa aku mesti melaporkannya pada pihak berwajib?

Atas berbagai pertimbangan, aku urung menyetujui pergulatan pemikiranku. Lagipula pria ini tidak membawa kesan negatif. Dia terlihat sangat tampan dan berkelas untuk ukuran penjahat. Daripada penjahat, dia lebih cocok jadi aktor kenamaan yang syuting puluhan iklan.

Sepertinya dia baru pulang bekerja, terbukti dengan jas hitam yang masih melekat di tubuhnya, dan secara acak membuka pintu kamar saking lelahnya. Lebih baik aku menjelaskan padanya jika ini bukan kamarnya. Kuharap dengan begitu, dia bisa cepat-cepat beristirahat.

Aku bangkit dari ranjang lalu meletakkan ponselku di atas nakas. "Maaf, tuan, sepertinya Anda salah memasuki kamar. Sebaiknya Anda segera menghubungi pihak hotel atau resepsionis untuk mengetahui kamar Anda. Kamar kosong di hotel ini hanya sebuah mitos," ucapku memecah keheningan yang menyeruak. "Apalagi di hari weekend seperti ini."

Mendengar suaraku yang tiba-tiba, bukannya terkejut, dia malah mengerutkan kening. "Bukankah ini kamar 408?" Gumamnya pelan pada diri sendiri tapi masih terdengar jelas di telingaku.

Apakah pihak resepsionis salah menginformasikan padanya jika kamar 408 sudah ter-booking? Jika iya, sungguh kasihan sekali. Tapi bukankah ketika pria itu masuk, seharusnya dia mendapati diriku yang tengah memainkan ponsel di atas kasur, alih-alih menegurku dia malah duduk. Bukankah itu aneh?

Ah, aku harus mengenyahkan pemikiran buruk ini.

Aku mengatur deru napasku yang mulai memburu. "Benar ini kamar 408, kamar saya dan suami. Sepertinya Anda salah membuka pintu sehingga terjebak di kamar kami," ucapku agak sedikit kesal.

Pria itu mengedikkan bahu. "Saya rasa ingatan saya tidak seburuk itu untuk mencerna perkataan perempuan yang tadi berada di lobby. Anda lihat," ucapnya seraya menggoyangkan sebuah gantungan kunci. "Ini yang saya dapatkan setelah mengatakan saya butuh teman tidur."

Aku mendelik. "Anda jangan macam-macam. Saya akan menghubungi pihak resepsionis. Jika anda mengucapkan dusta, saya tidak akan segan-segan untuk melaporkan anda," ancamku padanya seraya meraih kabel interkom.

"Apakah setelah kamu menghubungi pihak hotel, aku boleh macam-macam?" godanya dengan alis naik turun.

Aku melongo tak percaya.

Saat panggilanku tersambung, aku langsung bersuara. "Ini dengan kamar 408. Saya ingin mengadu kepada pihak hotel atas kelalaiannya dalam melayani tamu."

"Apakah ada yang bisa kami bantu?"

"Tolong panggilkan manajer atau direkturnya sekalian!" bentakku dengan nada berapi-api.

"Tunggu sebentar."

Tidak ada suara untuk beberapa saat sebelum suara bariton lain menyahuti. "Halo dengan manajer hotel. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin mengadukan keluhan saya mengenai keamanan dan penanganan hotel yang tidak transparan."

"Baik. Silakan disampaikan keluhan Anda?"

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap mencerca manajer ini dalam sekali tarikan napas. "Apakah pihak hotel tetap membiarkan orang asing untuk menyewa kamar, meskipun kamar itu sudah dihuni? Anda lupa melabeli bahwa suite no. 408 sudah disewakan dan sekarang di kamar saya ada orang asing yang mengaku-ngaku bahwa ini kamarnya? Ingat, suami saya sudah membayar mahal dan mem-booking nya jauh-jauh hari agar kejadian seperti ini bisa diantisipasi."

Aku bisa mendengar sang manajer sedang memarahi keteledoran pihak resepsionis. Aku melihat pria itu lalu tersenyum kemenangan.

"Kami benar-benar memohon maaf atas ketidaknyamanan yang anda alami. Kami akan segera mengkompensasi kerugian yang anda derita. Jadi, bolehkah saya berbicara dengan orang asing yang anda maksud?"

Aku menyunggingkan senyum. "Tidak masalah," jawabku enteng.

Aku mendekat ke arah pria yang sedang duduk termenung itu. Sepertinya dia sudah merasakan kekalahannya. "Pihak manajer ingin berbicara dengan anda. Sebaiknya Anda segera bersiap karena sebentar lagi manajer hotel akan mengusir anda."

Aku menyodorkan gagang telepon itu dengan binar bahagia. Sudut mataku menangkap momen janggal. Dia menyeringai licik. "Sepertinya wajahmu senang sekali, nona. Anehnya, aku justru memiliki firasat bahwa sebentar lagi kamu akan meraung-raung padaku," ujarnya yang tak kugubris sama sekali.

"Halo." Suara baritonnya yang tegas memecah fokusku. "Ya. Siapa namamu? Theodore? Besok kamu tidak perlu datang lagi ke hotel ini. Silakan kamu ambil semua barang-barangmu di sini!"

Dia menyengir lebar ke arahku. "Aku tidak peduli dengan urusan keluargamu. Aku tidak ingin melihatmu menginjakkan kakimu di hotel ini lagi." Pria itu kembali menyodorkan gagang telepon itu kepadaku.

"Halo, pihak manajer," sambarku cepat.

"Sepertinya ini hanya sebuah kesalahpahaman. Kami mohon dengan bijak agar anda tidak menghubungi kami lagi. Selamat malam."

Telepon terputus.

"Bagaimana, nona? Bukankah semuanya sudah jelas?" tanyanya dengan kerlingan jahil di matanya.

Aku mencoba kembali menekan tombol memanggil beberapa kali namun semuanya tak di angkat. Setelah berbicara dengan pria tadi, pihak hotel menjadi ketakutan. Apa yang dilakukan pria itu?

Aku memijit kepalaku yang pening. Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?

Saat kulihat pria itu melonggarkan dasinya alih-alih keluar, aku pun berteriak marah. "Silakan Anda keluar sebelum saya berteriak untuk memanggil orang-orang," ancamku pada lelaki itu.

Bukannya takut dengan ancamanku, pria itu malah memamerkan senyumnya yang paling menawan. Aku rasa seluruh bulu kudukku meremang. "HAHAHA lucu sekali," kata pria itu. "Berteriak? Silakan kamu berteriak sekencang mungkin," tantang pria itu. "Seujung kuku pun aku tidak akan gentar. Hanya saja, ruangan ini 'sangat' kedap suara, nona." Itu fakta, aku tahu. "Jadi, kamu hanya akan buang-buang tenaga melakukan hal yang tidak perlu karena..." Pria itu menegakkan tubuhnya. Dia beranjak dari kursinya lalu melangkahkan kakinya ke arahku. Dia memangkas jarak di antara kami. "Malam ini semua tenagamu akan kukuras habis untuk memuaskanku," bisiknya di telingaku.

Aku mundur satu langkah. Kini, tubuh kami benar-benar berhadapan. Karena postur badan kami yang berbeda, tubuhnya benar-benar mengintimidasi. Aku bahkan menenggak salivaku sendiri saat ketakutan mulai merayapiku. Tatapan tajamnya seakan menelanjangiku tanpa cela.

Aku memberanikan diriku agar menatapnya. Mataku berserobok dengan mata birunya. Mata itu sangat indah dan dalam, memberi ketenangan yang luar biasa. Eh, kenapa aku jadi mengaguminya?

"Jangan macam-macam dengan saya, tuan! Atau-"

"Atau apa?" potong lelaki itu. Tangan kekarnya mengunci kedua tanganku sehingga aku tidak bisa berkutik sama sekali.

"Lepaskan aku, brengsek!" Makiku padanya dan dia balas tersenyum. Aku berusaha melepaskan cengkraman pria itu tapi usahaku sia-sia. Kekuatan pria itu bukan tandinganku. Tanganku bahkan terasa seperti diborgol besi.

Aku terhenyak saat pria itu tiba-tiba mendorongku, memanggul tubuhku di pundaknya, lalu membantingku. Tubuhku terjatuh di atas kasur yang di penuhi bunga-bunga. Di atasku, tubuh besar pria itu sudah mengungkungku. Kedua tangannya diletakkan di sisi kanan-kiri bahuku, sementara kedua kaki besarnya menjepit pinggangku. Pria itu benar-benar membekuk tubuh rampingku.

"Apa yang kamu lakukan brengsek? Lepaskan ak--"

Bibirku dibungkam oleh bibirnya. Dia melumatku seolah aku adalah mangsa terlezat yang dihidangkan. Bibirnya menghisap kuat bibir bawahku. Lidahnya mencoba menerobos masuk ke dalam mulutku. Pria ini benar-benar mengobrak-abrik pertahananku. Aku terbuai dengan ciuman nikmatnya. Dia jago sekali dalam berciuman, membuktikan sepak terjangnya berhubungan dengan lawan jenis.

Sial, aku mengumpati diriku dalam hati. Bisa-bisanya aku tergoda lalu terbuai oleh ciuman nikmatnya. Aku harus menyadarkan diriku bahwa semua ini salah. Tidak sepatutnya aku menikmati cumbuan orang lain padahal aku sudah bersuami.

Aku menggigit bibirnya kuat sehingga pagutannya terlepas. "Bitch," umpatnya pelan tapi tajam. Dia berdiri untuk memisahkan tubuh kami. Lantas menyeka bibirnya yang berdarah dengan jasnya.

"Jangan bermain-main denganku, jalang. Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Tanyanya dengan angkuh.

"Aku tidak tahu siapa kamu dan aku tidak peduli kamu siapa. Lebih baik kamu angkat kaki dari kamarku!" cetusku penuh luapan amarah.

Seolah tidak perlu repot-repot untuk mendengarkan amukanku, dia malah melepas jasnya. Disusul dengan kemeja putih, celana panjang, hingga celana bermerk Kelvin Clein miliknya. Sekarang, tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Sontak aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Bisa-bisanya dia memperlihatkan pemandangan seperti ini padaku.

Dia terkekeh geli. "Bukannya kamu sudah memiliki suami? Kenapa masih malu melihat tubuh telanjang seorang pria dewasa?" tanyanya heran. "Apakah kamu masih suci dan belum tersentuh sama sekali? Kenapa diam? Apa ucapanku benar?" Sudut kanan bibirnya berkedut.

Masih dengan wajah tertutup, aku menggeleng. "Cepat kenakan kembali pakaianmu! Apakah kamu tidak malu tubuhmu dilihat oleh orang asing?"

Bukannya malu, dia malah tertawa keras. "HAHAHA kamu naif sekali. Tentu saja bukan hanya aku yang akan memamerkan tubuh, tapi..."

Pria itu menghambur ke atas tubuhku. Wajahnya begitu dekat sampai-sampai aku bisa merasakan napas hangat pria itu. Aku memalingkan wajahku ke samping, tapi tangan pria itu dengan cepat menekan rahangku agar kami kembali berhadapan.

CUIH. Aku meludahi pria itu. Bukannya tersinggung, pria itu malah menghapus jejak air liur di pipinya kemudian bekasnya itu dikulumnya. Dia tersenyum lebar membuat tubuhku nyaris bergidik.

SREKK. Aku meringis saat kain yang melekat pada tubuhku dirobek paksa. Lima menit kemudian, aku seperti gelandangan yang memakai gaun compang-camping. Gaun pernikahan kebanggaanku sudah tak berbentuk sama sekali.

Aku mengatupkan rahangku menahan isak tangis. Kugigit bibirku sekuat mungkin hingga mengucurkan bercak darah. Aku tidak akan pernah memperlihatkan sosok gadis lemah di hadapan orang lain. Tidak setelah kejadian waktu itu.

***

NB :

Halo semuanya, selamat bergabung di dunia Cindy. Aku berterima kasih sekali atas dukungan kalian selama ini, di luar ekspektasi, ceritaku "My Beautiful Sins" sudah menggaet ribuan pembaca lewat pesonanya tersendiri.

Aku juga mau minta maaf karena menggantungkan cerita itu padahal lagi klimaksnya. I owe you guys. Maaf banget dua tahun ini aku lagi sibuk-sibuknya, mengejar gelar sarjana di saat pandemi menyerang. Pokoknya buat para pelajar yang senasib dan sepenanggungan sama aku, semangat. usaha kalian pasti akan membuahkan hasil.

Back to the topic, Aku mau minta saran nih, menurut kalian cerita "My Beautiful Sins" lebih baik dilanjutkan atau tidak?

1- Dilanjutkan

2- Ditinggalkan

3- Revisi karena aku sadari ada banyak banget plot hole di sana-sini.

Terimakasih!